16 Juni 2021

opini musri nauli : HUKUM KRITIS

Pendahuluan 


Definisi hukum belumlah seragam diantara para ahli hukum. Menurut Mochtar Kusumaatmaja, secara sederhana hukum adalah Hukum berguna untuk Memelihara ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, Menegakkan keadilan dan Mendidik masyarakat. 

Tema Hukum Kritis berangkat dari gerakan massif di Amerika. Hukum kritis adalah pemikiran melompati gerakan aliran realisme Amerika yang hanya menggunakan pendekatan hukum “an sich”. Gerakan yang bermula dari kampus kemudian mengenal nama-nama seperti Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz. Di Indonesia kemudian dikenal sebagai materi Pendidikan Hukum Kritis. 


Dalam interaksi dengan peraturan perundang-undangan, materi Pendidikan Hukum kritis kemudian menempatkan diri materi yang melihat fungsi pengadilan dan peraturan perundang-undangan sebagai perhatian utama. Bahkan kemudian materi Hukum Kritis kemudian menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of law), otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik (law politics distinction). 


Sehingga materi Pendidikan Hukum Kritis kemudian tetap menapaki system hukum Indonesia yang kemudian menempatkan diri sebagai panglima hukum di Indonesia. 


Contoh-contoh seperti Zinah, “keadilan hukum”, kepastian hukum, tujuan hukum kemudian menempatkan materi Hukum Kritis menemukan momentumnya. 


Sistem Hukum 


Pada prinsipnya, Indonesia menganut system Eropa Kontinental. Pasal 1 KUHP dan Pasal 20 AB Asas ini memberikan kepastian hukum adalah ciri khas dari Sistem hukum Eropa continental. 


Namun Pasal 22 AB, Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 melambangkan prinsip yurisprudensi. Sebuah mazam yang dikenal didalam Anglo Saxon. 


Selain itu juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan UU Sumber Daya Alam (UU Lingkungan Hidup, UU Minerba, UU Kehutanan, UU Perkebunan) bermazam system Hukum Anglo Saxon. 


Indonesia juga menganut system Hukum Islam. UU yang mengatur tentang Peradilan Agama untuk sengketa yang berkaitan Islam (perceraian yang kemudian diselesaikan di Pengadilan Agama). 


Aliran Hukum di Indonesia 


Dalam praktek yang jamak, Aliran Hukum dilihat dari berbagai asas. Asas Kepastian hukum (sering juga disebut sebgai aliran positivisme), menjadi fundamental penting didalam praktek peradilan pidana. 


Pasal 1 KUHP menyebutkan “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” 


Pasal 1 KUHP kemudian mengandung asas legalitas. Asas ini adalah asas penting didalam system Hukum Eropa continental. Von Feurbach menyebutkan adagium legendaris”. 


Asas ini menerangkan adagium “Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali”, yang artinya tidak ada tindak pidana/delik, tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya. 


Adagium ini kemudian menerangkan (1) Tidak ada hukuman, jika tak ada Undang- undang. (2) Tidak ada hukuman, jika tak ada kejahatan (3) Tidak ada kejahatan, jika tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang. 


Fundamental sebagai sistem hukum Eropa continental juga dapat dilihat didalam Pasal 20 AB yang mengatakan “Hakim harus mengadili berdasakan undang-undang”. Asas ini memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dilapangan hukum pidana. 


Aliran yang dianut oleh hakim dikenal Aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtschule 


Aliran ini Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara memberi kebebasan kepada hakim tanpa terikat pada undang-undang, tetapi menghayati tata kehidupan sehari-hari. Praktek ini sekaligus sebagai kebebasan hakim dengan menempatkan dan Membuktikan bahwa dalam undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan  dan kekurangan itu perlu dilengkapi. Dan mengharapkan agar hakim memutuskan perkara didasarkan kepada rechts ide (cita keadilan). 


Aliran hukum lainnya adalah penemuan hukum (rechtsvinding). Aliran ini kemudian menempatkan sebagai hakim mempunyai kebebasan. Aliran lebih bebas dibandingkan dengan aliran Aliran freie rechtslehre atau freie rechtsbewegung atau freie rechtschule 


Ketentuan yang mengatur aliran ini dapat dilihat didalam Pasal 22 AB “Hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Atau Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 


Aliran ini kemudian biasa dikenal sebagai yurisprudensi.