16 Juni 2021

opini musri nauli : Hukum Kritis (3)

Tatacara membuka Rimbo 


Tatacara membuka rimbo dimulai dari prosesi seperti “pamit ke penghulu, tatacara membuka rimbo, pemberian tanda, pengaturan, luas yang diberikan dan hak yang melekatnya. 

Didalam Hukum Tanah Melayu Jambi dikenal asas-asas Hukum Tanah Melayu Jambi. Asas-asas ini diatur didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan ditemukan baik didalam melihat seloko yang mengatur tentang Hukum Tanah Melayu Jambi maupun dalam praktek-praktek yang dilakukan. 


Asas Pengakuan Hak 


Asas ini mengakui terhadap hak komunal yang didapatkan melalui prosesi hukum Tanah Melayu Jambi. Asas ini berangkat dari penghormatan prosesi mendapatkan tanah dan penanda tanah. 


Asas Tanah Terlantar 


Apabila tanah yang kemudian tidak dirawat maka dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar. Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti (1) Apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. (3) Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36 Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010). 


Dengan demikian apabila tanah kemudian tidak dirawat maka terhadap tanahnya menjadi hilang. Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat. 


Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329 K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain. 


Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59 K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan “menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu. 


Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal 27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala 


Asas Landreform 


Asas Landreform dapat ditemukan didalam pasal 7, pasal 10 UUPA. Pada prinsipnya, kepemilikan dan penguasaan tanah tidak boleh melampaui batas. 


Pengaturan terhadap kepemilikan dan penguasaan tanah dapat dilihat baik yang berhak memiliki tanah maupun luasnya. 


Di Marga Batin pengambang, Luas tanah yang diberikan 2 hektar. Tanah harus ditanami. Selama 4 tahun tidak dibenarkan membuka rimbo. 


Di Lubuk Mandarsyah setiap keluarga diberikan dengan membuka lebar 25 meter dan panjang 100 meter atau istilah dikampung dinamakan dengan “tapak”18. Sedangkan di Marga Kumpeh Ilir dikenal dengan istilah “Bidang” setelah melalui prosesi “Pancung alas”. 30 depo kali 50 depo. 


Marga Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi berbaris dan tali gawe’. Di Marga Berbak dikenal “umo Genah’. 


Asas Terang dan Tunai 


Asas terang dan tunai dapat dilihat didalam berbagai ketentuan. Pasal 1868, Pasal 1870 dan pasal 1873 KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW). Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 kemudian menegaskan. 


Yurisprudensi Mahkamah Agung kemudian menyebutkan asas Terang dan tunai . 

“Sifat terang atau riil artinya jual beli tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Umum yang berwenang dengan dibuatkan akta jual beli yang ditandatangani penjual dan pembeli. Tunai artinya harga jual belinya dan penyerahan obyek langsung atau serentak dilakukan pada waktu bersamaan (lunas/kontan) (Putusan M.A Nomor 271/K/Sip/1956 dan Putusan M.A Nomor 840/K/ Sip/1971). 


Asas Ius Curia Novit 


Asas ini menyebutkan dimana hakim selalu dianggap tahu hukumnya. Dalam seloko Jambi, pemangku adat diibaratkan “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”. 


Pemangku adat adalah tempat “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah. 


Fungsi Pemangku adat (volksrechter) didalam menyelesaikan perselisihan tanah Melayu Jambi dilakukan secara berjenjang yang ditandai dengan “jenjang adat”. Betangkap naik. Bertangga turun. 


Penyelesaian Sengketa Lingkungan


Pasal 84 UU Lingkungan Hidup menyebutkan “Penyelesaian sengketa lingkungan  hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan”. 


Yang berhak untuk mengajukan gugatan Lingkungan Hidup adalah (1) pribadi atau kelompok masyarakat (class action), organisasi Lingkungan Hidup (legal standing) dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. 


Baca : Hukum Kritis (2)