16 Juni 2021

opini musri nauli : Gugatan Barang Bukti (2)



Melanjutkan tema mengenai gugatan barang bukti, maka pada edisi kali ini juga memuat bagaimana gugatan terhadap barang bukti. 

“Pihak Ketiga yang beritikad baik yang berkeberatan atas Putusan Hakim Pidana yang merampas untuk negara barang bukti berupa tanah yang menurutnya adalah miliknya dan bukan milik terdakwa dalam kasus korupsi, maka “pihak ketiga” ini dapat mengajukan gugatan, bukan dalam bentuk Bantahan atau perlawanan (derden verzet), dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pengumuman Putusan Hakim Pidana tersebut (vide pasal 35 ayat (1) (2) (3) UU No. 3 Tahun 1971” (Putusan Mahkamah Agung No.3404 K/Pdt/1999). 


Dengan demikian maka berpedoman kepada Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Bidang Perdata Peradilan Umum, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung Republik Indonesia, tahun 2008  maka Perlawanan terhadap eksekusi oleh pihak ketiga tidak hanya dilakukan atas
dasar hak milik, akan tetapi juga dilakukan atas dasar hak-hak lainnya seperti hak pakai, HGB, HGU, hak tanggungan, hak sewa, dan lain-lain; Perlawanan pihak ketiga tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melaksanakan eksekusi (Pasal 196 ayat (6) dan ayat (7) HIR).


Perlawanan ini pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi (Pasal 207 (3) HIR dan 227 RBg), kecuali apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan, setidak- tidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri. 


Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum. Seperti PERLAWANAN PIHAK KETIGA (Derden Verzet). 


Namun pada prinsipnya, Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan tidak  hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, tetapi juga dapat didasarkan pada hak-hak lainnya. 


Pemegang hak harus dilindungi dari suatu (sita) eksekusi dimana pemegang hak tersebut bukan sebagai pihak dalam perkara antara lain pemegang hak pakai, hak guna bangunan, hak tanggungan, hak sewa, dan lain-lain. 


Dalam perlawanan pihak ketiga tersebut, pelawan harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai alas hak. 


Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri atau suami terhadap harta bersama yang disita, tidak dibenarkan, karena harta bersama selalu merupakan jaminan untuk pembayaran hutang istri atau suami yang terjadi dalam perkawinan, yang harus ditanggung bersama. 


Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang  memimpin eksekusi yang bersangkutan, apabila perlawanan benar-benar beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan dilelang sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain, atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti bahwa mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik pelawan. Harus diperhatikan, apabila tanah atau mobil tersebut baru saja tercatat atas nama pelawan, karena ada kemungkinan, tanah atau mobil itu diperoleh oleh pelawan setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga perolehan barang tersebut tidak sah. 


Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur, baik dalam HIR, RBg atau RV. Dalam praktek, menurut jurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Oktober 1962 No. 306 K/Sip/1962 dalam perkara : CV Salla s, dkk melawan PT. Indonesia Far Eastern Pasific Line, dinyatakan bahwa meskipun mengenai perlawanan terhadap pensitaan conservatoir tidak diatur secara khusus dalam HIR, menurut jurisprudensi, perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum disahkan (van waarde verklaard). 


Baca : Gugatan Barang Bukti