16 Juni 2021

opini musri nauli : HUKUM TANAH MELAYU JAMBI (2)

Tanah Pembarap 

Dalam himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar bawah Gunung Masurai yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian turun untuk menghuni kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan istilah Tanah Pembarap. 

Di Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan . Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo  merupakan wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam. 


Tanah nan berjenang adalah wilayah sembilan yang berada di bawah pemerintahan jenang. Lembaga jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan daerah daerah di pedalaman akan keberadaan otoritas sentral. Daerah tersebut meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari. Penduduk Tanah nan berjenang ini bermukim migran dari Minangkabau yang disebut sebagai orang Batin dan orang Penghulu, dan yang berasal dari Palembang, yaitu orang Rawas . 


Di daerah hilir dikenal “pancung alas seperti di Marga Kumpeh seperti di Desa Sponjen , Desa Sogo , Desa Sungai Bungur ., Dusun Pulau Tigo dan Desa Sungai Beras. Pancung alas adalah tanah Pemberian dari Pemangku adat. 


Pengaturan Hukum Tanah diutamakan terhadap penduduk dusun. Sedangkan penduduk diluar dusun dapat diberikan tanah sebagai hak pakai sesuai dengna seloko “beladang jauh”. Tidak dapat hak milik sebagaimana seloko “harto berat ditinggal, harto ringan boleh dibawa. 


Tatacara membuka Rimbo 


Tatacara membuka rimbo dimulai dari prosesi seperti “pamit ke penghulu, tatacara membuka rimbo, pemberian tanda, pengaturan, luas yang diberikan dan hak yang melekatnya. 


“Pamit ke penghulu” adalah Seloko terhadap kegiatan yang dilakukan diwilayah kekuasaan Dusun harus sepengetahuan pemangku Adat. 


Tata cara membuka hutan dikenal diberbagai tempat. Di Marga Batin Pengambang dikenal Setawar dingin . Ditentukan didalam rapat kemudian ditentukan siapa saja yang berhak untuk membuka rimbo. 


Datang nampak muko. Pegi nampak punggung. Masyarakat diluar Desa apabila hendak membuka rimbo, maka harus tinggal selama 3 tahun setelah itu harus melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak. 


Nasi Putih Air jernih. Setelah tinggal selama 3 tahun dan melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak, maka diadakan rapat untuk menyampaikan maksud untuk membuko rimbo. 


Namun dikenal Harta Berat ditinggal, harta ringan dibawa”. Apabila meninggalkan Desa maka tanahnya kembali ke Desa. 


Juga dikenal tatacara seperti “Teluk Sakti, Rantau Betuah, Gunung Bedewo”, Setawar dingin”, “Lambas, Datang Nampak muko, pegi Nampak punggung”, “nasi putih air jernih. 


Nasi Putih Air jernih. Setelah tinggal selama 3 tahun dan melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak, maka diadakan rapat untuk menyampaikan maksud untuk membuko rimbo. . 


Setelah itu ditentukan tempat untuk beladang. Dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. 


Didalam Hukum Tanah Melayu Jambi dikenal asas-asas Hukum Tanah Melayu Jambi. Asas-asas ini diatur didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan ditemukan baik didalam melihat seloko yang mengatur tentang Hukum Tanah Melayu Jambi maupun dalam praktek-praktek yang dilakukan. 


Asas Pengakuan Hak 


Asas ini mengakui terhadap hak komunal yang didapatkan melalui prosesi hukum Tanah Melayu Jambi. Didalam Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 


Asas ini berangkat dari penghormatan prosesi mendapatkan tanah dan penanda tanah. 


Prosesi mendapatkan tanah dikenal “pamit ke penghulu. Prosesi dikenal seperti Setawar dingin seperti “rembug”, “nasi putih air jernih”, “betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas, Belukar tuo, Empang krenggong, Nasi putih air jernih, Kelapo. 


Sekok, Selemak Semanis, “harta berat ditinggal, harta ringan dibawa. Selain penanda tanah seperti “takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”, Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari. 


Di Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai . Di Desa Paniban Baru dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat kenduri, melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis. Di Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah 


Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin), untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu yang dikenal “puji perago” . Di Marga Sumay dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. Prosesi yang dijalani berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’, “pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”. 


Di Marga Batin II Ulu, Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau “belukar” . Di Marga Pelepat dikenal membuka hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman” . Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal “tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang boleh disisip”, “bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali”, “lapuk pua jalipung tumbuh”, “kadarek babungo kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput layu” . Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman” . 


Didaerah hilir seperti Di Desa Sungai Bungur, Desa Sponjen, Desa Sogo, Desa Sungai Beras dikenal istilah “pancung alas”. “Pancung alas” atau dengan penamaan lain adalah setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa. 


Diluar dari prosesi diatas maka dikenal “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal “Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo. 


Selain itu pengakuan hak dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Atau sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada dilahan tersebut) atau bedah nang berantai (saluran air persawahan)  merupakan bukti legalitas klaim . Selain itu juga dikenal Dendang kayu betakuk baris. Kayu belepang, takuk kayu, atau Dendang hutan besawa sulo. 


Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus. 


Baca : Hukum Tanah Melayu Jambi