Syahdan. Terdengar suara murka dari Sang Maharaja Alengka. Didepannya para punggawa kerajaan, dubalang kerajaan, para Raja negeri Alengka, adipati, mangku, menti terduduk diam. Wajahnya menekuk di Lantai. Tidak bersuara.
“Wahai, Raja Jayakartadiningrat. Apakah tidak ada para pendekar yang mampu menaklukkan dedemit yang menyerang Jayakarta ? Apakah engkau tidak becus mengurusi kerajaan Jayakarta ?’, tanya sang maharaja Alengka.
Wajahnya menunjukkan kemarahan. Suaranya melengking. Terdengar hingga di ujung Langit.
“Daulat, tuanku. Hamba mohon maaf. Memang benar. Hingga kini para pendekar di Jayakarta belum ada menandingi para dedemit yang menyerang Negeri Jayakarta. Sekali lagi hamba mohon maaf “, jawab Raja Jayadiningrat pelan. Terdengar suara ketakutan. Mendengar murka sang maharaja Alengka.
“Lalu. Apa saja yang engkau telah kerjakan. Hingga kini belum juga ditemukan para pendekar yang mampu menandingi kesaktian dedemit yang menyerang Jayakarta ?”, lagi-laga sang maharaja murka.
“Daulat, tuanku. Hamba menerima kesalahan. Memang hamba lalai. Sehingga belum ditemukan para pendekar yang mampu menandingi kesaktian dedemit yang menyerang istana Jayakarta ?’, lagi-lagi sang raja Jayadiningrat terdiam. Tidak mampu mengadahkan wajahnya. Wajahnya tertekuk di Lantai. Lesu. Tidak bergairah.
“Baiklah. Istana Alengka akan mengirimkan para pendekar yang mengawal kerajaan Jayadiningrat”, titah sang Maharaja Alengka. Sembari meninggalkan balairung Istana Alengka.
Suasanapun sunyi.