Kasus korupsi yang melibatkan "orang baik" sering kali menimbulkan keterkejutan publik karena fenomena ini melibatkan berbagai bias kognitif dan sesat pikir. Dokumen "Sesat Pikir Kasus Korupsi" menganalisis fenomena ini dan bentuk-bentuk penyangkalan korupsi yang umum terjadi.
Mengapa Publik Terkejut Ketika "Orang Baik" Korupsi?
Keterkejutan publik saat figur yang dikenal sebagai "orang baik" terjerat korupsi adalah fenomena kompleks yang berakar pada disonansi kognitif dan sesat pikir. Publik terkejut karena sudah memiliki stigma positif terhadap individu tersebut, sehingga fakta bahwa mereka melakukan tindakan amoral seperti korupsi sangat bertentangan dengan pandangan yang sudah terbentuk. Stigma "orang baik" ini biasanya melekat pada individu yang memiliki integritas, rekam jejak bersih, dan citra publik yang positif, seperti aktivis atau pemimpin agama.
Keterkejutan ini dapat dianalisis melalui beberapa sudut pandang seperti Disonansi Kognitif, Persepsi dan Stigma, Sistem Kepercayaan dan Fundamental Attribution Error
Kekeliruan ini terjadi ketika kita cenderung menilai tindakan orang lain berdasarkan karakter intrinsik mereka, bukan situasi eksternal yang memengaruhinya. Ketika korupsi dilakukan oleh "orang baik," sulit bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa mereka bisa melakukan perbuatan seburuk itu karena kita sudah melabeli mereka sebagai orang yang jujur dan bermoral.
Bentuk-Bentuk Penyangkalan Korupsi
Penyangkalan korupsi sering kali muncul dalam berbagai narasi menyesatkan untuk menutupi atau membenarkan tindakan koruptif. Mengabaikan narasi-narasi ini adalah langkah krusial dalam melawan korupsi
Berbagai bentuk penyangkalan seperti “tidak menerima uang/upeti, negara tidak dirugikan dan stigma orang baik.
Pernyataan seseorang tidak menerima uang atau upeti tidak serta-merta berarti mereka tidak korupsi. Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan bisa terjadi dalam berbagai bentuk, bahkan tanpa ada uang tunai yang berpindah tangan.
Penyangkalan sering digunakan sebagai taktik pengalihan isu (red herring fallacy) untuk memanipulasi opini publik. Dengan hanya berfokus pada penerimaan uang, narasi ini mengabaikan bentuk-bentuk korupsi lain yang sama merusaknya.
Padahal korupsi terkandung dimensi yang penting seperti penyalahgunaan wewenang, nepotisme/kronisme, penyuapan non tunai (hadiah, barang mewah, liburan) dan penggelapan sumber daya public.
Dengan demikian maka narasi “tidak menerima uang/upeti” jauh dari esensi korupsi itu sendiri.
Selain itu narasi "Negara Tidak Dirugikan" adalah penyangkalan yang cukup serius. Pikiran bahwa korupsi tidak terjadi jika tidak ada kerugian finansial bagi negara adalah kekeliruan umum. Penyuapan dan suap tetap dikategorikan sebagai korupsi meskipun tidak secara langsung merugikan keuangan negara. Kerusakan akibat korupsi tidak hanya diukur dalam bentuk finansial, tetapi juga dalam degradasi institusi dan tatanan sosial, seperti rusaknya kepercayaan publik dan terkikisnya prinsip keadilan. Selain juga penyuapan sudah termasuk sejak diatur didalam KUHP maupun UU Tindak pidana korupsi.
Yang sering luput dari perhatian adalah "Membangun Stigma Orang Baik". Pelaku korupsi sering kali dikenal memiliki citra positif, seperti rajin beribadah, suka bersedekah, atau menjadi donatur.
Narasi ini sengaja dibangun untuk mengalihkan fokus dari kejahatan yang sebenarnya ke karakter personal yang seolah-olah tidak tercela.
Namun pernyataan ini menegaskan penilaian moral seseorang harus didasarkan pada tindakan nyata, bukan reputasi masa lalu.
Stigma "orang baik" tidak dapat disandingkan dengan perbuatan korupsi yang telah dilakukan.
Oleh karena itu, menganalisis kasus korupsi harus dilakukan dengan pikiran jernih, yaitu pendekatan yang rasional, objektif, dan komprehensif.
Fokus pada fakta dan bukti, bukan emosi atau opini, serta melihat akar masalah dan menggunakan pendekatan multidisiplin.
Dengan memahami korupsi secara utuh, masyarakat dapat menghindari jebakan sesat pikir yang dapat menghambat penegakan hukum yang adil.
Advokat. Tinggal di Jambi