Usai sudah teka-teki siapa yang menjadi “Pendekar Penegak Hukum Pemberantasan Korupsi”.
Pengganti Antasari Azhar (Ketua KPK) dan Jaksa Agung sudah ditetapkan dan mulai menjalankan tugasnya.
Hiruk-pikuk dua jabatan penting itu kemudian menjawab asumsi publik.
Apakah SBY mempunyai komitmen Politik sebagai Panglima memberantas Korupsi.
Terlepas dari kemenangan yang diraih Ketua KY Busyro Muqoddas sebagai ketua KPK yang baru dan Presiden SBY menetapkan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Basrief Arif sebagai Jaksa Agung menggantikan Hendarman Supandji, meninggalkan catatan panjang.
Apakah Sikap Politik DPR dan kewenangan SBY menetapkan Basrief Arif sebagai Jaksa Agung akan menjawab dahaga publik ?
Ketika Panitia Seleksi Ketua KPK berhasil menyelesaikan tugasnya dengan mengusulkan Busyro Muqoddas (BM) dan Bambang Wijoyanto (BW), ekseptasi publik meningkat.
Anggaran 2 milyar lebih yang dihabiskan untuk melakukan seleksi “seakan-akan” tidak berarti dengan keberhasilan mendapatkan dua nama yang penting tersebut. Nama hasil seleksi Pansel mempunyai track record cukup baik dan harapan kemudian digantungkan.
Bahkan berkembang pemikiran, BM digadang-gadang ke KPK dan BW diusulkan menjadi Jaksa Agung.
Menurut penulis, apabila skenario ini kemudian berhasil, masyarakat bisa berharap lebih kepada upaya pemberantasan korupsi dan hukum menjadi panglima dalam dunia hukum.
Namun, lagi-lagi, upaya politik lebih mendominasi daripada keberhasilan memberantas korupsi.
Harus diakui, setiap proses pemilihan komisioner tidak terlepas dari tarik menarik kepentingan politik. Lembaga negara seperti KPK, KPU atau Dewan Gubernur BI menjadi pertarungan politik didalam peran partai untuk menguasai sektor-sektor penting.
Dalam catatan penulis, dengan tidak menyebutkan lembaga-lembaga lain (baca seperti KOMNAS HAM), ketiga lembaga tersebut menjadi kepentingna partai selain mengendalikan agar korupsi yang berdekatan dengna kepentinga partai juga mengendalikan Bank Sentral dalam upaya mengukur kekuatan pengaruh partai.
Asumsi ini tentu saja banyak juga dipengaruhi berbagai indikator yang menguatkan “begitu” pentingnya, sektor ini dikuasai sehingga praktis, pembahasan tentang pemilihan Komisioner dan Dewan Gubernur BI tarik menarik antara partai satu dengan yang lain.
KETUA KPK
Berangkat dari asumsi yang telah disampaikan, terpilihnya Ketua KY Busyro Muqoddas dianggap lebih karena santun, tidak meledak-ledak dan berkesan lebih “adem” dan diharapkan dapat membangun hubungan yang harmonis ketika berhadapan dengan DPR.
DPR berkepentingan dengan KPK, karena pada masa Antasari Azhar, KPK menunjukkan taringnya. Selain telah menyeret berbagai kasus yang bersentuhan dengan anggota DPR (baik dalam kasus Al Amin Nasution, kasus BI, travel cheque BI), KPK mulai semakin “bergigi”.
KPK mendapatkan dukungan publik. Upaya kriminalisasi terhadap Antasari Azhar dan upaya sistematis terhadap Bibit Chandra tidak dapat dilepaskan, bagaimana DPR begitu gigih mempersoalkannya.
Terlepas dari kekuatan kaum sipil yang berhasil menggagalkan kriminalisasi Bibit Chandra, bacaan publik tidak dapat dihilangkan, bagaimana DPR berkepentingan mengendalikan KPK.
Dengan asumsi itulah, pemilihan Ketua KY Busyro Muqoddas sebagai Komisioner dan Ketua KPK ditentukan.
JAKSA AGUNG
Asumsi yang sama juga dilakukan saat Presiden SBY menetapkan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Basrief Arif (BA) sebagai Jaksa Agung menggantikan Hendarman Supandji.
Nama BA yang tidak pernah disebut-sebut dalam wacana Jaksa Agung mengindikasikan (kalaulah tidak dikatakan didikte oleh kalangan internal Kejaksaan-ingat Aksi sekitar 8.479 jaksa di bawah Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) yang meminta Presiden mengangkat jaksa dari internal kejaksaan), Presiden SBY tidak membuka ruangan polemik di internal Kejaksaan.
Keinginan publik terhadap BW agar terpilih sebagai Jaksa Agung seperti tidak ditangkap pesan oleh SBY. SBY lebih berkonsentrasi kepada Kejaksaan lebih menata Jaksa yang nakal daripada pemberantasan korupsi.
Penetapan BA sebgai Jaksa Agung diharapkan tidak menimbulkan resistensi dari kalangan internal kejaksaan.
Namun yang harus diingat, terlepas dari resistensi dari kalangan internal kejaksaan, berbagai survey menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga yang tidak tersentuh reformasi.
Sikap protektif dari kritikan perbaikan kejaksaan, berlarut-larutnya kasus bersentuhan dengan kejaksaaan, masih kuatnya budaya melindungi korps (spirit de corps) membuat kejaksaan lamban merespon perubahan dan terjebak dalam pusaran kekuasaan dan tarik menarik politik.
Tertangkapnya Urip Tri Gunawan, pembicaraan telephone antara Artalyta dengan petinggi kejaksaan, kasus Bibit-Chandra dan yang paling hangat “skenario” Cirus Sinaga mengindikasikan, kejaksaan harus direformasi untuk menangkap perubahan zaman.
Terlepas dari Kewenangan Presiden menetapkan Jaksa Agung, Sehingga tidak salah, apabila penetapan BA sebagai Jaksa Agung tidak dapat dilepaskan dari nuansa kepentingan politik semata.
CATATAN PENTING
Dua catatan ini membuktikan asumsi, bahwa terpilihnya Ketua KY Busyro Muqoddas dan penetapan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Basrief Arif sebagai Jaksa Agung lebih kental bernuansa politis.
DPR dan Presiden tidak menangkap aspirasi publik. DPR dan Presiden lebih mengedepankan kepentingan politik daripada pemberantasan Korupsi.
Namun, sebagai bagian dari optimis terhadap penegakan hukum di Indonesia, penulis memberi keyakinan, asumsi yang disampaikan haruslah dijawab dengan kerja keras dari BM dan BA.
Kerja keras itu harus diwujudkan dengan berbagai prestasi dan ekseptasi publik yang sudah mulai jenuh dengan berbagai peristiwa yang menusuk keadilan.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 29 November 2010