Ditengah masyarakat Melayu Jambi, alam kosmopolitan Pemimpin disebutkan didalam seperti Seloko seperti “memegang lantak nan dak goyang, cermin nan dak kabur, yang punya anak buah/rakyat banyak, yang memasukkan petang mengeluarkan pagi, Yang memuncak, urek nan menunggang dalam negeri” adalah cerminan tanggungjawab yang begitu besar.
Simbol kepemimpinan dan penghormatan terhadap pembesar sering disebutkan dan dilekatkan didalam Seloko yang menyebutkan Pohon Beringin. Pohon Gedang ditengah dusun. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut”. Ada juga yang menyebutkan “kayu gedang ditengah dusun. Pohonnya rimbun. Akarnyo tempat duduk besilo”. Ada juga yang menyebutkan Pemimpin itu hendaknyo ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnyo rimbun tempat belindung ketiko hujan tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo.. pegi tempat betanyo, balik tempat babarito.
Menempatkan pemimpin sering disampaikan didalam Seloko seperti “kayu gedang ditengah dusun. Pohonnya rimbun. Akarnyo tempat duduk besilo”. Ada juga yang menyebutkan Pemimpin itu hendaknyo ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnyo rimbun tempat belindung ketiko hujan tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo.. pegi tempat betanyo, balik tempat babarito.
Pentingya memahami tutur ditandai dengan cara menempatkan diri. Sebagai “pemimpin” yang ditempatkan “negeri sekato rajo. Batin sekato negeri” melambangkan pemimpin yang dipercaya masyarakat merupakan orang dihormati.
Kata “akar” menunjukkan “tempat yang kuat” untuk duduk besilo. Sehingga kepemimpinan dapat memayungi seluruh masyarakat. Dalam alam kosmopolitan masyarakat Jawa dikenal “Memayung Hayuning Bawana”.
Sedangkan seloko Tempat Betanyo dapat diartikan pemimpin adalah tempat untuk pergi tempat betanyo. Sedangkan setelah kembali dari bepergian, maka Pemimpin kemudian menjadi tempat untuk berkabar (Balik tempat beberito)
Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan Batin dari Desa”.
Seloko Pohon beringin ditengah dusun kemudian dapat disandingkan dengan Seloko seperti
“Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak.Atau“Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang”. Ada juga menyebutkan “alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin” atau “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin”, “alam takambang jadi Guru”, atau “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin”. Atau “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Atau “Alam sekato rajo, negeri Sekato Batin. Di Margo Sungai Tenang menyebutkan “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai.” Di Margo Sumay biasa dikenal dengan ujaran “Alam sekato rajo, negeri Sekato Batin.”
Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja”.
Penggambaran seloko Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang” atau “alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin” atau “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin”, “alam takambang jadi Guru” dapat dilihat bagaimana struktur sosial “Alam nan barajo” adalah penggambaran tentang Struktur sekaligus penghormatan terhadap kepemimpinan ditengah masyarakat. Seloko ini melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk menempatkan dan menghormati pemimpin.
“Alam nan barajo” atau “alam sekato Rajo” adalah seluruh masyarakat harus taat dengan hukum alam yang terjadi di wilayahnya. Sehingga penghormatan terhadap alam Semesta harus memberikan perlindungan kepada alam agar tidak memberikan derita/bencana yang terjadi ditengah masyarakat. Alam Berajo dapat juga diartikan anggota masyarakat harus mempunyai kepemimpinan. Begitu juga dengan Seloko Rantau nan bajenang yang membuktikan setiap tempat (luak, rantau, kampung) pasti ada yang diangkat menjadi pemimpin untuk mengurusi sekaligus menjadi pelindung ditengah masyarakat.
Seloko Negeri bebatin atau “negeri sekato batin adalah gambaran Seloko sekaligus seluruh titah (perintah) dari Raja (dibaca sebagai Pemimpin) harus ditaati. Agar ketertiban dan ketentraman ditengah masyarakat dapat dicapai.
Sedangkan Seloko “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Rantau Sekato Jenang” ada juga menyebutkan “Luak bepenghulu, Kampung betuo, Rantau bejenang”, adalah gambaran Penghulu, Tuo-tuo kampung (tuo-tuo tengganai) dan Jenang adalah perlindungan yang diberikan kepada masyarakat di rumpun perkampungan lebih Kecil.
Penghulu, tuo Tuo-tuo kampung (tuo-tuo tengganai) maupun Jenang sekaligus menjadi lembaga untuk menyelesaikan persoalan “Anak kemenakan”.
Seloko Negeri bebatin atau “negeri sekato batin adalah gambaran Seloko sekaligus seluruh titah (perintah) dari Raja (dibaca sebagai Pemimpin) harus ditaati. Agar ketertiban dan ketentraman ditengah masyarakat dapat dicapai.
Sedangkan Seloko “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Rantau Sekato Jenang” ada juga menyebutkan “Luak bepenghulu, Kampung betuo, Rantau bejenang”, adalah gambaran Penghulu, Tuo-tuo kampung (tuo-tuo tengganai) dan Jenang adalah perlindungan yang diberikan kepada masyarakat di rumpun perkampungan lebih Kecil.
Penghulu, tuo Tuo-tuo kampung (tuo-tuo tengganai) maupun Jenang sekaligus menjadi lembaga untuk menyelesaikan persoalan “Anak kemenakan”.
Pemimpin juga sering disebutkan didalam Seloko seperti “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekata`. Atau dapat juga dilihat dari seloko seperti “Tempat pegi betanyo. Tempat balek becerito”.
Setiap ucapan, perbuatannya, pandangan, sikap kemudian diikuti orang banyak. Lihatlah setiap bait-bait seloko yang mengikuti terhadap putusan Pemimpin. Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah. Seloko ini juga menggambarkan pemimpin didalam memutuskan sebuah persoalan mampu memberikan solusi dari kehidupan sehari- hari.
Dapat juga diartikan Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah’menggambarkan pemimpin “pemutus akhir”. Sehingga putusan akhir dapat “menjernihkan aek yang keruh”.
Pemimpin juga sering disebutkan didalam seloko “memancung putus” yang kemudian disimbolkan sebagai sifat pemimpin yang ditunjuk oleh masyarakat. Dalam maknanya “memancung putus”, sifat seorang pemimpin ketika menemui sebuah persoalan, maka setiap perkataan, ujarannya dapat menyelesaikan persoalan. Dengan demikian maka Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai” adalah penghormatan terhadap pemimpin. Pemimpin ditempatkan sebagai salah satu pucuk “pemutus dari setiap keputusan” terhadap persoalan yang terjadi ditengah masyarakat.
Setiap ucapan, perbuatannya, pandangan, sikap kemudian diikuti orang banyak. Lihatlah setiap bait-bait seloko yang mengikuti terhadap putusan Pemimpin. Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.
Seloko ini juga menggambarkan pemimpin didalam memutuskan sebuah persoalan mampu memberikan solusi dari kehidupan sehari-hari.
Seloko seperti ”Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu sepatah, netak mutus, Makan ngabisi” adalah melambangkan sikap yang bijaksana. Seloko seperti ”Tempat Betanyo, artinya pergi tempat betanyo, Balik tempat beberito” adalah menempatkan keteladanan kepemimpinan yang kemudian menjadi tempat berteduh dan menjadi saluran dari semua persoalan masyarakat.
Istilah Seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. “Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah’menggambarkan pemimpin “pemutus akhir”. Sehingga putusan akhir dapat “menjernihkan aek yang keruh”.
Istilah “memancung putus” disimbolkan sebagai sifat pemimpin yang ditunjuk oleh masyarakat. Dalam maknanya “memancung putus”, sifat seorang pemimpin ketika menemui sebuah persoalan, maka setiap perkataan, ujarannya dapat menyelesaikan persoalan.
Seloko ini melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk menempatkan dan menghormati pemimpin. Seloko ataupun cara pandang ini sekaligus membuktikan peradaban leluhur bangsa Indonesia yang menempatkan manusia Indonesia sebagai pribadi yang luhur.
Sebagai pemimpin maka harus mempunyai sifat. Diantaranya seperti
- Pohon Beringin. Pohon Gedang ditengah dusun. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut”
- Jujur dan adil. Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur. Sebagai pemimpin harus bersikap adil. Seloko seperti “Sifatnya harus adil, data bak sawah selupak, licin bak lantai bemban, beranak tiri beranak kandung, tidak tumbuh di papan nak berentak, tumbuh di di duri nak senginjek, tumbuh dimatao dipicingkan, tumbun perut dikempiskan. Kalo perlu beruk dirimbo disusukan, anak pangku diletakkan”, adalah cerminan dari sikap adil.
- Pemimpin tidak boleh “bilah bambu. Sekok diinjak. Sekok diangkat”. Pemimpin seperti itu hanya mementingkan keluarga saja. Untuk persoalan yang menimpa keluarga, maka pemimpin tidak bisa berlaku adil. Namun untuk masyarakat umum, memberikan hukuman yang berat. Ada juga yang menyebutkan didalam Seloko Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur
- Cerdik. idak membuang kawan, gemuk idak membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang idak melilit.
- Pandai (manager). “Orang buto peniup lesung, Orang pekak pelepas bedil, orang lumpuh penunggu rumah, Orang patah pengejut ayam, Orang buruk pelantun dune, Kain baju peneding miang, Emas perak peneding malu, Idak ado bergs atah dikisai.
- Menjunjung Kebenaran. Bekato benar bejalen lurus, Memakai suci memakan halal.
- Bijaksana. Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu sepatah, netak mutus, Makan ngabisi. Dan mampu seperti suluh/obor. Lihatlah seloko Tempat Betanyo, artinya pergi tempat
betanyo, Balik tempat beberito.
- Jujur dan adil, artinya menjunjung tinggi cupak dan gantang ; Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur. Ada juga yang menyebutkan “Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur
- Cerdik, artinya cerdik idak membuang kawan, gemuk idak membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang idak melilit.
- Pandai, artinya meletakan sesuatu pada tempatnya ; Orang buto peniup lesung, Orang pekak pelepas bedil, orang lumpuh penunggu rumah, Orang patah pengejut ayam, Orang buruk pelantun dune, Kain baju peneding miang, Emas perak peneding malu, Idak ado bergs atah dikisai.
- Menjunjung kebenaran, artinya Bekato benar bejalen lurus, Memakan suci memakan halal.
- Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung. Selain itu juga seorang Pemimpin harus mencerminkan Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung. Seseorang harus menyampaikan sikap yang baik kepada siapapun yang pernah membesarkannya. Sehingga seloko Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung kemudian ditafsirkan sebagai ketika datang baik-baik, alangkah bijaksana dan elegan kemudian diapun pergi juga secara baik-baik pula.
Ada juga yang menyebutkan sifat kepemimpinan Seorang pemimpin menjadi suri tauladan yang ditandai dengan Seloko
Menurut adat Melayu Jambi untuk menjadi seorang pemimpin itu paling kurang memenuhi persyaratan
- Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait. sifat kepemimpinan Seorang pemimpin menjadi suri tauladan yang ditandai dengan Seloko “Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait. Sehingga pernyataan ataupun apapun sikap dari kepemimpinan tidak boleh berbeda dengan yang diucapkan dengan apa yang akan dilakukan. Dalam tradisi pemikiran Masyarakat Jawa dikenal "esuk dele sore tempe”. Pemimpin yang sering berubah pendapat atau mengingkari janjinya sendiri. Tuduhan ini tidak main-main. Tuduhan ini sekaligus ungkapan pribadi dari penutur yang sudah Tahap mengganggap Pemimpin yang tidak konsisten dengan pendapatnya atau suka ingkar janji. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebutkan sebagai “Plintat-plintut”.
- Jangan menggunting kain dalam lipatan, menohok kawan seiring (Jangan menghianati kawan sendiri)
- Hendaknyo masalah iko Jatuh ke api hangus, jatuh ke aek hanyut.
(hendaknya masalah ini cukup selesai di sini/cukup sampai di sini)
- Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung.
(hendaknya datang secara baik- baik, pergi juga secara baik-baik)
- Awak pipit nak nelan jagung
(impian yang terlalu besar, impian yang tidak mungkin)
- Pegi macang babungo, balik macang bapelutik.
(istilah yang dipakai untuk orang yang
merantaunya hanya sebentar)
Disisi lain, menurut Seloko Masyarakat Melayu Jambi, seseorang tidak dapat dijadikan pemimpin apabila mempunyai sifat yang ditandai dengan seloko
- Pimpinan Di Ujung Tanjung, adalah pimpinan yang suka mengambil muka, berdusta dan berdiri di atas penderitaan teman, dan suka mengaku sebagai pahlawan.
- Pimpinan Ayam Gedang, adalah pimpinan yang suka menonjolkan tuahnya atau kemampuannya, padahal tak ubahnya seperti ayam berkotek saja tak pernah bertelur. Ia adalah pimpinan elok bungkus pengikat kurang.
- Pimpinan Buluh Bambu, adalah pimpinan yang mengutamakan penampilan luar, kosong di dalam, namun hilir mudik membanggakan dirinya sebagai seorang pimpinan. Sifat Pemimpin tidak boleh “bilah bambu. Sekok diinjak. Sekok diangkat”. Pemimpin seperti itu hanya mementingkan keluarga saja. Untuk persoalan yang menimpa keluarga, maka pemimpin tidak bisa berlaku adil. Namun untuk masyarakat umum, memberikan hukuman yang berat. Ada juga yang menyebutkan didalam Seloko Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur
- Pimpinan Ketuk-Ketuk, adalah pimpinan yang tidak memiliki keberanian membela masyarakat; ia akan berbuat bilamana di desak.
- Pimpinan Busuk Aring, adalah pimpinan berhati licik, curang, serakah, melilit orang, korup, kadangkala mau menjual keluarga dan sahabatnya.
- Pimpinan Pisak Celano, adalah pimpinan yang suka kawin cerai, bila melihat wanita cantik maka hatinya tergiur untuk mengawininya kemudian ia ceraikan.
- Pimpinan Tupai Tuo, adalah pimpinan berhati minder atau rendah diri, dan tidak berani tampil ke gelanggang
Pemimpin yang mempunyai sifat berdasarkan Seloko Jambi kemudian dikenal sebagai Pemimpin yang lalim. Jatuh dipemanjat. Hanyut di perenang
Terhadap pemimpin bersikap culas, tidak adil dan merugikan masyarakat, maka “tulah” Datuk Paduko Berhalo kemudian disampaikan melalui sumpahnya. “Tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Ditengah-tengah dimakan kumbang”.
Sumpah laknat Datuk Paduko Berhalo masih berlaku. Dan itu diwariskan dan menjadi ingatan kolektif (memorial collective) masyarakat Melayu Jambi.
Hubungan antara pemimpin dengan alam kemudian ditandai dengan Tanda hubungan baik antara pemimpin dengan alam. Apabila pemimpin yang “direstui” oleh alam semesta ditandai dengan seloko “Negeri Aman, Padi Menjadi. Airnyo bening, ikannya jinak. Rumput mudo, kebaunya gepuk. Padi masak, rumpin mengupih. Timun mengurak, bungo tebu. Meyintak ruas terung ayun mengayun. Cabe bagai bintang timur. Ke ayek tiik keno, ke darat durian guguu.
Simbol Seloko “durian guguu” menandakan Musim durian tahun ini mulai menampakkan hasilnya. Musim durian adalah “lambang” alam semesta yang merestui kelahiran dan kepemimpinan dari daerahnya.
Ada juga yang menyebutkan wajah negeri ditandai dengan “seloko Elok negeri dengan yang tuo. ramai Negeri oleh yang mudo”. Makna ini sesuai dengan makna didalam Filosofi Jawa “gemah repah. Loh Jinawi. Tata tentrem kerto Raharjo”.
Sebagai bagian dari masyarakat adat Melayu Jambi, cara bertutur, bersikap sekaligus menempatkan diri adalah ciri dan budaya adiluhung.