08 April 2021

opini musri nauli : Arah Mata Angin



Didalam alam kosmopolitan Jawa dikenal “kiblat papat lima pancer’ sebagai nilai falsafat Jawa. Kiblat papat lima pancer sebagai falsafah Jawa merupakan salah satu perwujudan konsep mandala. Suwardi Endraswara menyebutkan “Sedulur papat lima pancer”[1].
Pandangan ini disebut juga “dunia waktu”, artinya penggolongan empat dimensi ruang yang berpola empat penjuru mata angin dengan satu pusat. Hal ini berkaitan dengan kesadaran manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dengan alam semesta. Konsep ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia terlahir dengan membawa hawa nafsu yang bersumber dari dirinya sendiri.

Berdasarkan pandangan kiblat papat lima pancer, nafsu yang menjadi dasar karakter manusia dapat dibagi menjadi empat sesuai dengan arah mata angin, yaitu lauwamah, supiyah, amarah dan mutmainah[2].

Marah kemudian disimbolkan dengan warna merah dan dletakkan sebagai selatan. Sedangkan Birahi disimbolkan warna kuning dan diletakkan sebagai Barat. Nafsu makan kemudian disimbolkan sebagai hitam dan diletakkan sebagai utara. Dan nafsu minum dilekatkan sebagai warnah putih dan diletakkan sebagai Timur.  

Di Masyarakat Melayu Jambi dikenal mata angina ditandai dengan pengungkapan “matahari hidup”, dan “matahari mati’. Matahari hidup merupakan pengungkapan arah matahari terbit. Kemudian dikenal Timur. Sedangkan Matahari mati dikenal sebagai arah matahari tenggelam. Dikenal sebagai Barat.

Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan toman[3]. Sedangkan Muara air sungai ke “arah matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[4]

Dalam catatan Endjat Djaenuderadjat dkk didalam bukunya “Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia” menyebutkan angin mati” dan “angin hidup”. Angin hidup adalah angin dari timur sehingga membawa pelayaran dari Indonesia ke Tiongkok, India, Persia maupun Ottaman Turki. Sedangkan “angin mati  adalah angin dari barat ke arah timur. Putaran masing-masingnya dikenal 6 bulan. Membawa hasil rempah-rempah kemudian datang membawa sutera, tekstil, mesiu, emas dan keramik[5].

Catatan lain juga menyebutkan “negeri diatas matahari” dengan merujuk kepada negeri-negeri di Timur. Sedangkan “negeri dibawah matahari” kemudian merujuk kepada negeri-negeri seperti Tiongkok, India, Persia dan Ottaman Turki.

Negeri diatas matahari kemudian dikenal sebagai arah timur. Sedangkan “negeri dibawah matahari” sebagai arah barat.

Sedangkan punggawa penjaga negeri juga ditandai dengan arah angin.  Di Marga Batin Pengambang dikenal Rio Cekdi Pemangku Rajo yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru. Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang  menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil[6].

Marga Maro Sebo Ulu merupakan Debalang Raja Jambi. Sebagai Debalang Raja Jambi maka senang disebut sebagai “Orang Raja. Yang memerintah di Dusun Kembang Seri, Dusun Sungai Rengas dan Dusun Sungai Ruan[7].

Sebagai Debalang Raja, maka Dubalang di Teluk Leban bertugas untuk menyambut tamu Raja. Debalang di Rengas 9 bertugas untuk penjaga kebun raja. Sedangkan Dubalang di Peninjauan sebagai peninjau terhadap kedatangan yang datang ke Marga Maro Sebo Ulu[8].

Sebagai Dubalang Raja juga dikenal di Marga Pemayung Ulu. Selain menjaga keselamatan Raja, maka Dubalang Raja juga bertindak untuk “memayung Raja’. Sehingga keselamatan Raja ditentukan sebagai “orang kepercayaan” untuk menjaga secara fisik[9].

Di Marga Pemayung Ilir dikenal Debalang Rajo. Berkedudukan di Dusun Kuap. Selain itu juga dikenal “kermit” untuk mengabarkan kampong sebelumnya. Kermit selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh mencalang), kermit juga “pemayung Rajo”. Kermit bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat tugasnya maka “Kermit” juga dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput yang tinggal. Mengangkat yang berat[10].

Punggawa penghubung kerajaan juga dikenal di Marga IX Koto. Didalam pelarian dengan ditemani “orang kepercayaan” Sultan Thaha Saifuddin, Sultan Thaha Saifuddin begitu dihormati. Setiap jalur pelarian, Sultan Thaha Saifuddin diterima dan dikawal dengan disiapkan “julat”. Julat adalah seorang kepercayaan dari pemimpin dusun di setiap jalur pelarian. Julat kemudian mengawal selama perjalanan hingga ke tempat berikutnya[11],.

Didalam asal usul keturunan Kalbu atau kerajaan Yang dua Belas Bangsa Kerajaan Tanah Pilih dikenal nama perisai (Kerajaan atau kalbu). Dengan tugas, gelar, jabatan dan lokasinya[12].

Dikenal Tumenggung bergelar Paku Negoro di Tujuh koto Sembilan Koto. Tugasnya Menunggu Rumah Pusaka Sunan Pulau Johor dan pengawal Kerajaan. Kemudian Pasirah Setio Guno di Betung Bedarah (Petajin). Tugasnya membuat dan merawat Rumah Raja. Kemudian Sunan Kembang Seri bergelar Wira Sandika di Kademangan. Tugasnya Penjaga keamanan.

Tumenggung bergelar Puspo Wijoyo/Pangeran Keromo Yudo di Kampung Gedang dan Tanjung Pasir. Tugasnya Pengadaan kerbau seekor, kelapa seratus buah, beras seratus gantang serta asam garamnya jika ada sedekahan atau penobatan Raja. Kemudian Temenggung Suto Dilago dio Kampung Baru Tanjung Pedalaman Jebus. Tugasnya sebagai panitia penobatan Raja dan menyediakan keperluan penobatan. Jadi sebelum Raja dinobatkan, dialah yang dahulu Raja. Sebab dialah yang mengatur semua keperluan Raja. Maka kemudian digelar juga Rajo. Tugas lain merawat Rumah Raja.

Di Marga Air Hitam dikenal Pasirah Setio Guno di Lubuk Kepayang. Tugasnya mengambil kayu api an Air. Di Marga Awin dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Raso Dano. Berpusat di Pulau Kayu Aro. Tugasnya sebagai pengawal Raja.

Di Muara Pijoan dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo Keti di Kuap. Tugasnya mengawal Raja. Selain itu juga dikenal Penghulu/pemangku yang bergelar Ngebi Kerti Diguno di Sekernan. Tugasnya merawat Raja dan membuat kayang untuk Raja. Selain itu di Sungai Duren dikenal Penghulu/pemangku bergelar Ngebi Suka Dirajo. Tugasnya menyediakan pengangkutan. Sedangkan di Sarang Burung dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo pati Tambi Yudo. Tugasnya Memelihara persenjataan.

Dan di Terusan dikenal Pemangku/penghulu bergelar Jaga Patih Temin Yudo yang bertugas sebagai pengawal Raja.



            [1] Suwardi Endraswara, Memayu Hayuning Bawana – Laku Menuju Keselamatan dan Kebahagiaan Hidup Orang Jawa, Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2016, Hal. 18
            [2] Dharsono Sony Kartika. Seni Rupa Modern, Rekayasa Sains,  Bandung, 2004, Hal. 33
[3] Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[4] Sungai Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
            [5] Endjat Djaenuderadjat dkk, “Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia”, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, Hal 336

            [6] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[7] Desa Kembang Seri, Batanghari, 23 Februari 2015
[8] Peninjauan bisa diartikan sebagai “peninjau”. Dapat dimaknai sama dengan penyampai kabar kepada Raja.
            [9] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016
            [10] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
[11] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [12] Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk, Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi, Depdikbud, Jakarta, 1991, Hal. 228