Didalam
alam kosmopolitan Jawa dikenal “kiblat
papat lima pancer’ sebagai nilai falsafat Jawa. Kiblat papat lima
pancer sebagai falsafah Jawa
merupakan salah satu perwujudan konsep mandala. Suwardi Endraswara menyebutkan “Sedulur papat lima pancer”[1].
Pandangan
ini disebut juga “dunia waktu”, artinya penggolongan empat dimensi ruang yang
berpola empat penjuru mata angin dengan satu pusat. Hal ini berkaitan dengan
kesadaran manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dengan
alam semesta. Konsep ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia terlahir dengan
membawa hawa nafsu yang bersumber dari dirinya sendiri.
Berdasarkan
pandangan kiblat papat lima pancer,
nafsu yang menjadi dasar karakter manusia dapat dibagi menjadi empat sesuai
dengan arah mata angin, yaitu lauwamah, supiyah, amarah dan mutmainah[2].
Marah kemudian
disimbolkan dengan warna merah dan dletakkan sebagai selatan. Sedangkan Birahi
disimbolkan warna kuning dan diletakkan sebagai Barat. Nafsu makan kemudian disimbolkan
sebagai hitam dan diletakkan sebagai utara. Dan nafsu minum dilekatkan sebagai
warnah putih dan diletakkan sebagai Timur.
Di Masyarakat Melayu
Jambi dikenal mata angina ditandai dengan pengungkapan “matahari hidup”, dan “matahari
mati’. Matahari hidup merupakan pengungkapan arah matahari terbit. Kemudian
dikenal Timur. Sedangkan Matahari mati dikenal sebagai arah matahari tenggelam.
Dikenal sebagai Barat.
Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan
ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan
toman[3].
Sedangkan Muara air sungai ke “arah
matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[4]
Dalam catatan Endjat Djaenuderadjat dkk didalam bukunya
“Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia” menyebutkan “angin mati” dan “angin hidup”. Angin hidup adalah
angin dari timur sehingga membawa pelayaran dari Indonesia ke Tiongkok, India,
Persia maupun Ottaman Turki. Sedangkan “angin
mati” adalah angin dari barat ke
arah timur. Putaran masing-masingnya dikenal 6 bulan. Membawa hasil
rempah-rempah kemudian datang membawa sutera, tekstil, mesiu, emas dan keramik[5].
Catatan lain juga menyebutkan “negeri diatas matahari” dengan merujuk
kepada negeri-negeri di Timur. Sedangkan “negeri
dibawah matahari” kemudian merujuk kepada negeri-negeri seperti Tiongkok,
India, Persia dan Ottaman Turki.
Negeri diatas matahari kemudian
dikenal sebagai arah timur. Sedangkan “negeri
dibawah matahari” sebagai arah barat.
Sedangkan punggawa
penjaga negeri juga ditandai dengan arah angin. Di Marga Batin Pengambang dikenal Rio Cekdi
Pemangku Rajo yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin
Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di
sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru.
Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau
Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang menjaga pintu
dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil[6].
Marga Maro Sebo Ulu merupakan
Debalang Raja Jambi. Sebagai Debalang Raja Jambi maka senang disebut sebagai
“Orang Raja. Yang memerintah di Dusun Kembang Seri, Dusun Sungai Rengas dan
Dusun Sungai Ruan[7].
Sebagai Debalang Raja, maka
Dubalang di Teluk Leban bertugas untuk menyambut tamu Raja. Debalang di Rengas
9 bertugas untuk penjaga kebun raja. Sedangkan Dubalang di Peninjauan sebagai
peninjau terhadap kedatangan yang datang ke Marga Maro Sebo Ulu[8].
Sebagai Dubalang Raja juga dikenal
di Marga Pemayung Ulu. Selain menjaga keselamatan Raja, maka Dubalang Raja juga
bertindak untuk “memayung Raja’. Sehingga keselamatan Raja ditentukan sebagai
“orang kepercayaan” untuk menjaga secara fisik[9].
Di Marga Pemayung Ilir dikenal
Debalang Rajo. Berkedudukan di Dusun Kuap. Selain itu juga dikenal “kermit” untuk mengabarkan kampong sebelumnya. Kermit
selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh mencalang), kermit juga “pemayung Rajo”.
Kermit bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat tugasnya maka
“Kermit” juga dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput yang tinggal.
Mengangkat yang berat[10].
Punggawa
penghubung kerajaan juga dikenal di Marga IX Koto. Didalam
pelarian dengan ditemani “orang kepercayaan” Sultan Thaha Saifuddin, Sultan
Thaha Saifuddin begitu dihormati. Setiap jalur pelarian, Sultan Thaha Saifuddin
diterima dan dikawal dengan disiapkan “julat”. Julat adalah seorang kepercayaan
dari pemimpin dusun di setiap jalur pelarian. Julat kemudian mengawal selama
perjalanan hingga ke tempat berikutnya[11],.
Didalam asal usul keturunan Kalbu
atau kerajaan Yang dua Belas Bangsa Kerajaan Tanah Pilih dikenal nama perisai
(Kerajaan atau kalbu). Dengan tugas, gelar, jabatan dan lokasinya[12].
Dikenal Tumenggung bergelar Paku
Negoro di Tujuh koto Sembilan Koto. Tugasnya Menunggu Rumah Pusaka Sunan Pulau
Johor dan pengawal Kerajaan. Kemudian Pasirah Setio Guno di Betung Bedarah
(Petajin). Tugasnya membuat dan merawat Rumah Raja. Kemudian Sunan Kembang Seri
bergelar Wira Sandika di Kademangan. Tugasnya Penjaga keamanan.
Tumenggung bergelar Puspo
Wijoyo/Pangeran Keromo Yudo di Kampung Gedang dan Tanjung Pasir. Tugasnya
Pengadaan kerbau seekor, kelapa seratus buah, beras seratus gantang serta asam
garamnya jika ada sedekahan atau penobatan Raja. Kemudian Temenggung Suto
Dilago dio Kampung Baru Tanjung Pedalaman Jebus. Tugasnya sebagai panitia penobatan
Raja dan menyediakan keperluan penobatan. Jadi sebelum Raja dinobatkan, dialah
yang dahulu Raja. Sebab dialah yang mengatur semua keperluan Raja. Maka
kemudian digelar juga Rajo. Tugas lain merawat Rumah Raja.
Di Marga Air Hitam dikenal Pasirah
Setio Guno di Lubuk Kepayang. Tugasnya mengambil kayu api an Air. Di Marga Awin
dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Raso Dano. Berpusat di Pulau Kayu
Aro. Tugasnya sebagai pengawal Raja.
Di Muara Pijoan dikenal
Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo Keti di Kuap. Tugasnya mengawal
Raja. Selain itu juga dikenal Penghulu/pemangku yang bergelar Ngebi Kerti
Diguno di Sekernan. Tugasnya merawat Raja dan membuat kayang untuk Raja. Selain
itu di Sungai Duren dikenal Penghulu/pemangku bergelar Ngebi Suka Dirajo.
Tugasnya menyediakan pengangkutan. Sedangkan di Sarang Burung dikenal
Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo pati Tambi Yudo. Tugasnya
Memelihara persenjataan.
Dan di Terusan dikenal
Pemangku/penghulu bergelar Jaga Patih Temin Yudo yang bertugas sebagai pengawal
Raja.
[3] Pertemuan
di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[4] Sungai
Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
[5]
Endjat Djaenuderadjat dkk, “Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia”, Direktorat Sejarah
dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, Hal 336
[7] Desa Kembang Seri, Batanghari,
23 Februari 2015
[8] Peninjauan bisa diartikan
sebagai “peninjau”. Dapat dimaknai sama dengan penyampai kabar kepada Raja.
[11] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016