Di kalangan masyarakat Melayu Jambi, sistem penghitungan luas, jauh, lebar, jumlah dikenal di tengah masyarakat.
Terhadap tanah yang dibuka dikenal dengna istilah “depo”. Misalnya kemampuan seseorang membuka tanah diukur menjadi Depo”. Depo berasal dari kata Depa. Didalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan “depa” yaitu sistem pengukuran sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung jari tengah tangan kiri sampai ke ujung jari tengah tangan kanan (empat hasta, enam kaki). Satu depa kemudian diukur menjadi 1,7 meter.
Proses membuka tanah hanya dibolehkan seluas 60 depo x 200 depo. Terhadap tanah yang telah dibuka maka kemudian dikenal bidang. Jadi walaupun seseorang karena kemampuan membuka tanahnya berbeda-beda namun tetap dengan istilah satu bidang. Sedangkan di Lubuk Mandarsyah biasa dikenal dengan istilah Tapak.
Atau istilah “sangaran” yaitu 10 x 10 depo. Bisa disebut dengan lembar. Lembar dihitung 50 kali 150 depa.
Begitu juga istilah tumbuk. Tumbuk berasal dari kata “tombak”. Tombak yaitu senjata berupa kayu yang diujungnya terdapat sebilah baja tajam. Sedangkan tombak digunakan untuk berburu dengan cara melempar. Dengan demikian maka tombak yaitu kemampuan orang melempar tombak. Kemampuan manusia untuk melempar tombak ditentukan sejauh 10 meter. Sehingga biasanya 1 tumbuk kemudian diukur 10 meter x 10 meter. Sedikit berbeda istilah “tombak” didalam kamus Bahasa Indonesia. Satu tombak diukur sama 12 kaki.
Istilah “tumbuk” masih dikenal di Jambi. Bahkan jual beli tanah di kota Jambi masih sering menyebutkan tanahnya dengan istilah “tumbuk” untuk menunjukkan luas tanah.
Cara penghitungan lain yaitu menggunakan istilah batu emas. Dibeberapa tempat terhadap pelanggaran terhadap hukum adat dikenal denda adat dengan istilah kambing Sekok, beras 20, batu emas. Istilah batu emas dikonvesi dengna nilai Rp. 500.000,-.
Melihat nilai konversi, maka Batu emas senilai Lima ratus ribu rupiah tidak berbeda dengan nilai emas di Bungo yang biasa dikenal dengna istilah Mayam. 1 mayam senilai 3,37 gram. Sementara di tempat lain Ada juga menyebutkan 1 suku emas senilai 6 gram. Sehingga tepat kemudian definisi mayam didalam kamus Bahasa Indonesia “satuan ukuran berat emas 1/16 bungkal.
Ukuran emas ternyata berbeda di Bangko. Didalam Perdes Desa Tanjung Benuang disebutkan denda adatnya “kambing sekok, beras 20, selemak semanis dan Emas 7 tail Sepaho” (denda adat dijatuhi dengna nilai “seekor kambing, beras 20 gantang, selemak semanis dan emas setengah 7 tahil emas). Istilah Tahil dikenal di masyarakat dengan nilai dikonversi dengan 1 gram sama dengan 0,5 tahil.
Sedangkan cukai adat (pajak hasil bumi), ada juga menyebutkan “60 kidding maka membayar cukai 60 gantang. Istilah “gantang” merupakan satuan ukuran/isi dengan nilai 3 kg. Istilah sering digunakan untuk menjumlah satuan beras. Ada yang menyebutkan satu gantang 12 canting atau 2 liter[1].
Satuan beras juga dikenal dengan canting. Kata canting menunjuk kaleng susu sapi yang kecil. Satu kilogram diukur dengan 4 canting. Ada juga menyebutkan 1 “Canting” sekitar 2 mato”[2]. Ukuran diatas Canting biasa disebut Cupak. 1 Cupak diperkirana 1 liter. Diatas Cupak biasa disebut Cubuk atau secanting lebih sedikit. Atau sekitar 5 Mato.
Selain canting, gantang juga dikenal istilah “pikul”. Satu pikul lebih kurang 100 kg. Sehingga satu ton biasa disebut 10 pikul.
Pengukuran kecil biasa disebut “Sekilan”, sejumput atau segenggam”. Sekilan biasa dihitung dari jari kelingking direntangkan dengan jari jempol. Sejumput biasa dihitung dengan mengambil sekedarnya. Sedangkan Segenggam yaitu pengambilan beras dengan menggenggam tangan.
Namun dalam penghitungan jumlah pembelian selain beras seperti cabe dikenal istilah “mato”. Satu mato ditaksir 100 gram. Sehingga satu kilogram biasa disebut “10 mato”.
Istilah penghitungan yang digunakan masih digunakan masyarakat. Sehingga cara penghitungan masih diterapkan dan masih berlaku hingga sekarang.