Dalam bukunya “De Palembangsche Marga” tahun 1927, J. W. Van Royen mengungkapkan penduduk uluan Sumatera Selatan berpusat di tiga pegunungan yaitu Danau Ranau, Dataran Tinggi Pasemah dan Daerah Rejang. Daerah ini dikenal Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Gunung Kaba.
Di Rejang Lebong, Gunung Kaba diyakini sebagai sebagai tempat bersemayam nenek Moyang yang kemudian melahirkan Suku Rejang, Suku Beliti dan Suku Saling[1].
Sedangkan Gunung Dempo kemudian melahirkan suku Gumay, Suku Besemah, Suku Kikim, Suku Semendo, Suku Enim, Suku Lematan, Suku Kisam, Suku Ogan, Suku Rebang Semendo (Lampung) dan Suku Serawai di Bengkulu Selatan.
Gunung Seminung dan Danau Ranau kemudian melahirkan Suku Komering Ulu/ilir, Suku Ranau, Suku Abung, SUku Peminggir, Suku Pubian, SUku Jelmo Doya, SUku Krui yang sebagian besar kemudian mendiami di Sungai Tulang Bawang (Lampung)
Menurut Jacobus[2] didalam bukunya “Inlandsch Gemeentewezen In Zuid-Sumatra En Javanentransmigratie, “Met he word Marga zou dus oorspronkelijk zoomen een territorial, al seen genealogische eenheid zijn aangeduid.
Dengan mengikuti alur pikiran Jacobus maka Marga kemudian didefinisikan sebagai suku atau keluarga yang semula silsilah kemudian menjadi teritori (wilayah).
Marga berasal dari kata Sansekerta. “Varga”. Suatu wilayah dan juga rumpun atau keluarga. Struktur social ini digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya. Terminologi Marga dapat disatukan dengan “datu” atau Kedatuan[3]”
Belanda kemudian melakukan penyeragaman sistem hukum adat dengan menetapkan Marga tahun 1852[4]. Termasuk kodifikasi hukum adat dengan menerapkan “Oendang-oendang Simboer Tjahaja”[5]. Oendang-oendang Simboer Tjahaja kemudian mengenal sistem pemerintahan berbentuk Marga. Dengan demikian, sistem pemerintahan berbentuk Marga sudah dikenal di Kerajaan Palembang sebelum kedatangan Belanda.
Memang terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Palembang. Tahun 1596[6] dan perang bersama Kerajaan Johor menghadapi Jambi tahun 1667.
Namun tahun 1673, justru Palembang mendukung Jambi menghadapi Kerajaan Johor.
Perselisihan tidak hanya berdasarkan historis dan prestise karena Jambi pernah menjadi Bandar (river port’s cavital) sebelum Palembang memegang peranan penting dalam percaturan politik dan ekonomi terutama menguasai sumber lada.
Kerajaan Palembang kemudian jatuh dan menjadi Residen Palembang 15 Oktober 1825[7].
Ketika penyerbuan Belanda ke istana Kerajaan Jambi dan Sultan Thaha Saifuddin kemudian menyingkir hingga Tanah Garo, maka praktis kekuasaan Jambi dimasukkan kedalam residentie Palembang.
Wilayah Palembang yang semula Sembilan afdeeling menjadi sepuluh afdeeling[8]. Namun penetapan Marga belum sempat dilakukan, selain Belanda belum effektif melakukan kekuasaannya, perlawanan dari Sultan Thaha Saifuddin membuat Belanda belum “merasa nyaman” untuk melakukan “control” di wilayah Jambi.
Bahkan Belanda masih “trauma” dengan penyerbuan rakyat Jambi di Muara Kumpeh yang menewaskan Kepala Dagang VOC, Sybrandt Swart. “Penyerbuan” ini kemudian membuat Raja Jambi, Sultan Sri Ingalago kemudin ditangkap dan dibuang ke Batavia dan ke Pulau Bangka.
Selain itu juga, Belanda “ketakutan” koresprodensi dari Sultan Thaha Saifuddin kepada Negara Turki agar Kerajaan Jambi merupakan “vassal” dari Kerajaan Turki
Snouk Hurgronje mengetahui bagaimana upaya Sultan Thaha menyurati Sultan Turki, melalui Singapore, untuk memperoleh cap yang menyatakan bahwa Jambi merupakan bahagian dari wilayah vassal state Turki, agar Belanda tidak berbuat sewenang-wenang. Sultan Thaha mempercayakan kepada salah seorang putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk membawa surat ke Turki. Akan tetapi sesampainya di Singapure, surat tersebut diserahkan kepada seorang pembesar dari keturunan Arab untuk dibawa ke Istambul Turki dengan memberi imbalan sebesar 30.000 dollar Spanyol[9].
Sehingga ketika Belanda “memobilisasi” kekuatan yang didatangkan dari Palembang dan Padang dan membuat Benteng di Muara Tembesi tahun 1901 menyebabkan Sultan Thaha Saifuddin “terdesak” hingga ke Tebo, Tanah Sepenggal dan Tanah Garo.
Sultan Thaha Saifuddin kemudian dinyatakan meninggal tahun 1904. Dan wilayah Jambi kemudian dijadikan resident Jambi tahun 1907.
Melihat rentang waktu penetapan Marga 1852 di Palembang, maka wilayah Jambi “dimasukkan” dimasukkan kedalam “afdeeling” Palembang. Namun control wilayah Belanda di Jambi praktis mulai effektif tahun 1907.
Dengan demikian, maka penetapan Marga tahun 1922. Status Marga tersebut diperkuat dengan staatsblad Nomor 464 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam tahun 1922. Maka Sejak tahun status Marga merupakan daerah otonomi tingkat rendah (inlandsche Gemeente) dan statusnya diatur didalam Inlandsche Gemeente Ordeonantie Buitengewesten atau (IGOB) dengan staatblad Nomor 490 tahun 1938[10].
Dengan demikian, maka UU Simbur Cahaya “tidak pernah” diperlakukan di wilayah residen Jambi.
Dan dalam praktek di tengah masyarakat, berbagai nilai-nilai dan pranata-pranata norma didalam UU SImbur Cahaya sama sekali tidak dikenal dan diterapkan di masyarakat.
Istilah “ringgit” dalam sanksi denda sama sekali tidak dikenal. Dalam praktek yang masih diterapkan, denda disesuaikan dengan tingkat kesalahan. Dimulai dari sanksi “ayam sekok. Beras segantang. Selemak-semanis”, “kambing sekok. Beras 10 gantang. Selemak semanis” hingga “kerbau sekok. Beras seratus gantang. Selemak semanis”.
Sedangkan sanksi adat didalam UU Simbur Cahaya mengenal pelayanan “ringgit” dan “tengang satu kambing”.
Masyarakat masih menggunakan aturan adat sebagaimana norma yang telah diperlakukan sebelum kedatangan Belanda. Aturan yang masih diterapkan hingga kini.
Tulisan ini pernah dimuat tanggal 23 Agustus 2016. Diadakan penambahan seperlunya.
[1] Sejarah Daerah Sumatera Selatan, 1991, Hal. 20
[2] Jacobus van der zwaal, Inlandsch Gemeentewezen In Zuid-Sumatra En Javanentransmigratie : academisch proefschrijt, H. Veenman, 1938, Hal. 4
[3] Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Pemerintah Daerah Tingka I Sumatera Selatan, 1993, Hal 38
[4] Militaire Memorie, 1896
[5] Walaupun Undang-undang Simbu Cahaya telah dilakukan pada Kerajaan Palembang dibawah Pangeran Ratu Sending Pura (1623-1630) dan diteruskan oleh Sultan Abdurrahman Cindai Balang (1651-1696).
[6] Sejarah Daerah Sumatera Selatan, 1991, Hal. 110.
[7] Sejarah Daerah Sumatera Selatan, 1991, Hal. 136
[8] Regeeling Almanaak, 1907 dan Profil Propinsi Jambi, 1995
[9] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, hal. 2197
[10] Stefanie Steinebach, Der Regenwald ist unser Haus - Die Orang RImba auf Sumatra zwischen Autonomie und fremdbestimnung, Universitatsverlag Gottingen, 2012, Hal. 65