08 April 2021

opini musri nauli : Kerbau

 


Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata “Kerbau” diartikan “binatang memamah biak yg bisa diternakkan rupanya seperti lembu tetapi lebih besar umumnya berbulu kelabu”. 


Ada juga istilah “dicocok hidung kerbau” yang diartikan sebagai orang Menurut saja. Tidak berdaya. 


Ditengah masyarakat Melayu Jambi, kerbau yang kemudian menjadi dialek “kerbo” menjadi salah satu perhatian. Istilah kerbau menjadi berbagai seloko. 


Seloko seperti “Padi menjadi. Rumput Hijau. Kerbo gepuk. ke aik cemetik keno naik kedarat durian runtuh.  dilaman rumah lemang tesanda. naik kerumah anak ado” atau “Padi menjadi. Rumput hijau. Aeknyo tenang. Ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur”


Belum lagi seloko didalam menentukan beratnya sanksi seperti “kerbo sekok. beras seratus gantang. Selemak semanis”. 


Seloko “kerbo sekok. beras segantang. Selemak semanis” adalah ketika Lembaga adat kemudian menetapkan sanksi adat berupa “kerbo sekok, serba seratus”. 


Kerbo adalah sanksi berupa denda adat seekor kerbau. Sedangkan “beras seratus gantang” adalah beras 100 gantang sebagai sanksi adat. 


Gantang terdiri dari 4 cupak. Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12 canting. Ganting adalah takaran beras seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal pengukuran kaleng susu sebagai takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai wadah susu kental yang sudah lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.


Sedangkan “selemak-semanis” adalah berbagai bumbu, kelapa ataupun bahan untuk memasak. Termasuk bumbu untuk membuat daging kerbau. 


Sanksi “kerbo sekok. Beras seratus. Selemak semanis” adalah sanksi yang paling berat. Biasanya diterapkan terhadap kesalahan seperti “luko dipampah. Mati dibangun”. 


Atau bisa juga diterapkan sanksi adat terhadap ”maling curi (mencuri)”, selain dijatuhi Kerbo sekok, beras 100 gantang, 100 kali kelapa”, barang dikembalikan juga gelar adatnya dicabut.


Baca : Denda Kerbau