"Terlepas
dari pro dan kontra dikalangan organisasi masyarakat sipil,
Walhi
memandang kebijakan ini penting untuk diintervensi
dengan
memperhatikan tiga urgensitas.
(Nur
Hidayati, Direktur Walhi, 2019)
Ketika
diumumkan “incumbent” Siti Nurbaya Bakar (SN) untuk menduduki jabatan sama,
terbayang “agenda” utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Perhutanan
Sosial (PS), Kebakaran dan Gambut.
Namun
tema PS yang menarik perhatian. Tema yang kemudian menjadi “slogan” dengan
mencanangkan 12,7 juta ha (RPJMN 2015-2020). Slogan ini kemudian digunakan Jokowi
hingga menjelang detik-detik kampanye terakhirnya. Jokowi.
Tema
seperti “kebakaran” dan Gambut kemudian tenggelam. Bergantian dengan issu “pasang
plang” dan gugatan yang diterima berbagai tempat. Termasuk juga surat edaran yang
bikin heboh.
Suka
atau tidak suka, tema PS adalah salah satu tema yang paling menjadi perhatian
para aktivis dan organisasi masyarakat sipil 5 tahun terakhir. Agenda yang
paling banyak “dikerumuni” dan paling banyak juga dijadikan program-program
jangka panjang.
Sebagai
“orang perencana pembangunan”, SN berhasil mendesaian “roadmap” PS. Berbagai
peraturan yang berkaitan dengan PS kemudian bermuara P.83. Sebuah terobosan dan
menjadi kodifikasi dari berbagai peraturan lainnya seperti Hutan Desa
(Permenhut No. P.89/2014), Hutan Tanaman Rakyat (Permenhut No. P.55/2011),
Hutan kemasyarakatan (Permenhut No. P.88/2014) dan Kemitraaan Kehutanan (Permenhut
No. P.39/2013).
Tema
PS mengingatkan penulis 10 tahun yang lalu. Ketika Walhi Jambi bersama-sama
dengan organisasi lingkungan Hidup di Jambi mengusung “hutan Desa”, sebagai “jawaban
taktis” menyelamatkan 49 ribu ha didataran tinggi Jambi.
Polemik
mulai bermunculan. Jaringan nasional “mencibir” keputusan Walhi Jambi. Bahkan
kalimat-kalimat “menyakitkan” masih terngiang ditelinga sampai sekarang.
Kalimat-kalimat
seperti “Ngapaian harus mendukung konsep negara”, “tanah milik rakyat. Tidak
bisa dinegosiasiakan”, “Tanah harus berdaulat”, “Walhi tidak boleh masuk
kedalam skema negara”. Bahkan kalimat seperti “Hutan Desa” akan mendukung Perubahan
iklim.
Saya
ingat persis yang mengucapkannya. Dan 5 tahun kemudian saya menjadi tertawa.
Mereka-mereka yang mengucapkannya, sekarang malah menjadi “pelaku utama” dari
konsep yang semula ditentang. Merekalah yang kemudian mendapatkan “guyuran
dollar” dari funding.
Bahkan
mereka pula yang sekarang menjadi “benteng” dari PS yang digulirkan Jokowi pada
awal pemerintahan periode pertama.
10
tahun kemudian program PS kemudian menjadi unggulan. Menjadi pembicaraan
diberbagai forum. Kembali saya tertawa. Menertawakan “kebodohan” saya.
Tidak
salah kemudian Walhi Jambi menjadi salah satu “leading” dari issu PS. Cara jenius
ini kemudian dilihat dari pernyataan Eknas Walhi "Terlepas
dari pro dan kontra dikalangan organisasi masyarakat sipil, Walhi memandang
kebijakan ini penting untuk diintervensi dengan memperhatikan tiga urgensitas.
(Nur Hidayati, Direktur Walhi, 2019)
Namun
berbeda dengan pendukung lainnya, konsep PS adalah “strategi taktis’. Bukan
satu-satunya desain untuk berpihak kepada rakyat. Tema besar “wilayah kelola
rakyat” adalah maqom yang masih dipegang teguh dalam keputusan-keputusan Walhi.
Kritik
mendasar kemudian dituliskan Walhi didalam buku “Studi Efektifvitas Implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial Selama
Periode Pemerintahan Jokowi-JK”, Walhi, 2019.
Walhi
kemudian menuliskan capaian PS dengan tegas. Pertama. Proses pengajuan PS masih
“terjebak’ dengan konsesi kehutanan. Selain proses pengajuan PS yang kemudian
ditolak justru mengakibatkan “keengganan” masyarakat mengajukan usulan PS.
Bahkan dibeberapa tempat, justru malah tidak dapat dilakukan verifikasi
terhadap usulan PS.
Kedua.
Regulasi yang masih menempatkan – meminjam istilah Walhi - “perusahaan
monokultur” sebagai “pemain utama’. Dengan menempatkan perusahaan monokultur
menyebabkan seluruh proses pengajuan PS kemudian “mentah”.
Padahal
perusahaan inilah yang menjadi penyumbang utama dari berbagai konflik disektor
kehutanan.
Dengan
mengabaikan masyarakat, maka kemudian regulasi menempatkan “ketidakadilan”
ditengah masyarakat.
Paparan
ini kemudian bisa menjelaskan mengapa capaian hanya 2,048 juta ha. Jauh dari
target 12,7 juta ha.
Namun
disisi lain, program PS adalah “stimulus” dari problema konflik disektor
Kehutanan (Walhi menggunakan istilah “target
antara (intermediate objective)”.
Terlepas
dari polemik dan perdebatan, stimulus merupakan harapan masyarakat yang masih
menggantungkan didalam dan disekitar kehutanan.
Konflik
yang berkepanjangan dan terus diwariskan turun temurun, sudah saatnya konflik
diakhiri.
Program
PS yang digaungi 5 tahun lalu dan akan dilanjutkan 5 tahun kedepan adalah
harapan. Ditengah berbagai sumbatan yang macet, peluang ini dapat digunakan sebagai
“target antara/intermediate objective”.
Sembari
“memperkuat” masyarakat agar mampu mengakses pengajuan PS, sikap kritis
terhadap implementasi PS tetap dilakukan.
Sudah
saatnya wacana polemik dikurangi. Sudah saatnya kita mengambil GPS, meteran
untuk “memperkuat” masyarakat didalam memastikan “wilayah kelola rakyat”.
Mari
kita berkejaran waktu. Agar konflik dapat dikurangi. Dan generasi kedepan dapat
memastikan hak-haknya.