Aksi massa, yang seringkali dipicu oleh kemarahan dan ketidakpuasan, dapat dianalisis menggunakan teori amok massa.
Konsep ini, yang secara etimologis berasal dari bahasa Melayu "amok", menggambarkan fenomena dimana individu atau kelompok tiba-tiba kehilangan kendali diri dan melakukan tindakan kekerasan secara acak.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, amok massa dapat dipahami sebagai ledakan kemarahan kolektif yang dipicu oleh akumulasi frustrasi dan ketidakadilan.
Aspek Teori Amok Massa
Teori amok massa tidak hanya berkaitan dengan kekerasan fisik, tetapi juga dengan kondisi psikologis dan sosial yang mendasarinya. beberapa aspek kunci yang relevan untuk menganalisis amok massa:
1. Frustrasi Kolektif. Frustrasi kolektif muncul ketika kelompok masyarakat merasa harapan dan kebutuhan mereka tidak terpenuhi.
Dalam kasus ini, frustrasi bisa dipicu oleh isu-isu seperti pajak yang mencekik, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal, serta pelayanan publik yang korup. Perasaan ketidakadilan ini menciptakan tekanan psikologis yang bisa meledak kapan saja. Frustrasi yang menumpuk ini mengubah ketidakpuasan pasif menjadi kemarahan aktif.
2. Hilangnya Kendali Diri (De-individualisasi). Dalam kerumunan massa, individu cenderung kehilangan identitas pribadinya dan melebur menjadi satu kesatuan.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai de-individualisasi, membuat seseorang merasa anonim dan tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Ketika merasa anonim, individu lebih berani melakukan tindakan yang di luar norma, seperti kekerasan dan vandalisme.
3. Pemicu (Trigger). Amok massa jarang terjadi secara spontan. Selalu ada pemicu, entah itu peristiwa tunggal atau pernyataan kontroversial yang memicu ledakan emosi.
Pemicu bertindak sebagai katalis yang mengubah akumulasi frustrasi menjadi aksi nyata. Ini bisa berupa isu keadilan yang cuma manis di bibir, di mana masyarakat merasa hukum hanya berlaku bagi sebagian orang, bukan untuk semua.
Pajak, Keadilan, dan Royalti: Pemicu Amok Massa yang Terpendam
Ketika kita menerapkan teori amok massa pada isu-isu sosial yang menjadi pemicu kemarahan rakyat, kita bisa melihat pola yang jelas.
Pajak yang Mencekik. Beban pajak yang dirasa tidak proporsional memicu frustrasi kolektif.
Masyarakat merasa uang mereka tidak digunakan untuk kepentingan publik, tetapi justru memperkaya para koruptor, yang pada akhirnya memicu pelayanan yang korup.
Keadilan yang cuma manis di bibir. Perasaan ketidakadilan adalah pemicu yang sangat kuat.
Ketika masyarakat menyaksikan para pelaku kejahatan besar, terutama korupsi, tidak mendapatkan hukuman setimpal, hal ini memicu amok emosional. Kekalahan dalam sistem hukum menciptakan rasa putus asa yang bisa meledak menjadi kekerasan.
Kesehatan dan pendidikan yang mahal. Ini adalah contoh klasik dari frustrasi kolektif.
Hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan seharusnya dapat diakses oleh semua, tetapi biaya yang melambung tinggi membuat masyarakat merasa dikorbankan demi keuntungan sekelompok kecil. Perasaan ini menciptakan kesenjangan sosial yang mendalam dan berpotensi memicu amok massa.
Royalti Musik.
Isu royalti musik mungkin terlihat kecil, tetapi ia mencerminkan ketidakadilan yang lebih besar. Seniman merasa karya mereka dieksploitasi tanpa imbalan yang layak, sementara pihak-pihak lain meraup keuntungan.
Hal ini memicu amarah dan perlawanan, yang dalam konteks amok massa, bisa menjadi pemicu bagi aksi demonstrasi dan perlawanan yang lebih besar.
Dengan demikian maka amok massa adalah respons yang kompleks terhadap ketidakadilan yang dirasakan.
Dalam kasus isu-isu seperti pajak, keadilan, kesehatan, dan pendidikan tidak hanya menjadi keluhan individu, tetapi berubah menjadi narasi kolektif yang menyatukan orang-orang yang merasa terpinggirkan.
Dengan menggunakan teori amok massa, kita dapat memahami aksi-aksi massa ini bukanlah sekadar ledakan amarah, melainkan akumulasi dari frustrasi, ketidakadilan, dan perasaan kehilangan kendali diri yang dipicu oleh kegagalan sistem.
Oleh karena itu, untuk mencegah amok massa, solusi tidak hanya harus fokus pada penanganan kekerasan, tetapi juga pada penyelesaian akar masalah: membangun sistem yang lebih adil dan transparan.