Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat dikenal sebagai lumbung kekayaan alam Indonesia. Terutama dalam sektor perkebunan dan energi.
Namun, ironisnya ketika ketiga wilayah mengalami bencana alam yang mengerikan justru berbanding terbalik dan daya responnya.
Data menunjukkan Kekayaan Sumber Daya Alam (2000–2024) yang yang dihasilkan oleh ketiga provinsi ini memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional.
Dari data-data seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Direktorat Jenderal Perkebunan) menunjukkan luas perkebunan sawit, Kementerian Pertanian (Ditjen Perkebunan), BPS, dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang menghitung Volume Produksi Tahunan Terkini (Sawit) dan Analisis dan Estimasi berdasarkan data kumulatif dari BPS (Ekspor dan PDRB), Kementerian Keuangan (Penerimaan Pajak & Bea Keluar), dan Laporan Industri untuk menghitung Estimasi Total Nilai Ekonomi (2000-2024) maka dapat dilihat didalam tabel.
Data Komoditas Utama di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat
Provinsi | Komoditas Utama | Estimasi Total Nilai Ekonomi | Luas Perkebunan Sawit | Volume/tahun
|
Aceh | Sawit, Gas Alam | Rp 130 – 150 Triliun | 231 ribu ha 470 ribu ha (2 x lipat) | Sawit: 800 - 900 ribu ton/tahun |
Sumatera Utara | Sawit, Minyak Bumi | Rp 800 – 900 Triliun | 1 juta ha - 1,3/1,4 juta ha | Sawit: 5 juta ton/tahun |
Sumatera Barat | Sawit | Rp 200 – 250 Triliun | 280 ribu ha - 446,5 ribu ha | Sawit: 1,4 – 1,5 juta ton/tahun |
Total |
130 + 800 + 200 = 1.130 (45,73% Pendapatan Negara 2024)
| |||
Dengan demikian maka data energi menunjukkan Aceh memiliki cadangan Gas Alam (estimasi Rp 7,1 T/tahun) dan Minyak Bumi (estimasi Rp 3,1 T), sementara Sumut juga memiliki kontribusi dari Minyak Bumi (estimasi Rp 1,3 T/tahun).
Sumatera Utara tampil sebagai kontributor ekonomi terbesar. Terutama dari sektor kelapa sawit dengan total nilai yang diestimasi mencapai hampir Rp 900 Triliun dalam kurun waktu 24 tahun.
Hal ini menempatkan Sumut di peringkat ketiga nasional untuk komoditas sawit. Aceh (peringkat 9) dan Sumbar (peringkat 10) juga memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan sawit Sumbar bahkan menempati peringkat kedua setelah Sumut dalam estimasi nilai komoditas tunggal per tahun Rp 9,8 T/tahun).
Apabila dikonversikan dengan APBN tahun 2024 Nilai gabungan estimasi total nilai ekonomi dari Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat (maksimum Rp 1.300 Triliun) setara dengan sekitar 45,73% dari total Realisasi Pendapatan Negara Indonesia pada tahun 2024 (Rp 2.842,5 Triliun).
Data ini jelas menunjukkan SDA terutama sawit telah menjadi motor penggerak ekonomi yang mendanai pembangunan dan kas negara selama lebih dari dua dekade.
Dibalik kemakmuran SDA, ketiga provinsi ini secara rutin didera oleh bencana alam. Kerentanan ini sering diperparah oleh praktik eksploitasi SDA seperti konversi hutan menjadi perkebunan sawit yang drastis yang mengurangi daya serap air dan meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor.
Namun ketika bencana November 2024 terjadi kemudian meninggalkan luka yang mendalam. Menurut data berbagai sumber seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Laporan update Korban Bencana Hidrometeorologi di ketiga provinsi per akhir November 2024 dan awal Desember 2025, BPBD Provinsi terkait. Data lokal dari BPBD Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat angka menunjukkan dampaknya yang luar biasa.
Data Bencana Hidrometeorologi November 2024
Provinsi | Jumlah Kabupaten/Kota | Jumlah Korban Jiwa (Meninggal Dunia & Hilang) | Jumlah Pengungsi (Estimasi) | Jumlah Rumah Rusak (Estimasi) | Bencana Utama |
Aceh | 16 | 445 Jiwa (218 Meninggal Dunia & 227 Hilang) | > 20.759 Jiwa | > 5.062 unit rumah terendam (Data akumulasi dari tahun 2024) | Banjir dan Tanah Longsor |
Sumatera Utara (Sumut) | 21 | 438 Jiwa (283 Meninggal Dunia & 155 Hilang) | > 33.231 Jiwa | Ribuan unit (Data spesifik kerusakan rumah belum final) | Banjir, Banjir Bandang, dan Tanah Longsor |
Sumatera Barat (Sumbar) | Beberapa Kabupaten (Limapuluh Kota, Pasaman, Sijunjung, Agam) | 200-an Jiwa (Data pada akhir November-Awal Desember) | Ratusan Ribu | Puluhan hingga Ratusan unit, termasuk putusnya jembatan dan jalan. | Banjir, Banjir Bandang (Galodo), dan Tanah Longsor |
Saat bencana terjadi, kerusakan infrastruktur, kerugian ekonomi, dan penderitaan sosial yang ditimbulkan sangat besar. Jutaan ton hasil bumi yang menyumbang triliunan rupiah kepada negara berasal dari lahan yang sama yang kini luluh lantak.
Kesenjangan Empati muncul ketika membandingkan kecepatan dan besarnya aliran dana yang dihasilkan dari SDA (triliunan Rupiah per tahun) dengan respons dan alokasi dana rehabilitasi serta mitigasi bencana yang diterima oleh daerah tersebut dari pemerintah pusat.
Seringkali respons dinilai lambat, minim, dan berfokus pada tanggap darurat jangka pendek, tanpa disertai komitmen jangka panjang yang setara dengan nilai kekayaan yang telah disumbangkan daerah.
Namun disisi lain, "Negara yang telah menerima hasil melimpah dari sumber daya alam ketiga provinsi justru 'kehilangan empati'.” Pernyataan ini berakar pada anggapan adanya diskrepansi (ketidaksesuaian) antara hak ekstraksi (pengambilan kekayaan) dan kewajiban restorasi/mitigasi (pengembalian dan perlindungan) oleh negara.
Negara sangat efisien dalam memanen hasil bumi dan energi, mendorong peningkatan luas lahan sawit di Aceh dan Sumbar yang berlipat ganda.
Ekspansi ini seringkali mengabaikan aspek konservasi lingkungan seperti penggundulan hutan lindung yang menjadi penyangga bencana. Peningkatan luasan perkebunan sawit di wilayah yang rawan hujan ekstrem secara langsung meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir bandang dan tanah longsor.
Ketika bencana datang kerusakan yang terjadi sebagian besar merupakan dampak dari pembangunan yang tidak berkelanjutan yang didorong oleh kepentingan ekonomi.
Namun dana untuk rehabilitasi dan mitigasi (pencegahan) bencana tidak dialokasikan secara proporsional dengan triliunan rupiah yang telah disumbangkan oleh SDA daerah tersebut. Menurut data berbagai sumber Dana Siap Pakai (DSP) BNPB yang siap digunakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk respons cepat. Untuk tahun 2024, anggaran BNPB sendiri mencapai sekitar Rp4,92 triliun. Atau hanya 0,37% (dari sumbangan ketiga Provinsi)
Itupun menempatkan Pemerintah Pusat sebagai Pemberi dana (sinterklas) yang bersifat “carity” penolong. Bahkan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) sebagai sebagai langsung menerima dampaknya kemudian tidak berkutik. Dan Pemerintahan daerah kemudian banyak yang lumpuh.
Sistem bagi hasil kekayaan SDA di Indonesia masih cenderung sentralistik. Sebagian besar keuntungan yang dihasilkan oleh Sumut, Aceh, dan Sumbar mengalir ke pusat.
Ketika bencana terjadi daerah harus bergantung kembali pada belas kasihan anggaran pusat yang seringkali dipandang sebagai bantuan. Bukan sebagai hak atas pengembalian investasi yang seharusnya digunakan untuk melindungi sumber daya dan masyarakat yang menjadi sumber kekayaan itu sendiri.
Ironi "kehilangan empati" terletak pada kenyataan negara seolah-olah hanya mengingat daerah tersebut saat panen melimpah. Namun melupakan penderitaan dan kebutuhan struktural untuk mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk melindungi sumber kekayaan negara itu sendiri.
Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat adalah bukti nyata dari dua sisi mata uang yang sama. Kekayaan alam yang melimpah dan kerentanan yang tinggi terhadap bencana. Data menunjukkan bahwa kontribusi ekonomi dari SDA mereka sangat masif. Memang sangat ironi.
Untuk mengatasi ironi ini diperlukan pergeseran paradigma.
Pemerintah Pusat harus melihat investasi di bidang mitigasi bencana dan pembangunan berkelanjutan di daerah penghasil SDA bukan sekadar sebagai bantuan kemanusiaa. Melainkan sebagai investasi strategis untuk menjaga kelangsungan sumber kekayaan negara.
Kebijakan yang lebih adil dalam bagi hasil dan pengawasan ketat terhadap praktik eksploitasi SDA yang merusak lingkungan adalah kunci untuk memastikan bahwa kekayaan alam tidak menjadi pemicu bagi penderitaan masyarakat.
Advokat. Tinggal di Jambi
