04 September 2025

Cara Membaca Protes: Ketika Negara Gagal Memahami Suara Rakyat


Akhir-akhir ini berbagai demonstrasi di Indonesia sering kali berakhir dengan kericuhan. Pemandangan ini seolah menjadi bukti negara gagal memahami esensi dari sebuah protes. 


Alih-alih mendengarkan suara yang disampaikan, protes-protes tersebut justru sering kali berakhir dengan tuduhan, tindakan represif, dan bahkan kekerasan. 


Kejengkelan yang Telah Lama Terpendam 


Kericuhan yang terjadi bukanlah fenomena instan, melainkan akumulasi dari kejengkelan rakyat yang telah lama terpendam.


Pemicunya beragam, terutama yang berkaitan dengan beban ekonomi dan kesejahteraan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realitas yang sulit bagi masyarakat. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, misalnya, masih menjadi isu besar. Pada Februari 2024, BPS mencatat jumlah pengangguran terbuka mencapai sekitar 7.200.000 orang. Angka ini menggambarkan betapa sulitnya mencari pekerjaan, sementara peluang kerja terasa semakin sempit, terutama bagi angkatan muda. 


Sikap Elit yang Jauh dari Empati 


Di tengah kesulitan ini, masyarakat berharap adanya empati dan simpati dari para petinggi negara. Namun, respons yang ditunjukkan justru sering kali sebaliknya. 


Banyak pejabat yang justru menunjukkan sikap angkuh, seolah tidak tersentuh oleh penderitaan rakyat. 


Pernyataan-pernyataan yang meremehkan, bahkan menyalahkan, menambah luka di hati masyarakat. Alih-alih menjadi pelayan publik, mereka justru terlihat sebagai penguasa yang sibuk menjaga citra dan kekuasaan. 


Sikap abai ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan atau tindakan yang justru dianggap "meneror" rakyat kecil. Contoh yang paling nyata adalah praktik "dipalak" dengan dalih royalti musik, di mana seniman atau musisi jalanan diancam atau diminta membayar sejumlah uang secara sepihak. 

Selain itu, ada juga kasus-kasus represif lain, seperti tuduhan makar atau tidak nasionalis hanya karena simbol-simbol yang dianggap "nyeleneh," seperti kasus pengibaran bendera kru One Piece, yang seakan-akan dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap negara. Cara-cara seperti ini menunjukkan adanya paranoia berlebih dari pihak berwenang, yang melihat setiap ekspresi publik sebagai potensi ancaman. 


Respons yang Salah Arah 


Dalam situasi di mana kemarahan publik sudah sangat dimengerti, respons negara seharusnya adalah mendengarkan dan mencari solusi. Namun yang terjadi justru kebalikannya. Alih-alih menjawab tuntutan publik, negara malah sibuk mempersiapkan darurat militer, mengeluarkan senjata, dan menuduh para demonstran sebagai biang kerok kerusuhan. 


Narasi ini sengaja dibangun untuk mengalihkan isu, dari yang seharusnya tentang kegagalan kebijakan menjadi tentang ancaman keamanan. 


Bahkan upaya untuk "berdialog" pun sering kali salah sasaran. Pemerintah mengundang ormas keagamaan atau organisasi lain untuk duduk bersama, seolah-olah perwakilan dari kelompok-kelompok tersebut sudah mencukupi. 


Padahal, suara publik yang sebenarnya, yang turun ke jalan, justru sama sekali diabaikan. Cara-cara seperti ini membuktikan bahwa negara tidak tertarik untuk mendengar protes, melainkan hanya ingin memastikan bahwa kekuasaan tetap aman terkendali. 


Pada akhirnya, apa yang terjadi adalah sebuah kegagalan komunikasi yang masif. Negara tidak 

lagi berusaha membaca pesan dari protes publik, tetapi justru sibuk berdandan dan menata narasi untuk mengamankan kekuasaan. Protes yang seharusnya menjadi saluran kritik konstruktif kini hanya dianggap sebagai gangguan yang harus segera ditumpas. Ini adalah tanda nyata bahwa hubungan antara negara dan rakyatnya sedang berada di titik yang sangat kritis.