18 September 2025

opini musri nauli : Negara Telik Sandi

 


Akhir-akhir ini berbagai kegiatan negara seperti pemantauan rekening pasif (rekening nganggur), tanah nganggur (tanah pasif) dan royalti benar-benar membuat resah rakyat Indonesia. Berbagai kegiatan negara dengan “memata-matai” rakyat benar-benar diluar nalar. 


Berbagai regulasi memang memberikan ruang untuk pemantauan rekening pasif.  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki kebijakan untuk menghentikan sementara transaksi pada rekening pasif (dormant). Rekening ini adalah rekening yang tidak aktif selama jangka waktu tertentu. biasanya 3-12 bulan

Tujuan utama dari pemantauan ini adalah untuk mencegah tindak kejahatan keuangan seperti pencucian uang, pendanaan terorisme atau penyalahgunaan rekening untuk judi online. Banyak kasus menunjukkan bahwa rekening pasif sering diperjualbelikan untuk tujuan ilegal.


Namun alih-alih untuk memantau rekening yang digunakan untuk kejahatan, Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Beberapa pihak, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mendukungnya sebagai langkah perlindungan bagi masyarakat. Namunada kekhawatiran dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan PBNU tentang potensi kerugian bagi nasabah yang tidak melakukan kejahatan dan perlunya sosialisasi yang lebih baik. Pemerintah mengklaim bahwa pemblokiran ini bersifat sementara dan nasabah dapat mengaktifkan kembali rekening mereka dengan prosedur yang telah ditetapkan.


Sementara itu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga bersikap serupa. Dengan alasan memiliki kebijakan untuk menertibkan tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan. Penertiban ini bertujuan untuk memastikan fungsi sosial tanah terpenuhi dan mencegah sengketa. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021.


Namun harusnya Fokus penertiban saat ini adalah pada tanah dengan status Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh badan hukum. Bukan pada tanah Hak Milik (SHM) perorangan. Tanah Hak Milik baru dapat ditertibkan jika dikuasai oleh pihak lain selama 20 tahun atau tidak memenuhi fungsi sosialnya. Pemerintah menegaskan bahwa isu pengambilan tanah kosong oleh negara setelah dua tahun tidaklah sepenuhnya benar, dan masyarakat diimbau untuk merawat tanahnya agar tidak terlantar dan berpotensi menimbulkan masalah hukum.


Tidak kalah dengan kegiatan lain, Lembaga yang “mengaku mengurus royalty” juga “berkeliling’ Ke kafe-kafe dan tempat yang memutar musik. Dengan alasan adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 mengatur tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik.


Semula Peraturan ini dibuat untuk memastikan para pencipta lagu, musisi, dan penyanyi mendapatkan apresiasi dan imbal jasa yang layak atas karya mereka. Royalti ini dipungut dari pihak yang menggunakan lagu atau musik di tempat komersial, seperti kafe, restoran, dan hotel.


Namun “kelakuannya tidak hanya itu. Bahkan suara burung, suara alam dan kemudian tetap meminta royalti kepada pemilik hotel (yang tidak ada pemutaran musik). Alasannya tentu saja “mengada-ada”. Khan didalam kamar, tamu hotel memutar musik dari YouTube. Bayangkan. 


Padahal Aturan ini bukan merupakan pajak dan tidak ada uang yang masuk ke kas negara. Pihak yang memungut dan menyalurkan royalti adalah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang beranggotakan para komunitas musisi itu sendiri. Meskipun demikian, kebijakan ini menuai beberapa kritik, terutama dari para pemilik usaha komersial yang khawatir dengan biaya tambahan. Pemerintah menekankan bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi industri kreatif dan memastikan ekosistem musik yang sehat.


Kehebohan juga terjadi di dunia Maya. Suara Publik di Dunia Maya menjadi sorotan. Dengan alasan Pemantauan ini dilakukan untuk memahami opini dan sentimen publik terhadap kebijakan dan program pemerintah. Hal ini membantu pemerintah dalam menyusun strategi komunikasi yang lebih efektif, mendeteksi potensi krisis sejak dini, dan memberikan klarifikasi cepat terhadap informasi yang salah.


Namun kejadian ini sungguh aneh. Bukan “membongkar” keterlibatan “dalang-dalang kerusuhan”, adanya tekanan untuk menyuarakan suara di publik di dunia maya Malah itu yang menjadi sasaran pemantauan. 


Berbagai kelakuan negara untuk “memantau” kegiatan rakyat membuktikan satu hal. Negara kemudian Sudah menjadi Negara Telik Sandi. Ya. Memantau (telik sandi) seluruh kegiatan rakyat. 


Istilah "Telik sandi" adalah istilah kuno dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada mata-mata atau agen rahasia, khususnya di masa kerajaan dan perjuangan kemerdekaan. 


Secara etimologi, kata ini berasal dari gabungan kata "telik" yang berarti cermat dan teliti, serta "sandi" yang berarti rahasia. Secara garis besar, telik sandi bertugas mengumpulkan informasi penting tentang musuh atau lawan, seperti kekuatan militer, strategi, dan rencana pergerakan. Informasi tersebut kemudian disampaikan kepada pemimpin atau pasukan sendiri untuk menyusun strategi yang lebih efektif.


Jadi pada hakekatnya hanya “memantau kegiatan” yang berkaitan “pergerakan” untuk menumbangkan negara. 


Di Zaman Kerajaan Telik sandi digunakan oleh para raja dan pemimpin untuk memata-matai kerajaan lain. Contohnya adalah kisah Nyi Mas Gandasari dari Kesultanan Cirebon yang menyamar sebagai penari untuk menyusup ke Kerajaan Rajagaluh dan melemahkan musuh dari dalam.


Istilah "telik sandi" kini berevolusi menjadi "intelijen" atau "intel". Fungsi ini dijalankan oleh lembaga resmi negara, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Lembaga-lembaga ini bertugas mengumpulkan informasi untuk menjaga keamanan nasional, baik dari ancaman dalam negeri maupun luar negeri.


Jadi pada hakekatnya hanya “memantau kegiatan” yang berkaitan “pergerakan” untuk menumbangkan negara. 


Bukan berkaitan dengan kegiatan sehari-hari ditengah masyarakat. 


Sikap “mental’ sekaligus “cara pandang” negara bertindak “telik sandi” masih menyisakan gaya feodal. Negara “memata-matai” kegiatan rakyat. 


Di zaman yang sudah melampau abad “gaya kerajaan”, mental sekaligus “cara pandang” justru bertentangan dengan cara-cara zaman modern. 


Lalu tinggal kita mampu menyesuaikan. Apakah masih mau menjadi “mata-mata’ kegiatan rakyat atau masib “tenggelam gaya feodal zaman kerajaan ? 


Advokat. Tinggal di Jambi