18 September 2025

opini musri nauli : Reformasi yang Dibajak: Saat Janji Tumbuh, Korupsi Berbuah

 

Kita adalah saksi sejarah. Generasi yang melihat bagaimana semangat reformasi membakar jalanan, mengikis tembok otoritarianisme, dan menjatuhkan rezim yang telah berkuasa puluhan tahun. 

Di bawah terik matahari 1998, kita berteriak menuntut keadilan, demokrasi, dan pemberantasan KKN—korupsi, kolusi, dan nepotisme. Janji itu begitu megah, begitu suci, seolah fajar baru akan terbit bagi bangsa ini.

Lebih dari dua dekade berlalu, fajar itu belum juga terbit sepenuhnya. Mungkin, fajar itu justru dibajak di tengah jalan.

Jika kita melihat data, ada yang bisa dibanggakan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia, yang sempat menyentuh angka terendah 17 pada tahun 1999, perlahan merangkak naik dan mencapai puncaknya di angka 40 pada tahun 2019. Meskipun sempat turun, IPK kembali naik menjadi 37 pada tahun 2024. 

Peningkatan ini menunjukkan adanya upaya pemberantasan korupsi yang membuahkan hasil. Setidaknya di atas kertas.

Begitu pula dengan Indeks Demokrasi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menunjukkan tren kenaikan dari 67,31 pada 2009 menjadi 80,87 pada 2023, menempatkan Indonesia pada kategori "sedang." Ini menunjukkan perbaikan dalam kebebasan sipil dan hak-hak politik.

Namun, benih itu tampaknya tumbuh di tanah yang salah. Korupsi yang dulu terpusat di elite Orde Baru, kini justru menyebar ke seluruh lapisan—dari pejabat kecil hingga lembaga-lembaga tinggi. Ia tak lagi terang-terangan, melainkan lebih licin dan canggih, menggunakan celah hukum yang justru mereka buat. Bukankah ironis, mereka yang dulu lantang menentang korupsi justru kini menjadi pelakunya?

Reformasi yang kita dambakan, yang lahir dari pengorbanan nyawa dan air mata, kini menjadi sekadar slogan. 

Demokrasi kita tak lebih dari pesta lima tahunan, di mana rakyat hanya punya hak memilih, tapi tak punya suara untuk mengontrol. Data lain menunjukkan skor Indonesia cenderung stagnan di kisaran 0.52-0.53. Hukum tak lagi menjadi pelindung, melainkan alat tawar-menawar yang bisa dibengkokkan oleh mereka yang beruang dan berkuasa. Hukum "tajam ke bawah, tumpul ke atas" melainkan realitas pahit yang pahit

Mentalitas yang Belum Berubah

Ini bukan tentang menyalahkan data atau sistem. Ini tentang menyalahkan diri kita sendiri yang membiarkan reformasi dibajak. Kita terbuai oleh ilusi perbaikan, padahal yang terjadi adalah "korupsi yang berevolusi." Kita merayakan kenaikan angka di atas kertas, sementara di lapangan, mentalitas lama—sifat ingin cepat kaya, malas berproses, dan enggan mengantre—justru semakin mengakar.

Jadi, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa lagi menunggu pemimpin atau lembaga datang menyelamatkan. Mereka yang seharusnya memegang obor reformasi, justru yang pertama kali memadamkannya.

Reformasi sejati adalah perjalanan yang tak pernah berakhir, dan ia harus dimulai dari tempat yang paling tak terduga: dari dalam diri kita sendiri. Mari kita kembali ke akar masalahnya. Bukan sekadar menuntut perubahan sistem, tapi mengubah mentalitas kita. Mendidik anak-anak kita untuk berintegritas, berani melawan ketidakadilan, dan bangga berprestasi dengan jujur.

Jangan biarkan api reformasi padam. Jangan biarkan pengorbanan para pahlawan 1998 menjadi sia-sia. Sudah saatnya kita merebut kembali reformasi yang dibajak. Bukan dengan teriakan di jalan, tapi dengan tindakan nyata di kehidupan sehari-hari.

Mari kita buktikan, bahwa reformasi sejati bukanlah slogan yang diucapkan di podium, tapi adalah jiwa yang berintegritas dan tindakan yang tak kenal kompromi. Ini adalah perang yang harus kita menangkan, demi masa depan anak-cucu kita. Apakah kita akan menjadi generasi yang membiarkan api reformasi padam, atau menjadi generasi yang menyalakannya kembali?