22 Juni 2012

opini musri nauli : Kasus Umar Patek Dalam dimensi Pasal 1 ayat (1) KUHP



Usai sudah perjalanan panjang Umar Patek yang buron selama sekitar 10 tahun. Terdakwa kasus terorisme, Umar Patek alias Hisyam bin Alizein alias Abu Syekh alias Mike (45), divonis 20 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Patek, yang kepalanya pernah dihargai 1 juta dollar AS, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar enam dakwaan berlapis yang dikenakan jaksa penuntut umum (kompas, 20 Juni 2012)


Keenam dakwaan tersebut adalah Pasal 15 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengenai pemufakatan jahat memasukkan senjata dan amunisi ke Indonesia untuk melakukan tindakan terorisme, Pasal 13 Huruf (c) Perppu Nomor 1 Tahun 2002 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, Pasal 340 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, Pasal 266 Ayat (1) dan (2) KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, dan Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP tentang Kepemilikan Bahan Peledak Tanpa Izin..


Selain Patek, Indonesia juga telah memvonis terpidana bom Bali, Ali Imron, dengan hukuman seumur hidup. Pengadilan Negeri Bali menyatakan, Imron, pembuat bom, terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dalam aksi terorisme tersebut.


Indonesia juga telah mengeksekusi tiga terpidana mati peledakan bom di Bali, yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Ali, di Lembah Nirbaya, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pada November 2008.


Satu-satunya tersangka terorisme yang belum diproses adalah Riduan Isamuddin alias Hambali. Hambali ditahan di penjara pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba, sejak tahun 2006. Pemimpin Jemaah Islamiyah itu ditangkap di Thailand pada Agustus 2003.


Persidangan Umar Patek menimbulkan persoalan dari ilmu hukum pidana.  Terbuktinya Pasal 15 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengenai pemufakatan jahat memasukkan senjata dan amunisi ke Indonesia untuk melakukan tindakan terorisme dan Pasal 13 Huruf (c) Perppu Nomor 1 Tahun 2002 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. Atau dengan kata lain, perbuatan Umar Patek telah terbukti melakukan ”tindak pidana terorisme”.


Berdasarkan kepada runut dan perjalanan dari Umar Patek, maka Umar Patek terbukti dengan sengaja dan terencana merampas nyawa orang lain melalui keterlibatannya dalam peristiwa Bom Bali I yang menewaskan 192 orang. Bom tersebut meledak di tiga lokasi, di antaranya sebelah selatan Kantor Konsulat Amerika Serikat, Denpasar; di dalam Paddy''s Pub, dan di depan Sari Club, Denpasar, pada tanggal 12 Oktober 2002. Dalam rencana peledakan itu, ia berperan sebagai peracik bom. Ia juga menyembunyikan informasi rencana pemboman itu meski awalnya ia menolak membantu rencana Amrozi dan kawan-kawannya.


Masih dalam aksi pemboman, Patek juga terlibat dalam peledakan enam gereja di Jakarta pada 24 Desember 2000. Gereja yang diledakkan adalah Gereja Katedral Jakarta, Gereja Kanisius, Gereja Oikumene, Gereja Santo Yosep, Gereja Koinonia, dan Gereja Anglikan. (kompas, 21 Mei 2012).


Penerapan UU Terorisme terhadap Umar Patek menimbulkan persoalan serius dalam penerapan hukum kepada pelaku. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibuat setelah bom bali. UU Nomor 15 tahun2003 merupakan penetapan dari Perpu Nomor 1 Tahun 2002. Sedangkan UU No. 16 Tahun 2003 merupakan penetapan dari Perpu No. 2 Tahun 2002. Kedua UU mengadopsi tuntutan publik akibat “trauma” ledakan di bom bali 1.


Bandingkan dengna peristiwa bom bali I tanggal 12 Oktober 2002 dan bom natal tanggal 24 Desember 2000 dengan tanggal 4 April 2003, tanggal pengesahan UU No. 15 tahun 2003 dan UU No. 16 Tahun 2003. Menjadi persoalan, apakah terhadap pelaku bom bali dapat diterapkan UU Terorisme (retroaktif atau biasa dikenal dengan istilah berlaku surut).


Persoalan ini memberikan porsi yang cukup serius dalam persoalan konstitusional. Dalam putusan MK No 013/PUU-I/2003, salah satu putusan MK yang menyita perhatian, karena selain pertimbangannya cukup mewarnai pemikiran hakim didalam melihat persoalan ini, dilihat berbagai sudut, dan dissenting opinion cukup memberikan pelajaran berharga, bahwa persoalan ini masih menjadi perdebatan klasik di tengah pusaran ilmu hukum.


Hakim Yang berbeda Pendapat I Dewa Gede Palguna, HAS Natabaya, Hardjono, Maruarar Siahaan memberikan pertimbangan yang menarik.


Menurut Dissenting Opinion, Penerapan secara retroaktif merupakan tuntutan keadilan karena dipandang sangat bertentangan dengan moral manusia. Apabila HAM pelaku yang dilindungi negara dengan dalil larangan  perlakuan asas retroaktif, hal tersebut justru membiarkan pelanggaran HAM yang lebih besar dan parah.


Dalam kasus bom bali, delil yang diatur pada dasarnya telah merupakan kejahatan yang dilarang dan diancam dalam UU tindak pidana sebelumnya dan dengan ancaman pidana maksimum yang sama dengan yang diatur dalam UU sebelumnya. Kesadaran hukum bahwa tindakan tersebut merupakan satu kejahatan yang telah ada. Oleh karena itu secara substantif, larangan “nulla poena, nullum delictum sine lege praevia” tidak dilanggar meski ada aspek lain dalam UU No. 15 dan UU No. 16 tahun 2002 yang dinyatakan surut.


Validitas pemberlakuan terbatas UU secara retroaktif diatas dengan mencantumkan memperhatikan jumlah korban yang sangat besar dan ditujukan pada ras atau golongan tertentu dengan jaringan yang luas dan terorganisir bahkan melalui persiapan secara transnasional dengan akibat-akibat yang luar biasa terhadap wilayah-wilayah RI, maka kepentingan umum yang perlu dilindungi sangat besar dibandingkan dengan bobot hak asasi secara individu dari pemohon


Prinsip nonretroaktif yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” sesungguhnya bukan prinsip atau asas hukum yang berdiri sendiri.


Para hakim ini menggunakan contoh Pengadilan Nuremburg untuk menunjukkan bahwa dalam batas tertentu, prinsip berlaku surut suatu ketentuan hukum dapat diterima. Pengadilan Nuremburg dibentuk berdasarkan Piagam London dan ditujukan terhadap para pelaku kejahatan selama berlangsungnya Perang Dunia II, yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.


Dalam pengadilan Nuremburg dikemukakan prinsip nonretoraktif tidak bersifat mutlak karena ada kebutuhan untuk memberlukannya. Argumen yang dikemukakan Hakim Jackon pada pengadilan Nuremburg, antara lain ; jika perbuatan itu demikian tercela sehingga keadilan membenarkan untuk menghukum perbuatan itu, prinsip umum keadilan mengesampingkian hukum nasional yang ada/berlaku;ketidaksurutan melalui reinterpretasi terhadap hukum terdahulu, dan adanya pelanggaran yang nyata terhadap hukum sebelumnya.


Pengesampingan penerapan prinsip nonretroaktif dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar dua larangan. Yaitu : larangan untuk melakukan upaya kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang bukan dianggap suatu kejahatan ketika perbuatan itu dilakukan. Kedua, merumuskan aturan hukum baru yang memuat hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang diberlakukan pada saat suatu perbuatan pidana dilakukan berdasarkan rezim hukum sebelumnya.


Peristiwa bom Bali, bukanlah kejahatan perang dan juga tidak memenuhi definisi yuridis kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi ketiadaan definisi hukum tidaklah serta merta berarti meniadakan peristiwa dan akibat hukum yang ditimbulkannya dan apabila membebaskan pelakunya. Jika itu dilakukan maka akan mencederai asas yang sangat mendasar dalam hukum pidana umum yang diakui sebagai norma dasar, yaitu “setiap kejahatan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa hukuman”.


Akibat peristiwa pengeboman ada 202 orang tewas, 188 di antaranya adalah warga negara asing, 519 orang luka atau cacat seumur hidup, termasuk kerugian materiil dan bertambahn ya penggangguran.


Terorisme selalu mengambil sasaran tempat yang ramai, tetapi paling lemah pengawasan keamanannya oleh aparat hukum. Dengan demikian terorisme adalah kejahatan dengan target korbannya masyarakat. apabila asas nonretroaktif secara mutlak tidak dapat diterapkan pada terorisme yang modusnya dapat menimbulkan teror, maka rasa keadilan akan sangat terkoyak  (Kompas, 24 Juli 2004)


Sedangkan didalam putusan MK Nomor 013/PUU-I/2003, disampaikan, Roh yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht merupakan asas yang bersifat universal adalah asas non retroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak.


Sampai saat ini belum ada definisi dan pemahaman yang universal tentang apa yang disebut terorisme tersebut. Kecendrungan yang terjadi lebih menekankan one dimensional conception on terorism dengan konstruksi gagasan bahwa terorisme secara dominan dan resmi dalam pengertian bahwa pelaku yang ditunjuk bersifat tunggal. Padahal terorisme juga dapat dilakukan oleh negara dalam bentuk berbagai kekerasan struktural


UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU tidak perlu diperlakukan surut karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut UU dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat


Pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan yang serius yang merupakan jaminan hak-hak yang tidak dapat dikurangi


Sementara itu yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat menurut Statuta Roma Tahun 1998 adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Sedangkan menurut Pasal 7 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Merujuk kepada Statuta Roma Tahun 1998 maupun UU No. 39 tahun 1999, peristiwa peledakan bom Bali belumlah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa yang dapat dikenai dengan prinsip hukum retroaktif, melainkan masih dapat dikategorikan sebagai kejahatan biasa yang sangat kejam, tetapi masih dapat ditangkal dengan ketentuan hukum pidana yang ada


Pemberlakuan UU No. 16 Tahun 2003 untuk menilai peristiwa konkret, yaitu peristiwa peledakan bom di Bali yang terjadi sebelum UU tersebut ditetapkan, bertentangan dengan prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945. Dalam hal ini pembentuk UU dapat dianggap telah melakukan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan kehakiman yang seharusnya merdeka dan terpisah dari cabang kekuasaan pemerintah negara. Pemberlakuan kaidah hukum oleh pembentuk UU terhadap sesuatu peristiwa kongkrit yang terjadi sebelumnya dapat menjadi preseden buruk yang dapat dijadikan rujukan


Permohonan pemohon harus dikabulkan karena UU No. 16 tahun 2003 bertentangan dengan ketentuan dan semangat pasal 1 ayat (3) dan pasal 28i ayat (1) UUD 1945 dan oleh karena itu Mahkamah harus menyatakan UU Nomor 16 Tahun 2003 tidak mempunyai hukum mengikat. Atau dengan kata lain, tindak pidana terorisme tidak dapat berlaku surut terhadap para pelaku bom bali.


Dengan mendasarkan kepada putusan MK Nomor 013/PUU-I/2003, maka dapat disimpulkan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak dapat diterapkan terhadap Umar Patek. Dengan demikian, maka penerapan UU terorisme terhadap Umar Patek haruslah dinyatakan dakwaan jaksa penuntut umum tidak dapat diterima (Niet ontvan kelijk verklaord)


Melihat pertimbangan MK, maka terhadap peristiwa bom bali I dan bom natal, Umar Patek dapat dikenakan dengan pasal-pasal pembunuhan sebagaimana diatur didalam KUHP.



http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/6129-kasus-umar-patek-dalam-dimensi-pasal-1-ayat-1-kuhp.html?device=xhtml