04 September 2010

opini musri nauli : HUKUM NASIONAL VS HUKUM ADAT


Beberapa waktu yang lalu, kita disuguhi berita tentang tertangkapnya seorang petinggi pejabat di Kerinci. Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kerinci, yang “ditangkap” warga saat bertamu subuh ke rumah janda beranak 2, Ratna, di RT I Lingkungan I, Sungai Penuh. Begitu juga dengan peristiwa seorang Kepala Desa Muara Ketalo, Kecamatan Tebo Ilir berinisial FH (40), dihakimi warganya sendiri, karena tertangkap sedang berbuat mesum dengan wanita berinisial An, seorang ibu rumah tangga warga setempat. 

Sedangkan Puluhan warga RT 12, Jalan Bengkinang, Kelurahan Tungkal III, Kecamatan Tungkal Ilir,Kabupaten Tanjab Barat berang, pasalnya lelaki tidak dikenal bertandang ke rumah janda hingga larut malam, hingga pukul 23.00, pria yang beralamat di Jalan Sriwijaya, Kelurahan Tungkal Empat Kota, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjab Barat itu belum juga bergegas pulang. 

Berbagai Peristiwa yang telah dipaparkan sekedar bagaimana gambaran terhadap persoalan yang serius didalam lapangna hukum pidana nasional dan hubungan dengan hukum adat. 

Dua kepentingna hukum ini menarik untuk kita diskusikan sebagai bahan refleksi terhadap berlangsungnya hukum nasional di masyarakat. 

HUKUM NASIONAL VS HUKUM ADAT 

Lantas apa yang “salah” yang dilakukan oleh seorang Laki-laki yang bertamu ke rumah seorang janda baik pada subuh atau hingga malam hari ? 

Apabila pertanyaan itu kita tujukan untuk melihat kesalahan dan pertanggungjawaban pelaku dilihat dari hukum nasional terutama KUHP, maka hampir praktis tidak ditemukan pasal-pasal yang bisa menjerat kepada para pelaku. 

Pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan “kesusilaan” ataupun dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan ‘perbuatan tidak senonoh” sama sekali tidak tepat diterapkan dalam peristiwa-peristiwa ini. 

Tidak ada laporan dari korban terhadap perbuatan pelaku atau dengan kata lain, tidak ada keberatan dari korban kepada perbuatan pelaku yang dituduh melakukan perbuatan “kesusilaan” dan perbuatan “tidak senonoh” sama sekali tidak ditemukan dalam peristiwa ini. 

Dengan demikian, terhadap perempuan yang seharusnya dikategorikan sebagai korban tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib. Apakah “bertamu” kepada seorang perempuan dapat dikwalifikasikan sebagai perbuatan pidana baik perbuatan “kesusilaan” maupun perbuatan “tidak senonoh” ? 

 Apabila pertanyaan itu terus ditujukan kepada hukum nasional, maka terhadap pelaku tidak dapat dijatuhi pidana penjara. 

Dari sudut pandang ini, maka tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan “bertamu” melakukan tindak pidana. Atau dengan kata lain, perbuatan “bertamu” dalam ranah filsafat hukum tidak dapat ditentukan dalam ranah “benar” atau “salah”. 

Lantas, mengapa terhadap laki-laki yang “bertamu” kerumah janda dinyatakan tidak “pantas” dan dapat meresahkan dan warga kemudian melakukan reaksi. 

Dalam kaitan, maka bukan apakah dilihat dari reaksi warga terhadap laki-laki yang “bertamu” subuh atau hingga malam hari. Dan bukan dilihat dari pembuktian, apakah laki-laki yang “bertamu” melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau tidak. Sama sekali tidak. 

Yang menjadi sorotan penulis, bagaimana masyarakat modern di Propinsi yang tetap mengagungkan hukum adat didalam melindungi dari perbuatan yang “tidak pantas’. 

Dalam kaitan ini, pembuktian terhadap perbuatan “tidak pantas” tidak melihat apakah perbuatan itu terbukti atau tidak (melakukan perbuatan kesusilaan atau tidak) namun melihat apakah “pantas” ke rumah seorang janda pada subuh hari atau hingga larut malam. Dalam ranah ini, maka pembuktian ini lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan formil. 

Yang perlu dibuktikan “apakah benar” bertamu pada subuh hari atau hingga larut malam. 

Pembuktian ini memang mudah karena yang menjadi ukuran bukan semata-mata “benar atau salah” tapi dilihat dari ukuran “pantas atau tidak”. 

Dengan menggunakan pendekatan “pantas atau tidak” maka akan mudah diidentifikasikan sebagai lapangan norma hukum adat. 

 Dengan demikian, maka pendekatan yang digunakan norma hukum adat yang tidak semata-mata membicarakan “benar atau salah” namun adalah “pantas atau tidak pantas. NORMA HUKUM ADAT Dalam Undang Nan Dua Puluh yang kemudian “Pucuk Undang Nan Delapan” dan “anak Nan Dua Belas”, perbuatan “bertamu” kerumah janda subuh atau hingga malam hari lebih lebih mirip dikategorikan sebagai “Tegak Mengintai Lenggang, Duduk Menanti Kelam, Tegak Berdua bergandeng dua, Salah Bujang dengan gadis kawin”. 

Walaupun semula definisi ini lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan antara “bujang dengan gadis” namun apabila melihat “sebagai janda” yang merupakan perempuan yang tidak terikat kepada perkawinan, maka perbuatan ini lebih tepat juga dikenakan. 

Perbuatan ini berbeda dengan perbuatan tuduhan “Saleh liek, salah kelek”, adanya tuduhan kepada laki-laki yang masuk ke rumah seorang perempuan yang sudah berkeluarga padahal patut diketahui suami perempuan itu tidak berada di rumah. 

 Tuduhan Tegak Mengintai Lenggang, Duduk Menanti Kelam, Tegak Berdua bergandeng dua, Salah Bujang dengan gadis kawin didalam pembuktian lebih diutamakan pembuktian formal (formale process). 

Pembuktian dilihat bukan apakah laki-laki yang “bertamu” kerumah janda melakukan perbuatan “kesusilaan” tapi dibuktikan apakah memang benar adanya laki-laki yang bertamu “subuh” atau “hingga larut malam”. 

Pembuktian formal ini lebih menitikberatkan kepada “kepantasan” daripada ditujukan kepada pembuktian “benar atau salah”. 

BERLAKUNYA HUKUM ADAT 

 Dalam pemikiran aliran positivisme yang mengagung-agungkan hukum yang berdimensi kepastian hukum (Satjipto Rahardjo menggunakan istilah “kepastian aturan”), keberadaan hukum adat sama sekali tidak menimbulkan kepastian hukum. 

Tidak adanya peraturan hukum adat yang kemudian diadopsi dalam hukum nasional, membuat “penghormatan hukum adat” oleh masyarakat bertabrakan dengan dimensi hukum nasional sebagaimana didalam rumusan aturan hukum formal. 

Dalam tarik menarik inilah, maka hukum adat dapat dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. 

Namun yang menarik dari peristiwa telah diuraikan diatas, disatu sisi, berjalannya hukum nasional yang menggunakan pendekatan kepastian hukum/positivisme, juga digunakan terhadap hukum adat didalam mengisi ruang dimana hukum nasional tidak mengaturnya (baca “bertamu kerumah janda” subuh atau hingga larut malam). 

Menggunakan hukum adat oleh masyarakat didalam melihat peristiwa diatas disatu sisi adalah sikap “defensif” masyarakat untuk melindungi “norma-norma kesusilaan” dengna menggunakan pendekatan “kepantasan” namun disisi lain juga sikap penghormatan masyarakat adat yang tetap menjaga keluhuran norma-norma kesusilaan yang dipengaruhi agama dan cara pandang yang begitu agung. 

Menjadi tugas kita semua untuk menangkap “kegelisahan” masyarakat adat untuk merumuskannya didalam peraturan yang diatur didalam hukum nasional. 

“Kegeliahan” harus cepat dirumuskan dan itu pekerjaan jangka panjang kita semua. 


Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 September 2010.