05 Agustus 2022

opini musri nauli : Angka Kemiskinan

 


Tidak dapat dipungkiri. Setiap program Pembangunan harus dirasakan langsung oleh masyarakat. Istilahnya mempunyai “impact langsung” dirasakan oleh masyarakat. 


Namun untuk mengirisnya, tentu saja tidak dapat dilepaskan cara Pandang didalam melihat Sumber data yang digunakan. 


Sebagaimana seloko “Mengaji diatas kitab.. menangis diatas bangkai.. 

Demikian Seloko yang selalu didengung-dengungkan Tetua adat untuk mengingatkan pembicaraan agar terfokus. Dan pembicaraan tidak menjadi debat kusir. 


Istilah hukum, membicarakan segala sesuatunya agar mempunyai Dasar. Mempunyai argumentasi. Agar dapat diverifikasi. Sekaligus menguji sahih didalam menilai pembicaraan. 


Menggunakan asumsi apalagi kemudian dibangun persepsi yang mengabaikan data-data resmi maka dapat dikatakan sebagai “tong kosong nyaring bunyinya”. 


Cara ini yang kemudian dikenal dan sering dipraktekkan Intelektual dalam ranah dunia akademis. 


Untuk membaca angka kemiskinan tentu saja merujuk  data resmi yang dikeluarkan oleh BPS. 


Sebagaimana diketahui, BPS adalah Lembaga Pemerintah non Kementerian yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. 


Menurut website BPS, nama BPS semula ada Biro Pusat Statistis yang dibentuk berdasarkan UU No. 6 Tahun 1960 Tentang Sensus dan UU No. 7 Tahun 1960.  Kemudian mengalami perubahan berdasarkan UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik. 


Menurut Pasal 4 UU Statistik disebutkan “Kegiatan statistik bertujuan untuk menyediakan data statistik yang lengkap, akurat, dan mutakhir dalam rangka mewujudkan Sistem Statistik Nasional yang andal, efektif dan efisien guna mendukung pembangunan nasional.


Sedangkan Pasal 15 ayat (1) UU Statistisk menyebutkan “Badan berwenang mengumumkan hasil statistik yang diselenggarakannya”. Dan Pasal 15 ayat (2) UU Statistik menegaskan “Pengumuman hasil statistik dimuat dalam Berita Resmi Statistik.


Dengan demikian maka sumber data resmi membicarakan tentang angka kemiskinan disampaikan oleh BPS. 


Lalu bagaimana BPS menyampaikan angka kemiskinan di Jambi. 


Mengutip data resmi yang dikeluarkan BPS Agustus 2022 disebutkan Persentase Penduduk Miskin September 2021 – Maret 2022 Turun 0,05 persen poin. 


Menurun dibandingkan Kondisi September 2021 yang sebesar 7,67% Menurun sebesar 0,47 persen poin dibandingkan Kondisi Maret 2021 yang sebesar 8,09%


BPS juga menyebutkan Jumlah Penduduk Miskin pada Maret 2022 sebesar 279,37 ribu orang, turun 490 orang terhadap September 2021 dan turun 14,49 ribu orang terhadap Maret 2021. 


Persentase Penduduk Miskin pada Maret sebesar 7,62 persen, turun 0,05 persen poin terhadap September 2021 dan turun 0,47 persen poin terhadap Maret 2021.


Dengan demikian sebagai data yang dikeluarkan oleh BPS harus dibaca adanya penurunan persentasi penduduk Miskin (turun 0,05%).  Dan terus berlanjut hingga 8,09%. 


Begitu juga jumlah penduduk miskin. Turun 490 orang (September 2021) dan terus turun 14.91 ribu (Maret 2021). 


Sehingga data yang dibaca bukan jumlah total dari persentase ataupun jumlah penduduk miskin. Namun tingkat penurunan dalam setiap periode angka yang dipaparkan oleh BPS. 


Bukan membaca ratusan orang jumlah penduduk miskin. 


Didalam membaca data-data yang dipaparkan, tentu saja logika yang dibangun harus melihat relevansi penurunan persentasi penduduk miskin dan jumlah penduduk miskin. 


Bukan membangun narasi yang justru menyesatkan kemudian hanya memaparkan angka total ratusan ribu orang. 


Didalam membangun logika dan pesan yang hendak disampaikan, tentu saja cacat logika (mistake) yang dibangun tidak boleh menilai  secara umum tanpa menggunakan irisan lebih detail. 


Kesesatan itu selain mengaburkan data yang dipaparkan juga menimbulkan persepsi keliru dari data yang disampaikan BPS. 


Cara paling tabu yang digunakan dalam dunia akademis. 


Atau memang cara membaca data semata-mata berkepentingan untuk mengaburkan data-data resmi. Sehingga bertujuan membangun image terhadap capaian dari program yang dijalankan. 


Dan lebih menyedihkan Malah tidak menggunakan data resmi yang dikeluarkan BPS. Dan cuma berkeinginan membangun kesesatan (mistake) yang paling ditabukan di ranah akademisi. 


Kalau itu sih tentu saja bukan cara-cara Intelektual.