02 April 2013

opini musri nauli : MEMAHAMI RASA “KETIDAKADILAN”


Perasaan bercampuk-aduk. Sedih, kesal, tidak terima diperlakukan tidak adil, terganggu ilmu hukum yang dipelajari di kampus, marah, kecewa. Rasa inilah yang penulis rasakan ketika mendampingi Anwar Sadat dan Dedek Chaniago dalam persidangan pidana di Pengadilan Negeri Palembang tanggal 1 April 2013.
Sebagai advokat yang mendampingi perkara, memang dibutuhkan “ketenangan” berfikir dan melihat persoalan ini secara obyektif. Posisi advokat yang tidak tepat menjadi pihak harus melihat persoalan ini dari sudut pandang ilmu hukum. Dengan dasar itulah, penulis harus “kadangkala” menahan rasa kecewa, marah untuk sejenak melihat persidangan ini secara utuh. Melepaskan “sejenak” rasa marah. Meninggalkan “rasa kecewa” dan tetap fokus melihat persidangan.

Namun sebagai “sesama teman ED” yang bertanggungjawab untuk menjaga kelangsungan organisasi sebesar Walhi, peran ini tidak boleh dipandang enteng. Pikiran itulah yang penulis rasakan. Bercampur aduk antara mengurusi perkara “Anwar Sadat”, posisi penting sebagai Direktur Walhi dan tentu saja sebagai sahabat yang “merasakan semangat bergelora” memperjuangkan keyakinan.

Sehingga tidak salah kemudian, didalam persidangan, alam bawah sadar “harus selalu” diteriakkan untuk melihat agar persidangan menjadi fair dan tidak memihak kepada kepada kepentingan diluar hukum. Apalagi kemudian hukum dijadikan “alat” represif “menghukum” para pengkritik yang berbeda pandangan dengan penguasa.

Catatan perjalanan proses hukum baik dimulai dari proses pemeriksaan di Kepolisian hingga dimuka persidangan, memaksa penulis harus menunjukkan bahwa proses demokrasi tengah berlangsung dan harus terus diperjuangkan. Dalam tahap pemeriksaan, entah menggunakan pemikiran yang “keliru”, pihak penyidik selalu “memaksa” Dedek Chaniago dan Anwar Sadat “menyatakan demonsrasi” memerlukan izin. Sempat sedikit emosi penulis beragumen, dasar hukum apa yang menyatakan “demonstrasi harus memerlukan izin”.

Sempat perdebatan kecil, namun dengan tegas penulis mengeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang dengan tegas menyatakan “demonstrasi tidak memerlukan izin”.

Perdebatan “dimulai” dengan pertanyaan. Apakah pernah membaca UU no. 9 tahun 1998 ?. penulis kaget ketika penyidik sama sekali tidak mengetahui UU No. 9 Tahun 1998. Dengan penasaran penulis menyatakan “untuk apa perdebatan dimulai, apabila UU mengenai demonstrasi aja tidak pernah dibaca.

Membicarakan “demonstrasi” tidak terlepas dari UU No. 9 Tahun 1998. Secara tegas limitatif, disampaikan, bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia”. Makna filosofi dari UU ini sebenarnya dengan tegas menyatakan “menyampaikan pendapat” adalah hak.

Dalam UU secara tegas sudah dinyatakan, yang dimaksudkan dengan “menyampaikan pendapat dimuka umum” adalah “unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar bebas”

Dalam konsep hukum, membicarakan “hak” dengan padanan kata “right” artinya “kebebasan yang diberikan oleh hukum”. Bandingkan dengan konsep hukum “izin” dengan padanan kata “pembolehan”, maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana “izin” adalah “pembolehan” dimana esensi sebelumnya merupakan “tidak boleh”.

Dalam praktek penegakkan hukum, kata-kata “izin” dapat kita lihat didalam UU Kehutanan. Misalnya, pada “pokoknya” orang tidak boleh “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan dan seterusnya. Maka “seseorang” dapat dijatuhi pidana apabila “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan. Namun, “seseorang” dibenarkan untuk “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan” apabila telah “ada izin”. Ini ditandai dengan kalimat “Secara tidak sah” atau kalimat “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

Dengan demikian, maka seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” secara “sah”. Atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan” apabila “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

Sehingga membicarakan hak tidak diperlukan “izin”. Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila “hak” disandingkan dengan kata-kata “izin”. Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara “izin” dan “hak” maka mempunyai konsekwensi hukum.

Izin memerlukan “persetujuan” dari pejabat yang “berwenang”, sedangkan hak tidak diperlukan “persetujuan dari manapun.

Makna ini yang diatur didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk menghapuskan pasal 510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan kepada kaum demonstran.

Dalam UU No. 9 Tahun 1998 kemudian “diatur”, “menyampaikan pendapat dimuka umum” harus dilakukan “pemberitahuan” secara tertulis. Makna kata-kata “pemberitahuan” sekedar konfirmasi adanya “menyampaikan pendapat dimuka umum”. Ini diperlukan agar pihak keamanan dapat “mengatur” rute demonstrasi yang hendak dilalui, “mengatur lalu lintas” dan sebagainya.

Dengan melihat paparan yang telah disampaikan, maka cara pandang terhadap kegiatan “menyampaikan pendapat dimuka hukum” harus berangkat dari UU No. 9 Tahun 1998. Bukan dari pandangan sempit yang berangkat dari paradigma orde baru sempit yang menganggap “demonstrasi' seperti kegiatan yang illegal dan ditakuti “mengganggu kekuasaan”. Dan barulah “penyidik” tidak ngotot lagi.

Dengnan pemikiran diatas, maka penulis “berkeyakinan” bahwa hukum dijadikan alat untuk “membungkam” sikap kritis Anwar Sadat yang berada di barisan terdepan untuk “memperjuangkan” kepentingan petani yang terpinggirkan.


Simpang siur keterangan saksi satu dengan saksi lainnya.

Pada sidang tanggal 1 April 2013, dihadirkan 3 orang saksi yaitu Kamaruddin, Abdul Gani dan Karsono.

Ketiganya serempak “menerangkan” Anwar Sadat dan Dedek Chaniago “ikut mendorong pagar” dan “ikut merobohkan pagar”. Keterangan ini tidak relevan dengan keterangan mereka sendiri.

Pada saat ketika fakta yang berkaitain apakah Anwar Sadat dan Dedek Chaniago menggunakan mikropon atau sound system (pakai mobil pick up), para saksi kesulitan menerangkannya. Selain karena “diperintahkan untuk menjawab iya” (yang ditandai dengan anggukan yang berdiri di belakang majelis namun dapat disaksikan seluruh yang hadir dipersidangan), pernyataan mereka tidak konsisten.

Apakah ketika sedang berorasi “kemudian berlari” untuk mendorong pagar ? Photo-photo yang diperlihatkan oleh saudara Jaksa penuntut umum dengan tegas menggambarkan posisi Dedek Chaniago dan Anwar Sadat yang berorasi di mobil pick up yang terletak sekitar 10 meter. Apakah begitu “terburu-burunya” Anwar Sadat dan Dedek Chaniago yang setelah orasi langsung mendorong dan menjatuhkan pagar ?

Logika aneh dan tentu saja tidak sesuai dengan fakta-fakta sebenarnya dan akal sehat yang mendengarkan persidangan. Sehingga terdengar suara “huuuu.... huuuu”, sehingga hakim harus mengetuk palu persidangan untuk menertibkan pengunjung persidangan.

Selain itu juga, para saksi kurang “pasti” menerangkan pakaian yang digunakan Dedek Chaniago.

Sekedar informasi, aksi demonstasi dilakukan selama 2 hari. Hari pertama tanggal 27 Januari 2013 dan hari kedua tanggal 28 Januari 2013. Pada hari pertama hanya menggunakan sound sistem (toa ditangan) sedangkan hari kedua menggunakan sound sistem mobil pick up. Keduanya mempunyai konsekwensi yang berbeda. Apabila pada hari pertama dengan sound sistem toa di tangan, maka mereka memang berdiri di depan pagar. Sedangkan pada hari kedua, dengan sound sistem dengan mobil pick up, yang berorasi harus diatas mobil pick up. Sehingga mengakibatkan posisi keduanya berbeda.

Keterangan lainnya kurang “diperhitungkan” adalah barang bukti yang dihadirkan di persidangan. Barang bukti seperti bendera yang menggunakan bambu ternyata tidak relevan untuk dijadikan barang bukti karena “pagar roboh” tidak menggunakan bambu. Sedangkan pagar yang “selalu disebutk-sebutkan” dalam persidangan, ternyata pada keesokkan harinya sudah dapat dipergunakan lagi. Dan hingga persidangan tidak dihadirkan di persidangan.

Melihat rangkaian fakta-fakta maka dapat disimpulkan, walaupun keterangan saksi yang diberikan oleh ketiganya, yang dengan jelas “melihat” Anwar Sadat dan Dedek Chaniago mendorong dan merobohkan pagar” tidak sesuai dengan logika. Baik karena posisi keduanya sama sekali tidak dekat dengan pagar juga begitu “buru-burunya mereka berorasi kemudian turun dari mobil pick up” kemudian merobohkan pagar.

Selain itu juga, pagar yang dirobohkan ternyata masih digunakan dan dapat dipakai lagi.

Rangkaian demi rangkaian sekali lagi membuka mata kita semua. Hukum menjadi alat penindas terhadap para pengkritik yang terus menyuarakan “ketidakadilan'.



Sejarah terus berulang. Tinggal kita melihat dan menyaksikan, apakah memberi keterangan sesuai dengan fakta-fakta persidangan atau kemudian kita menyaksikan berbagai kebohongan yang akan dirasakan akibatnya.

Tentu tanpa mengenyampingkan keterangna yang diberikan, penulis adalah sedikit orang yang meyakini. Dalam proses persidangan, campur tangan Tuhan selalu berperan. Di tangan Tuhan kita berserah.


Sumber “ Berbagai tulisan juga dihimpun dari berbagai tulisan sebelumnya.