Sebagai
advokat yang mendampingi perkara, memang dibutuhkan “ketenangan”
berfikir dan melihat persoalan ini secara obyektif. Posisi advokat
yang tidak tepat menjadi pihak harus melihat persoalan ini dari sudut
pandang ilmu hukum. Dengan dasar itulah, penulis harus “kadangkala”
menahan rasa kecewa, marah untuk sejenak melihat persidangan ini
secara utuh. Melepaskan “sejenak”
rasa marah. Meninggalkan “rasa
kecewa”
dan tetap fokus melihat persidangan.
Namun
sebagai “sesama
teman ED”
yang bertanggungjawab untuk menjaga kelangsungan organisasi sebesar
Walhi, peran ini tidak boleh dipandang enteng. Pikiran itulah yang
penulis rasakan. Bercampur aduk antara mengurusi perkara “Anwar
Sadat”,
posisi penting sebagai Direktur Walhi dan tentu saja sebagai sahabat
yang “merasakan semangat bergelora” memperjuangkan keyakinan.
Sehingga
tidak salah kemudian, didalam persidangan, alam bawah sadar “harus
selalu”
diteriakkan untuk melihat agar persidangan menjadi fair dan tidak
memihak kepada kepada kepentingan diluar hukum. Apalagi kemudian
hukum dijadikan “alat”
represif “menghukum”
para pengkritik yang berbeda pandangan dengan penguasa.
Catatan
perjalanan proses hukum baik dimulai dari proses pemeriksaan di
Kepolisian hingga dimuka persidangan, memaksa penulis harus
menunjukkan bahwa proses demokrasi tengah berlangsung dan harus terus
diperjuangkan. Dalam tahap pemeriksaan, entah menggunakan pemikiran
yang “keliru”,
pihak penyidik selalu “memaksa”
Dedek Chaniago dan Anwar Sadat “menyatakan demonsrasi” memerlukan
izin. Sempat sedikit emosi penulis beragumen, dasar hukum apa yang
menyatakan “demonstrasi
harus memerlukan izin”.
Sempat
perdebatan kecil, namun dengan tegas penulis mengeluarkan
peraturan-peraturan perundang-undangan yang dengan tegas menyatakan
“demonstrasi
tidak memerlukan izin”.
Perdebatan
“dimulai”
dengan pertanyaan. Apakah pernah membaca UU no. 9 tahun 1998 ?.
penulis kaget ketika penyidik sama sekali tidak mengetahui UU No. 9
Tahun 1998. Dengan penasaran penulis menyatakan “untuk
apa perdebatan dimulai, apabila UU mengenai demonstrasi aja tidak
pernah dibaca.
Membicarakan
“demonstrasi”
tidak terlepas dari UU No. 9 Tahun 1998. Secara tegas limitatif,
disampaikan, “bahwa
kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi
manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Deklarasi
Universal Hak-hak Asasi Manusia”.
Makna filosofi dari UU ini sebenarnya dengan tegas menyatakan
“menyampaikan
pendapat”
adalah hak.
Dalam
UU secara tegas sudah dinyatakan, yang dimaksudkan dengan
“menyampaikan
pendapat dimuka umum”
adalah “unjuk
rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum dan atau mimbar
bebas”
Dalam
konsep hukum, membicarakan “hak”
dengan padanan kata “right”
artinya “kebebasan
yang diberikan oleh hukum”.
Bandingkan dengan konsep hukum “izin”
dengan padanan kata “pembolehan”,
maka apabila menggunakan literatur yang ada, dimana “izin”
adalah “pembolehan”
dimana
esensi sebelumnya merupakan “tidak
boleh”.
Dalam
praktek penegakkan hukum, kata-kata “izin”
dapat kita lihat didalam UU Kehutanan. Misalnya, pada “pokoknya”
orang
tidak boleh
“mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan”, atau
“menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan dan seterusnya.
Maka “seseorang”
dapat dijatuhi pidana apabila “mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”
atau “menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan.
Namun, “seseorang”
dibenarkan untuk “mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan,
atau “menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan”
apabila telah “ada
izin”.
Ini ditandai dengan kalimat “Secara
tidak sah”
atau kalimat “memiliki
hak atau izin dari pejabat yang berwenang”
Dengan
demikian, maka seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila
“mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” secara
“sah”.
Atau “menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan”
apabila “memiliki
hak atau izin dari pejabat yang berwenang”
Sehingga
membicarakan hak tidak diperlukan “izin”.
Sebuah konsep hukum yang tidak tepat apabila “hak”
disandingkan dengan kata-kata “izin”.
Dengan merujuk kepada prinsip yang berbeda antara “izin”
dan “hak”
maka mempunyai konsekwensi hukum.
Izin
memerlukan “persetujuan”
dari pejabat yang “berwenang”,
sedangkan hak tidak diperlukan “persetujuan
dari manapun.
Makna
ini yang diatur didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk
menghapuskan pasal 510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan
kepada kaum demonstran.
Dalam
UU No. 9 Tahun 1998 kemudian “diatur”,
“menyampaikan pendapat dimuka umum” harus dilakukan
“pemberitahuan”
secara tertulis. Makna kata-kata “pemberitahuan”
sekedar konfirmasi adanya “menyampaikan
pendapat dimuka umum”.
Ini diperlukan agar pihak keamanan dapat “mengatur”
rute demonstrasi yang hendak dilalui, “mengatur
lalu lintas”
dan sebagainya.
Dengan
melihat paparan yang telah disampaikan, maka cara pandang terhadap
kegiatan “menyampaikan
pendapat dimuka hukum”
harus berangkat dari UU No. 9 Tahun 1998. Bukan dari pandangan sempit
yang berangkat dari paradigma orde baru sempit yang menganggap
“demonstrasi'
seperti kegiatan yang illegal dan ditakuti “mengganggu
kekuasaan”.
Dan barulah
“penyidik”
tidak ngotot lagi.
Dengnan
pemikiran diatas, maka penulis “berkeyakinan”
bahwa hukum dijadikan alat untuk “membungkam”
sikap kritis Anwar Sadat yang berada di barisan terdepan untuk
“memperjuangkan”
kepentingan petani yang terpinggirkan.
Simpang
siur keterangan saksi satu dengan saksi lainnya.
Pada
sidang tanggal 1 April 2013, dihadirkan 3 orang saksi yaitu
Kamaruddin, Abdul Gani dan Karsono.
Ketiganya
serempak “menerangkan”
Anwar Sadat dan Dedek Chaniago “ikut
mendorong pagar” dan
“ikut
merobohkan pagar”.
Keterangan ini tidak relevan dengan keterangan mereka sendiri.
Pada
saat ketika fakta yang berkaitain apakah Anwar Sadat dan Dedek
Chaniago menggunakan mikropon atau sound system (pakai
mobil pick up),
para saksi kesulitan menerangkannya. Selain karena “diperintahkan
untuk menjawab iya” (yang
ditandai dengan anggukan yang berdiri di belakang majelis namun dapat
disaksikan seluruh yang hadir dipersidangan),
pernyataan mereka tidak konsisten.
Apakah
ketika sedang berorasi “kemudian
berlari”
untuk mendorong pagar ? Photo-photo yang diperlihatkan oleh saudara
Jaksa penuntut umum dengan tegas menggambarkan posisi Dedek Chaniago
dan Anwar Sadat yang berorasi di mobil pick up yang terletak sekitar
10 meter. Apakah begitu “terburu-burunya”
Anwar Sadat dan Dedek Chaniago yang setelah orasi langsung mendorong
dan menjatuhkan pagar ?
Logika
aneh dan tentu saja tidak sesuai dengan fakta-fakta sebenarnya dan
akal sehat yang mendengarkan persidangan. Sehingga terdengar suara
“huuuu....
huuuu”, sehingga
hakim harus mengetuk palu persidangan untuk menertibkan pengunjung
persidangan.
Selain
itu juga, para saksi kurang “pasti”
menerangkan pakaian yang digunakan Dedek Chaniago.
Sekedar
informasi, aksi demonstasi dilakukan selama 2 hari. Hari pertama
tanggal 27 Januari 2013 dan hari kedua tanggal 28 Januari 2013. Pada
hari pertama hanya menggunakan sound sistem (toa
ditangan)
sedangkan hari kedua menggunakan sound sistem mobil pick up. Keduanya
mempunyai konsekwensi yang berbeda. Apabila pada hari pertama dengan
sound sistem toa di tangan, maka mereka memang berdiri di depan
pagar. Sedangkan pada hari kedua, dengan sound sistem dengan mobil
pick up, yang berorasi harus diatas mobil pick up. Sehingga
mengakibatkan posisi keduanya berbeda.
Keterangan
lainnya kurang “diperhitungkan”
adalah barang bukti yang dihadirkan di persidangan. Barang bukti
seperti bendera yang menggunakan bambu ternyata tidak relevan untuk
dijadikan barang bukti karena “pagar
roboh”
tidak menggunakan bambu. Sedangkan pagar yang “selalu
disebutk-sebutkan” dalam persidangan, ternyata pada keesokkan
harinya sudah dapat dipergunakan lagi. Dan hingga persidangan tidak
dihadirkan di persidangan.
Melihat
rangkaian fakta-fakta maka dapat disimpulkan, walaupun keterangan
saksi yang diberikan oleh ketiganya, yang dengan jelas “melihat”
Anwar Sadat dan Dedek Chaniago mendorong dan merobohkan pagar”
tidak sesuai dengan logika. Baik karena posisi keduanya sama sekali
tidak dekat dengan pagar juga begitu “buru-burunya
mereka berorasi kemudian turun dari mobil pick up”
kemudian merobohkan pagar.
Selain
itu juga, pagar yang dirobohkan ternyata masih digunakan dan dapat
dipakai lagi.
Rangkaian
demi rangkaian sekali lagi membuka mata kita semua. Hukum menjadi
alat penindas terhadap para pengkritik yang terus menyuarakan
“ketidakadilan'.
Sejarah
terus berulang. Tinggal kita melihat dan menyaksikan, apakah memberi
keterangan sesuai dengan fakta-fakta persidangan atau kemudian kita
menyaksikan berbagai kebohongan yang akan dirasakan akibatnya.
Tentu
tanpa mengenyampingkan keterangna yang diberikan, penulis adalah
sedikit orang yang meyakini. Dalam proses persidangan, campur tangan
Tuhan selalu berperan. Di tangan Tuhan kita berserah.
Sumber
“ Berbagai
tulisan juga dihimpun dari berbagai tulisan sebelumnya.