03 Mei 2019

opini musri nauli : IBUKOTA NEGARA


Ditengah kesibukan suara dengung politik, entah siapa yang mengklaim kemenangan, anggota KPPS yang terus bertambah (angka terakhir sudah mencapai hampir 400-an), issu “people power”, pertemuan yang mendesak untuk membatalkan Pemilu 2019, tiba-tiba Jokowi melemparkan wacana tentang ibukota negara. Issu yang sempat panas ketika awal pemerintahannya tahun 2014.
Mari kita lupakan pertanyaan “pelawak” yang konon sudah menjadi pesohor negeri “darimana uangnya” ?. Mari kita lupakan usulan proposal dari Gubernur Jakarta yang menyebutkan angka 500 trilyun untuk membangun Jakarta. Sekarang mari kita fokuskan untuk melihat Ibukota negara.

Wacana Ibukota negara Indonesia sudah lama disampaikan oleh Soekarno. Sang Proklamator. Tahun 1957.

Dalam sebuah film documenter, digambarkan Palangkaraya kemudian disiapkan untuk menyambutnya.

Dari segi keamanan, posisi Palangkaraya (Kalteng) adalah ditengah-tengah Indonesia. Hanya membutuhkan waktu yang tidka terlalu lama antara Palangkara – Aceh atau Palangkaraya – Papua. Sebuah konsep mantra pertahanan udara yang efektif.

Palangkaraya adalah tempat yang memang disiapkan menjadi Ibukota negara. Sebagai ahli teknik, Soekarno paham garis lintang bumi.

Palangkaraya tidak akan mengalami “sesar” gempa. Baik yang menjalar dari Aceh melalui jalur sesar gempa melewati pantai barat sumatera menyusuri pantai Selatan Jawa hingga ke Papua.

Tidak terdapat gunung berapi sehingga tidak mengalami gempa vulkanik seperti di Sumatera dan Jawa.

Selain itu, Palangkaraya tidak pernah mengalami “jalur tsunami”. Sebuah bencana yang mengintai setiap saat setelah gempa. Jalur yang rutin menimpa sebagian besar wilayah Indonesia.

Sebagai daerah baru yang sama sekali memang dipersiapkan untuk menyambut Ibukota negara, maka sama sekali tidak dibebani apapun dari pembangunan disekitarnya. 4 jam dari Banjarmasin, sebuah kota klasik yang terkenal didalam perdagangan di Kalimantan, Palangkaraya memang daerah baru yang dibuka untuk Ibukota negara. Sehingga tidak salah kemudian ide Soekarno memang jitu. Ide yang melampau zaman.

Kalau ditarik garis lurus, maka hubungan langsung ke Jakarta dan Bogor, ketua”, Kata Ario Rompas, Direktur Walhi Kalteng ketika menunjukkan rekaman documenter pembukaan wilayah. Wilayah yang kemudian dikenal sebagai Palangkaraya tahun 2012. Saat saya pertama kali ke Palangkaraya.

Akupun diam. Sepertinya dia menyakinkan saya dari pendekatan cosmopolitan. Sebuah konsepsi yang menarik perhatian saya didalam melihat cara pandang masyarakat melihat alam. Sebuah strategi unik untuk memudahkan logika Soekarno untuk melihat Palangkaraya.

Namun yang menarik perhatian saya adalah “strategi diplomasi” Jokowi didalam menghindarkan issu Jakarta.

Jakarta yang mengusulkan anggaran 500 trilyun kemudian dijawab oleh Jokowi. Jokowi justru hendak memindahkan problema Ibukota negara dengan memindahkan keluar Jakarta. Biaya cuma 350 – 450 Trilyun. Sebuah angka jitu.

“Ngapaian membangun kota yang mulai sumpek. Problema yang tidak bisa menyelesaikan banjir, macet ataupun masalah ibukota lainnya. Sementara membangun dari konsep yang baru cuma menghabiskan 350 – 450 trilyun”.

Sembari itu, Jokowi kemudian melemparkan ke public wacana tempat ibukota negara. Dengan melempar ke public, Jokowi hendak “mengaduk-aduk” emosi dari public terhadap kegeraman melihat Jakarta sekarang. Jokowi hendak “memamerkan’ dukungan public untuk memindahkan ibukota negara keluar dari Jakarta.

Strategi ini biasa dimainkan “para adipati luhung’. Sembari mengajarkan bagaimana teknik politik tingkat tinggi.

Kembali ke Ibukota negara. Tanpa harus menunggu persetujuan Jokowi, sudah saatnya ide Soekarno diwujudkan. Sehingga tidak salah kemudian, Jokowi adalah Soekarno kecil (The Little Soekarno).

Waktu 5 tahun Pemerintahan Jokowi kedepan lebih efektif membangun landasan yang baik disana.

Mari kita sambut dengan hati riang gembira.