Ditengah
kesibukan suara dengung politik, entah siapa yang mengklaim kemenangan, anggota
KPPS yang terus bertambah (angka terakhir sudah mencapai hampir 400-an), issu “people
power”, pertemuan yang mendesak untuk membatalkan Pemilu 2019, tiba-tiba Jokowi
melemparkan wacana tentang ibukota negara. Issu yang sempat panas ketika awal
pemerintahannya tahun 2014.
Mari
kita lupakan pertanyaan “pelawak” yang konon sudah menjadi pesohor negeri “darimana
uangnya” ?. Mari kita lupakan usulan proposal dari Gubernur Jakarta yang
menyebutkan angka 500 trilyun untuk membangun Jakarta. Sekarang mari kita
fokuskan untuk melihat Ibukota negara.
Wacana
Ibukota negara Indonesia sudah lama disampaikan oleh Soekarno. Sang
Proklamator. Tahun 1957.
Dalam
sebuah film documenter, digambarkan Palangkaraya kemudian disiapkan untuk
menyambutnya.
Dari
segi keamanan, posisi Palangkaraya (Kalteng) adalah ditengah-tengah Indonesia.
Hanya membutuhkan waktu yang tidka terlalu lama antara Palangkara – Aceh atau
Palangkaraya – Papua. Sebuah konsep mantra pertahanan udara yang efektif.
Palangkaraya
adalah tempat yang memang disiapkan menjadi Ibukota negara. Sebagai ahli
teknik, Soekarno paham garis lintang bumi.
Palangkaraya
tidak akan mengalami “sesar” gempa. Baik yang menjalar dari Aceh melalui jalur
sesar gempa melewati pantai barat sumatera menyusuri pantai Selatan Jawa hingga
ke Papua.
Tidak
terdapat gunung berapi sehingga tidak mengalami gempa vulkanik seperti di
Sumatera dan Jawa.
Selain
itu, Palangkaraya tidak pernah mengalami “jalur tsunami”. Sebuah bencana yang
mengintai setiap saat setelah gempa. Jalur yang rutin menimpa sebagian besar
wilayah Indonesia.
Sebagai
daerah baru yang sama sekali memang dipersiapkan untuk menyambut Ibukota
negara, maka sama sekali tidak dibebani apapun dari pembangunan disekitarnya. 4
jam dari Banjarmasin, sebuah kota klasik yang terkenal didalam perdagangan di
Kalimantan, Palangkaraya memang daerah baru yang dibuka untuk Ibukota negara. Sehingga
tidak salah kemudian ide Soekarno memang jitu. Ide yang melampau zaman.
“Kalau ditarik garis lurus, maka hubungan
langsung ke Jakarta dan Bogor, ketua”, Kata Ario Rompas, Direktur Walhi
Kalteng ketika menunjukkan rekaman documenter pembukaan wilayah. Wilayah yang
kemudian dikenal sebagai Palangkaraya tahun 2012. Saat saya pertama kali ke
Palangkaraya.
Akupun
diam. Sepertinya dia menyakinkan saya dari pendekatan cosmopolitan. Sebuah
konsepsi yang menarik perhatian saya didalam melihat cara pandang masyarakat
melihat alam. Sebuah strategi unik untuk memudahkan logika Soekarno untuk
melihat Palangkaraya.
Namun
yang menarik perhatian saya adalah “strategi diplomasi” Jokowi didalam
menghindarkan issu Jakarta.
Jakarta
yang mengusulkan anggaran 500 trilyun kemudian dijawab oleh Jokowi. Jokowi
justru hendak memindahkan problema Ibukota negara dengan memindahkan keluar
Jakarta. Biaya cuma 350 – 450 Trilyun. Sebuah angka jitu.
“Ngapaian
membangun kota yang mulai sumpek. Problema yang tidak bisa menyelesaikan
banjir, macet ataupun masalah ibukota lainnya. Sementara membangun dari konsep
yang baru cuma menghabiskan 350 – 450 trilyun”.
Sembari
itu, Jokowi kemudian melemparkan ke public wacana tempat ibukota negara. Dengan
melempar ke public, Jokowi hendak “mengaduk-aduk” emosi dari public terhadap
kegeraman melihat Jakarta sekarang. Jokowi hendak “memamerkan’ dukungan public untuk
memindahkan ibukota negara keluar dari Jakarta.
Strategi
ini biasa dimainkan “para adipati luhung’. Sembari mengajarkan bagaimana teknik
politik tingkat tinggi.
Kembali
ke Ibukota negara. Tanpa harus menunggu persetujuan Jokowi, sudah saatnya ide
Soekarno diwujudkan. Sehingga tidak salah kemudian, Jokowi adalah Soekarno
kecil (The Little Soekarno).
Waktu
5 tahun Pemerintahan Jokowi kedepan lebih efektif membangun landasan yang baik
disana.
Mari
kita sambut dengan hati riang gembira.