Akhir-akhir ini keresahan saya menjadi-jadi. Bagaimana tidak resah ?
Horor komunisme terus digaungkan sekelompok orang. Mereka mengibarkan bendera PKI (organisasi yang dilarang di Indonesia), kemudian menakut-nakuti public dengan hantu komunisme. Terus dilakukan berulang-ulang. Persis lagu lama yang didaur ulang (walaupun dengan kemasan cover).
Sementara ketakutan dengan anarko malah membikin saya semakin resah. Menyamakan anarko dengan anarkis adalah kesesatan yang paling memalukan. Belum lagi buku Tan Malaka kemudian dijadikan barang bukti. Dijejerkan dan dihadapan konferensi pers
Belum lagi klaim aliran agama yang paling mumpuni. Mengaji kitab satu sebagai rujukan paling sahih. Namun alergi membuka kitab yang lain.
Padahal PKI sudah dilarang berdasarkan TAP MPR No XXV/MPRS/1966. Sehingga secara hukum, PKI sebagai partai terlarang. Begitu juga dengan Partai Sosialis Indonesia dan Partai Masyumi berdasarkan Keppres. Keppres No 200/1960 untuk Partai Masyumi dan Keppres No. 210/1960 untuk PSI.
Belum lagi UU No. 27/1996 yang mengatur tentang perubahan pasal 107 KUHP. Dimana “penyebaran terhadap paham komunis kemudian dikategorikan sebagai makar (Pasal 107 KUHP).
Namun sebagai ilmu pengetahuan, sosialisme tidak boleh diabaikan. Berbagai literatur memberikan sebagai panduan untuk menggali lebih jauh. Bacaan tentang sosialisme termasuk akar-akarnya seperti Komunisme, Marxisme dan Leninisme”. Sehingga pengajaran yang tidak bermotif penyebaran haruslah terus disampaikan. Kesemuanya dalam kaitan sebagai pengajaran. Bukan membangun organisasi politik yang dilarang di Indonesia.
Meminjam Ahmad Syafii Maarif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah), bagaimana kita bisa menjadi pintar dan akan mengetahui kejahatan PKI apabila kita tidak mengetahui ideologi Komunisme, Marxisme dan Leninisme.
Sementara itu, lagi-lagi kita dipertontonkan keanehan. Buku Tan Malaka kemudian dijadikan barang bukti. Apakah keliru menempatkan buku Tan Malaka sebagai barang bukti.
Apakah ajaran Tan Malaka yang merupakan master piece tentang Indonesia kemudian dikategorikan sebagai “perbuatan pidana ? Sehingga ajaran dan pemikiran Tan Malaka kemudian dikategorikan sebagai “ajakan makar “ ?
Padahal Tan Malaka telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No. 53/1963. Sehingga berbagai pemikirannya yang kemudian dijadikan buku tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Titik pangkal kesemrawutan bermula dari keengganan membaca. Sebuah “awal” dari proses kehancuran sebuah peradaban.
Padahal dengan membaca, berbagai kecaman, hujatan, sindiran, bahkan berbagai pemikiran dapat ditelaah lebih jauh. Sehingga akal menjadi terasah. Dan dapat menentukan “arah” pemikiran dari berbagai sudut.
Lalu ketika membaca Tan Malaka ataupun “Das Kapital”, lalu kemudian mendukung ajaran komunis ? Atau bagian dari penyebaran komunisme ?
Halo. Ini zaman sudah modern. Berbagai literasi apapun dapat dijumpai mudah didunia maya. Dapat diakses dengan mudah. Semudah klik jempol kanan untuk mengaksesnya.
Lalu ketika saya ngomong Didi Kempot kemudian saya penggemar Lagu Jawa ?. Atau bicara Via Vallen kemudian saya penggemar dangdut ? Lalu ketika saya menghujat kelompok yang menghina Via Vallen kemudian dituduh tidak menghargai karya-karyanya ?
Apakah salah kemudian saya senang dengan Bondan Prakoso yang jemarinya lentik memainkan “Kroncong Protokol” kemudian penggemar keroncong ? Padahal lagu ini tidak dapat dilepaskan Fade2black dengan nuansa hip hop.
Atau saya menyukai musik “Fatwa Pujangga” atau “Seroja” kemudian dikategorikan sebagai “musik Melayu “ ?
Tidak. Sampai sekarang saya masih penggemar musik Rock. Mettalica, Guns & Roses, God Bless, Slank adalah music pilihan. Nuansa raungan suara gitar, hentakan drum dan basis yang menggetarkan jiwa Cuma pilihan. Serasa “energi” bangkit dan cerah menatap hari. Apalagi sembari menemani perjalanan jauh.
Hampir disetiap tempat, berbagai sarana tidak dapat dilepaskan dari music. Entah music dirumah, HP, laptop, speaker aktif. Kesemuanya selalu tersedia dan terdengar music.
Namun apapun jenis music, genre, ataupun alirannya, saya adalah suka. Entah dangdut, Keroncong, Jazz, rock, blues, reggae. Pokoknya selama ‘asyik” music dan syairnya, apapun enak didengar (easy listening).
Begitu juga bacaan. Apapun yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan mesti dilahap. Persis makanan. Tidak alergi dengan “lalap pucuk ubi”, “rendang”, “sayur asem”, “pindang patin”, “tempoyak”, “coto makassar’, “papeda’. Semuanya adalah makanan khas yang kaya akan rempah-rempah. Bahan ramuan yang membuat “ngiler’ bangsa Eropa. Yang rela jauh-jauh membelah bumi hanya untuk mendapatkannya.
Sehingga tidak salah kemudian saya membaca Al Gazali, Syeh Siti Jenar, Ali Syariati, Tan Malaka, Hatta, Mao, Gandhi, Plato, Aquinas, Kant, Marx, Gramsci, Multatuli, Nietzshe. Padahal dari berbagai pemikiran, mereka justru berbeda pandangan.
Belum lagi berbagai novel wajib. Seperti “Tenggelamnya Kapal Van der wijk (Hamka), Tetralogi Pram, Novel Hukum (John Grisham).
Kekayaan membaca adalah kekayaan Nurani. Yang tidak bisa dinilai dengan sebuah ban mobil. Ataupun sebidang tanah.
Dengan membaca, keluasan berfikir dan mengambil keputusan akan mudah dilakukan. Kekayaan membaca adalah diibaratkan Mutiara. Yang indah apabila dinikmati dengan hati.
Dengan momentum corona, sudah saatnya mengisi waktu kembali dengan membaca. Berbagai bacaan wajib harus dituntaskan. Selain memenuhi dahaga ilmu pengetahuan juga sebagai membaca pemikiran tokoh-tokoh dunia, sejarah peradaban bangsa.
Momentum saat ini harus digunakan oleh Lembaga-lembaga pemerintah untuk melakukan digitasi bacaan wajib, memuatnya didalam situs-situs resmi. Sehingga memudahkan pembaca untuk mengetahui perkembangan peradaban.
Sehingga hal memalukan seperti menyita buku Tan Malaka atau menyebar hantu komunisme dan menghujat pemikiran masih terjadi.
Sejarah bangsa akan dilihat generasi bangsa.
Alangkah memalukan melihat kelakuan orang tuanya ataupun leluhurnya melakukan perbuatan memalukan. Semua didasarkan semata-mata karena hal sepele.
Kurang membaca.
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com