Oleh: Musri Nauli
Menyimak acara debat kandidat Gubernur Jambi 2020, gegap gempita terasa para pendukungnya. Bersama-sama dengan tim sukses para pendukungnya berusaha meyakinkan pemilih dari berbagai quote yang disampaikan para kandidat.
Namun konsentrasi penulis bukan terhadap tema-tema debat, penyampaian visi-misi kandidat, Teknik berdebat, cara menyampaikan gagasan, strategi menyerang dan bertahan terhadap tema lain. Sama sekali tidak.
Tapi peristiwa yang mungkin luput dari pengamatan publik.
Terlepas apakah acara debat yang memaparkan berbagai program unggulan dan meyakinkan pemilih, perhatian penulis justru peristiwa kecil yang membuka mata penulis.
Dimulai dari cara Al Haris yang sama sekali tidak “menyerang” pihak lawan berdebat ketika pertanyaan sama sekali tidak dijawab.
Atau beberapa kali Al Haris meluruskan pernyataan dari pihak lawan.
Peristiwa itu semakin mengerucut ketika Al Haris tetap menempatkan diri sebagai “orang muda” ataupun “pernah menjadi “anak buah” dari pihak lawan.
Entah ketika bekerja di Pemerintah Kabupaten ataupun terakhir bekerja di Pemerintah Provinsi.
Dengan tetap merendahkan diri sebagai “orang muda” dan “anak buah”, respek Al Haris tetap dengan cara menyampaikan dengan tutur rendah hati. Sama sekali tidak menyerang.
Sikap maupun perilaku yang dilakukan oleh Al Haris tentu saja menimbulkan kekecewaan bagi sebagian masyarakat. Masyarakat berkeinginan menyimak perdebatan ataupun debat public seperti Pilpres di Amerika. Ataupun pemilihan ketua organisasi.
Sama sekali tidak ditemukan.
Sebagai “orang timur”, anak Melayu Jambi yang dibesarkan dalam tradisi Melayu Jambi, menempatkan diri sebagai “orang muda” diletakkan dalam makna “adab”.
Mungkin banyak yang tidak terima alasan yang penulis kemukakan.
Namun ketika “bertemu” Al Haris, penulis merasakan suasana demikian. Tidak ada perubahan sama sekali.
Bahkan dengan “atribut” Bupati, dia tetap membungkukkan badan sembari mengulurkan tangan. Sebagai tanda atau respek seorang adik.
Jadi. Bayangkan. Cuma ketemu dengan penulis yang tidak mempunyai atribut, dia tetap menempatkan diri sebagai adik.
Apalagi dengan kandidat yang pernah menjadi atasan langsungnya. Sehingga respek tetap terjaga.
Cara pandang tentu saja bisa menimbulkan polemik. Sebagian bisa saja menuduh sebagai “sikap ewuh pakewuh” ataupun “feodal”.
Namun cara pandang masyarakat Melayu Jambi menempatkan “orang tua” ataupun “pemimpin’ sering disebutkan didalam seloko.
Lihatlah seloko seperti “Kampung sekato tuo”, “Kampung nan betuo”, “elok negeri dek orang tuo. Rame negeri dek anak mudo”, “Yang kecik disayang. Yang besak dihormati”,
Atau seloko terhadap kepemimpinan yang sering disebutkan didalam tradisi adat “Pemimpin itu hendaknya ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnya rimbun tempat belindung ketiko hujan, tempat beteduh ketiko panas, akarnya besak tempat besilo, pegi tempat betanyo, balik tempat babarito”.
Lalu ketika Al Haris kemudian menempatkan “orang tuo” atau “Pemimpin” sesuai dengan seloko yang kemudian diperlihatkan dalam berbagai peristiwa acara debat, maka Al Haris menempatkan diri sebagai “anak mudo”.
Tutur masyarakat Melayu yang mengagungkan “orang tuo” atau “pemimpin” begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Namun untuk melakukannya maka “Hanya orang berjiwa besar yg dapat melakukannya”.
Darimu, Aku belajar keteladanan.
Salut, Al Haris.
(Penulis adalah Direktur Media Publikasi dan Opini Al Haris-Sani)
Publish juga di Jambiseru.com
https://www.jambiseru.com/_/2020/25/10/opini-musri-nauli-keteladanan