13 Oktober 2020

opini musri nauli : Protokoler




Protokoler berasal dari kata “protol”. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, protoloker kemudian mengatur surat-surat resmi hasil perundingan, peraturan upacara, tatacara hubungan diplomati, orang yang bertugas mengatur jalannya upacara dan aturan yang mengatur peraturan pesan dalam jejaring komunikasi atau antara dua atau lebih peranti. 


Dalam praktek hubungan kedinasan, protokoler kemudian sering diartikan hubungan kedinasan yang mengatur lalu lintas komunikasi. Baik pengaturan jadwal pertemuan antara pejabat dengan atasan maupun pengaturan jadwal pertemuan antara pejabat dengan masyarakat. 


Dengan pengaturan protokoler, lalu lintas pertemuan menjadi tertib, rapi, terjadwal dan dapat dilaksanakan dengan baik. 


Salah satu “pintu” protokoler adalah “asisten pribadi”, “sekretaris”, “ajudan” ataupun orang kepercayaan. 



Merekalah yang mengatur lalu lintas pertemuan. Mengatur jadwal. Menyampaikan urgensi pertemuan, menyampaikan kabar penting ataupun kemudian dapat “menyela” pertemuan untuk mengatur pertemuan selanjutnya. 


Praktek itu sudah jamak dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pejabat. 


Praktek ini dapat saja berubah. Tergantung keadaan ataupun kebutuhan dari sang penerima informasi. 


Begitu kakunya protokoler sehingga membangun image ditengah masyarakat, untuk menemui seorang pejabat memerlukan protokoler yang panjang, rumit dan cenderung kaku. 


Banyak sekali keluhan dari masyarakat untuk bertemu dengan pejabat yang hendak ditemui, terjebak dengan jadwal rutinitas ataupun protokoler yang kaku. 


Namun sungguh aneh yang saya temukan. Di rumah Al Haris, siapa saja bisa lalu Lalang, menunggu ketemu dengan Al Haris kapanpun. 


Tidak ada penjagaan didepan rumah. Rumahnya malah terbuka dengan siapapun. Persis kayak “open house” seperti Gusdur. 


Entah menunggu ditengah halaman yang biasa sudah disediakan kopi dan panganan kue-kue, menunggu didepan rumah, menunggu dekat mobil, menunggu didepan ruangan ajudan Bupati. 


Tidak ada lalu lintas protokoler yang kaku ataupun ketat. 


Sang Bupati bisa saja memanggil yang dikenal. Ataupun sang tamu bisa saja mengantarkan undangan pesta pernikahan sembari sang bupati menerima tamu. 


Semua bebas. Tidak ada hambatan. 


Bahkan disela-sela pertemuan, ada saja tamu yang mendekatkan diri, pertemuan kemudian dihentikan sejenak menerima tamu yang data. 


Tidak lama kemudian sang tamu sibuk selfie sembari menunggu tamu yang lain sambil bengong menahan tawa. 


Ataupun Sang Bupati kemudian pindah meninggalkan tamu yang diterima. Sembari berujar “sebentar, bang. Saya ketemu dulu dengan tokoh masyarakat disana”. 


Atau bisa saja, ketika lagi asyik diskusi, sang bupati melihat tamu yang datang, kemudian keluar sebentar. Memanggil tamu, kemudian keluar, berbicara sebentar kemudian kembali masuk. 


Saya bisa membayangkan bagaimana rasa suka masyarakat ketemu sang bupati. Calon Gubernur yang diusung Bersama-sama dengan Abdullah Sani maju Pilkada Jambi 2020. 


Tidak lupa sang bupati kemudian memberikan souvenir. Entah masker, kartu nama, pin ataupun atribut yang bisa dibawa pulang. 


Kadangkala sang tamu hanya menyodorkan undangan pernikahan. Sembari melihat tanggal, sang bupati kemudian memanggil ajudan. Untuk menyesuaikan tanggalnya. 


Semuanya mengalir. Tidak ada “batasan’ ataupun protokoler yang kaku. 


Entah beberapa kali, saya melihat ajudan berdiri disamping pak Bupati. Mengingatkan agar segera pergi untuk jadwal pertemuan. 


Namun sang bupati hanya mengangguk. Sembari meneruskan percakapan. Tidak enak menghentikan pembicaraan. 


“Tidak enak meninggalkan orang yang sudah datang dari jauh”, kata sang bupati. Suatu ketika melihat kami bengong melihat Bupati lalu Lalang menemui tamu. 


Akupun tertawa. Sembari berdiri, aku bisikkan teman-temanku. 


“Ayo, urusan kita sudah selesai. Masih banyak tamu yang mengantri”, kataku keluar sembari tertawa.  


Pencarian terkait : Musri nauli, opini musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi,