06 November 2020

Opini musri nauli : Orang Kayo Hitam

Kisah Orang Kayo Hitam adalah kisah Raja Jambi. Dituliskan didalam berbagai stambood (istilah kitab induk. Semacam Tembo). 


Kata-kata “Orang Kayo Hitam” sering juga dengan dialek “Rang Kayo Hitam”. Kisah Heroik yang melekat kuat ditengah masyarakat. 


Dituturkan ditengah masyarakat dan menjadi pengetahuan umum yang tidak perlu lagi dibantah. 


Didalam Buku Sejarah Nasional Indonesia III – Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia” disebutkan keturunan Datuk Paduko Berhalo kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang Kayo Gemuk.


M. Nasir Didalam bukunya Keris Siginjei Mengenal budaya daerah Jambi menyebutkan Orang Kayo Hitam adalah anak bungsu dari Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak (Putri Selaras Pinang Masak). 




Cerita ini kemudian didukung oleh S. Budisantoso didalam buku “Kajian dan Analisia Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi yang menerangkan tentang Orang Kayo Pingai merupakan anak dari Datuk Paduko Berhalo yang beristrikan Putri Selaro Pinang Masak. Putri Selaro Pinang Masak berasal dari Pagaruyung yang berdiri tahun 1345 masehi. 


Namun ketika Adityawarman wafat 1375 masehi, maka Kerajaan Pagaruyung mulai lenyap dari catatan. 


Hingga kemudian berdiri Kerajaan Jambi. Kerajaan Jambi didalam Pemerintahan Datuk Paduko Berhalo, Orang Kayo hitam hingga Sultan Thaha tidak berkaitan dengan Kerajaan Jambi atau Kerajaan Melayu Jambi dalam perdebatan dengan kerajaan Sriwijaya. Selain memang hancurnya Kerajaan Melayu Jambi atau Kerajaan Jambi yang ditandai dengan ornamen candi-candi di Muara Jambi juga beragama Budha. Catatan I'tsing jelas menggambarkan sebagai pusat agama Budha di Asia. 


Namun Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Datuk Paduko Berhalo, Orang Kayo Hitam beragama Islam. Dalam Majalah Warta Ekonomi tahun 1997 menyebutkan Kerajaan Melayu II di bawah kepemimpinan Datuk Paduko Berhalo.


Wilayah Kerajaan ini memanjang dari Ujung Jabung hingga ke Muara Tembesi. 


Didalam Sila-sila Keturunan Raja Jambi kemudian berakhir di Sultan Thaha Saifuddin. Sultan Thaha Saifuddin kemudian gugur dalam peperangan melawan Belanda tanggal 1 April 1904 di Muara Tebo. 


Cerita yang tidak berbeda jauh juga terjadi ditengah masyarakat. Hampir setiap tutur di berbagai marga/batin di Jambi dengan jelas menyebutkan “Orang Kayo Hitam” adalah Rajo Jambi. 


Sehingga cerita yang dituturkan ditengah masyarakat didukung berbagai dokumen, sejarah maupun berbagai bukti arkeologi memastikan Orang kayo hitam adalah Raja Jambi. 


Dengan demikian maka Orang Kayo Hitam adalah Raja Jambi. Bukan Panglima. 


Sehingga apabila ada anggapan Orang Kayo Hitam adalah panglima selain akan menyesatkan, juga justru berhadapan dengan pengetahuan yang umum yang terjadi di masyarakat. 



Pencarian terkait : opini musri nauli, musri nauli, jambi dalam hukum, hukum adat jambi, jambi