19 Februari 2021

opini musri nauli : Hukuman Mati Pelaku Korupsi

Akhir-akhir ini keinginan publik untuk menghukum pidana terhadap pelaku korupsi begitu kuat. Semakin menggelinding. 


Berbagai pertemuan di kampus, disampaikan ke media massa bahkan dalam wacana-wacana diskusi sebagai wujud kegeraman publik terhadap kelakuan pejabat ditengah wabah pandemik. 


Bayangkan. Disaat nafas tersengal-sengal, ekonomi semakin terpuruk dan aktivitas sosial dibatasi.  Bahkan beberapa daerah sempat mengalam lock down, dengan enteng pejabat “mengambil keuntungan” dengan cara korupsi. 


Mereka tidak sekedar “menerima upeti”. Tapi merampok. Menghitung setiap helai bantuan dengan mengutip. 


Wacana menerapkan hukuman maksimal dengan hukuman mati adalah “kemarahan” sekaligus kegeraman dari publik. 


Kemarahan dan kegeraman publik harus ditempatkan secara proporsional didalam kerangka proses hukum yang tengah berlangsung. 


Menteri KKP, Menteri Sosial yang kemudian tersangkut dalam kasus korupsi adalah pejabat yang dituding sebagai koruptor dimasa pandemic. 


Namun untuk bisa diterapkan hukuman mati dalam kasus korupsi harus berpihak kepada “tuduhan” terhadapnya. 



Didalam UU No. 31 Tahun 1999  dan UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), hanya pasal 2 yang tegas mencantumkan hukuman mati. 


Selain itu hukuman seumur hidup dan 20 tahun penjara (Pasal 3, Pasal 11, Pasal 12 UU Tipikor). Dan hukuman penjara (Paling singkat 1 tahun atau paling singkat 4 tahun). 


Sebagaimana diketahui, para tersangka menerima “upeti” ketika menjabat sebagai Menteri. 


Nah, berkaitan dengan pasal yang dikenakan terhadap dugaan perbuatan yang dilakukan oleh tersangka maka tidak termasuk kedalam Pasal 2 UU Tipikor (yang mencantumkan hukuman mati). 


Lihatlah. Para tersangka dikenakan karena “menerima upeti” diatur didalam Pasal 12 A dan Pasal 12 B atau pasal 11 UU Tipikor. 


Sehingga dipastikan terhadap para pelaku tidak dapat diterapkan “hukuman mati”. 


Namun apabila kita telisik lebih jauh, Pasal 12 dan pasal 11 UU Tipikor masih menempatkan “pidana seumur hidup” dan “hukuman penjara 20 tahun” 


Didalam KUHP, “genus” hukuman mati ditempatkan seimbang dengan “penjara seumur hidup” dan “hukuman penjara 20 tahun”. Ketiganya ditempatkan sebagai “hukuman terberat”. 


Terhadap kejahatan-kejahatan berat yang mencantumkan hukuman mati, melihat kejahatan yang dilakukan ataupun dampak dari perbuatan pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk menjatuhkan putusan pidana. 


Dalam perkara-perkara yang mencantumkan “hukuman mati”, hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih apakah “hukuman mati”, “penjara seumur hidup” atau “pidana penjara 20 tahun”. 


Kebebasan hakim didalam memilih putusan pidana semata-mata merupakan ranah independensi hakim. Ranah yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun. 


Kebebasan dan kemerdekaan hakim adalah wujud dari negara hukum (rechtstaat). 


MA sendiri didalam yurisprudensi sering menyebutkan “mengenai strafmaacht itu adalah kewenangan dari pengadilan tingkat pertama”. 


Jadi walaupun pasal-pasal yang dikenakan kepada tersangka tidak mencantumkan “hukuman mati”, namun dapat diterapkan “hukuman seumur hidup” atau “pidana penjara 20 tahun”. 


Sehingga “genus” untuk menghukum para pelaku dengan “hukuman mati” dapat dijawab dengan “hukuman seumur hidup” atau “pidana penjara 20 tahun”. 


Mari kita tunggu dan ikuti persidangan.