23 Juni 2021

opini musri nauli : Sembah

 


Cara Pandang masyarakat Melayu Jambi menempatkan “Rajo” sebagai tanda dan bakti dan sikap patuh kepada Pemimpin. 


Kesalahan apapun dari Rakyat maka Rajo Tetap harus menerima sembah. Sebagaimana seloko seperti ”Raja tidak boleh menolak sembah. Teluk dak boleh nolak limpahan kapar. 

Sebagaimana seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”. Ada juga menyebutkan “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau”, atau “Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”, atau “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.


Terhadap kesalahan yang kemudian disampaikan kepada Rajo adalah kesalahan yang tidak mau menerima sanksi adat. Ada yang menyebutkan sebagai “plali”. Yang ditandai dengan Seloko seperti Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw. 


Ada juga menyebutkan “tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung, bebapak kepado harimau beindok kepado gajah bekambing pado kijang beayam pado kuwao”, “digantung tinggi, dibuang jauh” atau tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Atau “umo betalang jauh. Pesako mencil”


Maka sejak saat itu yang melakukan perbutan dikeluarkan dari tanggung jawab Kepala Adat, tidak boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟ yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya.


Dalam pembicaraan sehari-hari sering juga disebutkan “orang buangan”.