Penggunaan kata “rajo” dapat diartikan sebagai Raja. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Raja adalah penguasa tertinggi pada suatu kerajaan. Raja dapat juga diaritkan sebagai Kepala Daerah istimewa, Kepala Suku, Sultan.
Jabatan tertinggi didalan kerajaan. Kekuasaan dan pengaruhnya cukup besar.
Berajo Jambi selain tanda ikrar kepada Raja yang kemudian diikrarkan kepada Pemimpin tertinggi. Orang yang sangat dihormati dikalangan masyarakat Melayu Jambi.
Namun Berajo Jambi dapat diartikan segala keputusan diserahkan kepada Raja. Sehingga sebagai tanda ikrar maka dapat diartikan bentuk penghormatan terhadap pemimpin yang dihormati.
Istilah “menghadap ke hilir berajo Jambi. Balik mudik berajo ke Minangkabau” atau “mengilir berajo Jambi. Lipat pandang berajo ke Minangkabau merupakan Seloko yang yang ditetapkan oleh Raja Indrapura dan Raja Tanah Pilih.
Didalam bukunya, Ulu Kozok menyebutkan “sultan Inderapura Muhamad Syah Johan tertanggal 23 Ramadan 124(?)6H atau 14 Juni 1830M, yang kini disimpan oleh Depati Muda di dusun Kemantan Barat (Tambo Kerintji No. 140). Dalam surat tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan raja antara sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura”.
Istilah Rajo atau “berajo” juga dikenal didalam Seloko sehari-hari yang dipraktekkan didalam kehidupan sosial.
“Alam Sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” adalah bentuk bagaimana keputusan raja dilaksanakan oleh rakyatnya.
Sekaligus apapun keputusan raja menjadi pedoman dan titah dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan makna harfiah kata Raja didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ataupun penggunaan kata Raja dalam makna relasi kekuasaan, kata Raja hanyalah sekedar cerminan dari Rakyat Jambi yang menempatkan Pemimpin orang yang segala keputusannya dilaksanakan.
Bak “Titah”, setiap perintah yang dikeluarkan oleh Raja dapat diumpamakan demi kebaikan rakyat Jambi itu sendiri.