Apabila adanya pertentangan peraturan perundang-undangan yang biasa dikenal “conflict of norm” atau konflik norma maka digunakan asas. Salah satunya seperti Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori.
Menurut Hans Kelsen, didalam bukunya “Allgemeine der Normen” , Kata ‘derogat’ berasal dari kata kerja dasar (infinitivus) ‘derogare’.
Kata ini berubah menjadi ‘derogat’ karena ia mengikuti subjek yang berupa orang ketiga tunggal, dalam hal ini adalah ‘lex’ (undang-undang).
Kata ‘derogare’ ini merupakan kata yang khusus karena ia merupakan kata kerja intransitif dan yang harus diikuti dengan pelengkap penyerta yang umumnya ditandai dengan preposisi ‘kepada’, ‘untuk’, ‘bagi’, ‘demi’, yang dalam Bahasa Latin disebut dativus.
Asas lex posterior derogat legi priori bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang baru meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/ aturan hukum) yang lama.
Asas ini hanya dapat diterapkan dalam kondisi norma hukum yang baru memiliki kedudukan yang sederajat atau lebih tinggi dari norma hukum yang lama.
Didalam praktek Hukum Perdata terutama didalam Lapangan hukum acara Perdata, sikap Mahkamah Agung tegas didalam putusannya.
Mahkamah Agung No.1037 K/Sip/1973 menguraikan berdasar pada “Asas Umum dalam Hukum Perdata”, bilamana ada dua Peraturan hukum yang keduanya mengatur masalah yang sama, namun memuat ketentuan-ketentuan yang berlainan, demi kepastian hukum, maka peraturan yang diberlakukan oleh hakim adalah peraturan yang terbaru, kecuali ditentukan lain dengan Undang-undang.
Makna ini berbeda dengan asas “ne bis in idem”. Sebagaimana didalam Putusan Mahkamah Agung No.650 K/Sip/1974, Suatu gugatan yang telah dicabut dan diajukan kembali dengan memasukkan fakta-fakta dan unsur unsur hukumnya sebagai perbaikan, dalam hal yang demikian, tidak ada/tidak berlaku asas hukum “ne bis in idem”.
Advokat. Tinggal di Jambi