Mendapatkan undangan via Whatapp dari rekan untuk menghadiri “Syukuran dan Doa Selamat” Prof. Dr. As’ad Isma (As’ad Isma) hari minggu, 1 Mei 2023, sayapun bergegas.
Kebetulan beliau sehari-hari menjadi Imam mesjid dekat rumah tentu saja berdekatan rumah.
Hari sempat hujan dari pagi. Namun alhamdulilah menjelang pukul 10.00 wib, hujan berhenti. Seketika saya kemudian “memanaskan” sepeda motor. Kendaraan yang digunakan.
Disana telah hadir, Topan yang Tengah asyik mendengarkan Barzanji yang digelarkan di panggung.
Tidak lama kemudian acara dimulai. Dengan berbagai rangkaian prosesi “membacakan” surat yasin, doa-doa selamat, tausiah dan kata sambutan dari Tuan rumah.
Ketika As’ad Isma memberikan sambutan dan meminta doa selamat atas diraihnya Guru besar, ada kata-kata yang menarik yang menjadi tema menarik untuk diikuti.
Seketika ingatanku melayang 25 Tahun. Tahun 1997 - 1998 menjelang kejatuhan Orde baru.
Saya kebetulan menjadi Koordinator SBSI mempunyai sekretariat Didepan kampus IAN Sultan Thaha Saifuddin (Sekarang UIN STS) di telanaipura. Namun didalam tulisan ini saya sengaja dan suka menuliskan “IAIN)
Sebagai “Organisasi” yang cukup keras menentang orde baru, kantor SBSI sering menjadi tempat singgah kawan-kawan mahasiswa (terutama mahasiswa IAIN).
Kebetulan salah satu staf SBSI mempunyai dua orang keponakan yang lagi kuliah di IAIN.
Bermula dari seringnya sang keponakan mampir ke SBSI, kemudian sering mengajak teman-temannya, kemudian kantor SBSI sering dijadikan tempat kumpul mahasiswa IAIN.
Nah, karena seringnya datang dan berkumpul dan dijadikan tempat “nongkrong” mahasiswa, teman-teman IAIN sering “merancang” aksi-aksi menolak orde baru.
Kebetulan aksi-aksi mahasiswa terus membesar. Hampir setiap hari, aksi-aksi mulai mahasiswa yang semula hanya di kampus kemudian mulai keluar kampus.
Entah ke DPRD, kantor Gubernur.
Reli panjang aksi-aksi terus memberikan amunisi terhadap kawan-kawan mahasiswa.
Nah, disela-sela itulah, datang As’ad Isma. Beliau sering juga “sesekali” datang. Baik menjelang aksi maupun setelah aksi.
Ditengah kekuatan orde baru yang Masih kuat, akademisi yang memilih “barisan” di jalanan adalah sebuah “kemewahan”.
Jangankan akademisi, para teknorat kampuspun takut dengan aksi-aksi mahasiswa. Apalagi bergabung dengan “barisan” di jalanan.
Sehingga tidak salah kemudian Hubungan personalpun menjadi rekat.
Saya kemudian teringat Antonio Gramsci, pemikir Neo-Marxis asal Italia.
Didalam bukunya “Antoni Gramsci - Negara dan Hegemoni, Dalam relasi kuasa antara Negara dengan masyarakat, dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, maka Gramsci memunculkan konsep hegemoni, yaitu penguasaan alam bawah sadar yang memanfaatkan legitimasi dari mereka yang dikuasai. Kaum penguasa mengarahkan masyarakat untuk menyepakati ide-ide yang dikehendaki.
Apakah penguasa itu melakukannya sendiri? tentu tidak. Ada peran intelektual di sana, yaitu orang-orang yang memberikan pengaruhnya dengan memanfaatkan pengetahuan untuk mendukung atau menjadi kepanjangan tangan dari kelas penguasa.
Kaum penguasa mengarahkan masyarakat untuk menyepakati ide-ide yang dikehendaki. Apakah penguasa itu melakukannya sendiri? tentu tidak. Ada peran intelektual di sana, yaitu orang-orang yang memberikan pengaruhnya dengan memanfaatkan pengetahuan untuk mendukung atau menjadi kepanjangan tangan dari kelas penguasa.
Gramsci sendiri membagi intelektual ke dalam 2 kategori, yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional.
Meminjam teori Gramsci, saya lebih suka memberikan kategori Intelektual organic dan Intelektual mekanik.
Lagi-lagi Meminjam istilah Gramsci, Saya lebih suka menyebutkan dengan istilah “Intelektual organic” kepada As’ad Isma.
Intelektual yang tidak hanya berdiri dengan teori-teori Njlimet” di kampus. Bak menara gading. Lagi-lagi Gramsci menyebutkan sebagai “Intelektual tradisional” atau “Intelektual mekanic”.
Namun As’ad Isma mampu “keluar dari kungkungan” menjadi “sang intelektual”.
Mendengarkan “suara Rakyat” yang sudah muak dengan kelakuan orde baru.
Sejak itu hubungan personal tidak hanya hubungan emosional semata. Namun ada “kesamaan” pemikiran melihat persoalan yang Tengah terjadi.
Konsistensi “cara berfikir” dan tetap mengabdi di kampus adalah proses yang panjang. Proses yang kemudian mengantarkan sang Intelektual organic mendapatkan pencapaian puncak.
Menjadi guru besar.
Namun ditengah doa, tentu saja saya berharap, Agar gelar Guru besar sama sekali tidak “menghilangkan” cara berfikir “intelektua organic”.
Sekaligus tidak hanya menjadi “batas administrasi” guru besar dengan “Suasana” diluar kampus.
Tidak terjebak dengan atribut gelar Guru besar yang sibuk “mengurusi administrasi kampus” namun sepi karya-karya.
Selamat atas raihannya, sobak.
Kutunggu karya-karyamu di masa akan datang.
Advokat. Tinggal di Jambi