Ketika Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman (AU) dari jabatan Ketua MK dan dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat, tentu saja menarik perhatian.
Putusan ini dijatuhkan berdasarkan laporan dari Denny Indrayana, PEREKAT Nusantara, TPDI, TAPP, Perhimpunan Pemuda Madani, PBHI, Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, LBH Barisan Relawan Jalan Perubahan, para guru besar dan pengajar hukum yang tergabung dalam Constitutional Administrative Law Society (CALS), Advokat Pengawal Konstitusi, LBH Yusuf, Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak, KIPP, Tumpak Nainggolan, BEM Unusia, Alamsyah Hanafiah, dan PADI.
Didalam Putusannya, MKMK tegas menyatakan "Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan. "Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Demikian kabar teranyar dari hingar bingar politik setelah Putusan MK No 90/2023 tentang usia Capres/Wacapres 2024.
Selain dijatuhi putusan pelanggaran etik berat dan diberhentikan sebagai Ketua MK, Anwar Usman kemudian juga dilarang menjadi Hakim konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan perselisihan. Baik hasil Pemilu maupun hasil Pilkada.
Sehingga dipastikan (AU) hanya berwenang untuk menjadi hakim berkaitan dengan Perkara tentang pengujian undang-undang.
Didalam praktek sehari-hari, cara ini mirip yang dikenal dengan “hakim non palu”. Hakim yang tidak diberikan perkara disebabkan semata-mata adanya pelanggaran yang berat. Sehingga hakim konstitusi AU dapat dibaca sebagai “hakim setengah non palu”.
Ditengah-tengah masyarakat Melayu Jambi, cara pandang dan penghormatan terhadap hakim sering disebutkan didalam seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkam, Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek.
Beban sekaligus tanggungjawab pengadil yang dapat menentukan “yang berhak untuk memutihkan menghitamkan”, mampu “yang memakan habis”, “ memancung putus”, sehingga harus dapat “dipapan jangan berentak. Diduri jangan diinjek”. Di tangan merekalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum adat dapat diselesaikan.
Apabila datangnya sebuah perkara maka Bilo urusan sampai sampai ketangan. Jangan pulo ayik idak beilir. Kalam tidak bejalan. Hilang berito bak kijang lepeh kesemak. Beriak idak, bedetikpun idak. Bak batu jatuh ke lubuk. Bak pasir tambak ke buluh. Hilang dipicik bak angin. Hitam betungkus bak arang. Habis digenggam bak air, tegenang sesayak ayik, dinteh di ateh dak tentu pemancungnyo. Dibawah dak tentu mutusnya
Dengan demikian maka sang pengadil harus ditandai dengan sikap dan sifat sang pengadil itu sendiri oleh masyarakat Melayu Jambi.
Apabila adanya putusan MKMK yang menyebutkan “pelanggaran etik berat” yang disebabkan adanya Konflik kepentingan (conflict of interest) maka dapat dipadankan dengan Seloko “buluh bambu”. Ada juga yang menyebutkan “bilah bambu” yang dipadankan “sekok diinjak. Sekok diangkat”.
Seloko “buluh bambu” atau “bilah bambu” adalah sang pengadil yang mengutamakan penampilan luar namun kemudian kosong didalam. Bahkan hilir-mudik kemudian membanggakan sebagai pemimpin namun hanya mementingkan keluarganya (diangkat). Dan kemudian memberikan hukuman yang tegas diluar daripada keluarganya (diinjek).
Dalam bahasa sehari-hari sering diguyonkan “tajam kebawah. Tumpul ke atas”.
Membebaskan diri dari “conflict of interest” adalah sikap dan perilaku yang dapat memberikan hukum yang adil. Hukum yang tidak memihak.
Demikian agungnya penghormatan masyarakat Melayu Jambi kepada sang Pengadil yang mempunyai sikap dan perilaku yang agung yang ditandai dengan berbagai seloko maka sang pengadil diharapkan dapat bersikap adil. Menempatkan hukum ditempatkan sebagai putusan yang adil.
Sehingga apabila adanya sang Pengadil yang tidak mampu bersikap adil yang ditandai dengan sikap “buluh bambu” atau “bilah bambu”, maka sikap, perkataan atau apapun yang diucapkan tidak menjadi perhatian masyarakat Melayu Jambi.
Yang ditandai dengan Seloko “Jatuh dipemanjat. Jatuh di perenang”. Yang dapat dibaca sebagai “manusia yang tidak dapat dipercaya”.
Advokat. Tinggal di Jambi