21 Juni 2024

opini musri nauli : Mega Korupsi SDA di Indonesia


Akhir-akhir ini, peristiwa paling menghebohkan adalah “diintai” Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jam Pidsus) Kejaksan Agung. Kabar dari berbagai media menyebutkan adanya oknum  Anggota polisi dari Detasemen Khusus Antiteror atau Densus 88 diduga menguntit Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah ketika makan malam di sebuah restoran di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Satu dari anggota Densus 88 tertangkap basah. 


Peristiwa “sepenting” ini terlalu menarik perhatian publik. Publik dikejutkan bagaimana lembaga negara yang begitu penting malah “dikacangin” oleh lembaga resmi. Terlepas dari kemudian persoalan kemudian “senyap”, namun nuansa peristiwa ini terlalu sayang dilewatkan. 

Tidak dapat dipungkiri, ditengah berbagai persoalan kebangsaan di Indonesia, kinerja Kejagung begitu “moncer”. Tingkat kepercayaan publik begitu tinggi. 


Menteri Keuangan sendiri justru melaporkan permasalahan fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia  senilai Rp2,5 triliun. 


Dengan angka fantastik hingga mencapai angka 12 digit, tidak dapat dipungkiri, kinerja Kejagung didalam pemberantasan korupsi sudah menjadi jaminan mutu. 


Di tahun 2022 Korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Total kerugian keuangan negara sebesar Rp2.726.976.347.917 dan USD54.062.693,61. Kemudian Korupsi pengadaan pesawat udara pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2021. Total kerugian keuangan negara Rp8.947.198.402.688,00.


Selain itu Korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022. Total kerugian keuangan negara sebesar Rp6.047.645.700.000 dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp12.312.053.298.925. Belum lagi Korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit oleh PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu. Dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp4.798.706.951.640 dan USD7.885.857,36, serta kerugian perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000.


Berbagai peristiwa pembongkaran kasus belum termasuk seperti Kasus Jiwasraya (JS) yang dimulai dari manipulasi laporan keuangan. Menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp 16 triliun. Lalu Kasus korupsi Asabri yang telah menyeret sejumlah nama besar di pasar modal. Skandal korupsi tersebut diduga telah merugikan negara hingga sentuh Rp 22 triliun. Belum lagi sedang proses Kasus korupsi tol MBZ yang membuat negara rugi sekitar Rp 1,5 triliun.


Dan kasus Kasus korupsi BTS oleh Kominfo yang diperkirakan merugikan negara sekitar Rp 8 triliun dari Rp 10 triliun anggaran.


Kasus terbaru yang ditangani Jampidsus adalah kasus korupsi komoditas timah, hingga kini kasusnya pun masih berjalan. Nilai kerugian negara pada kasus ini ditaksir mencapai Rp 271 triliun.


Sehingga tidak salah kemudian Kejagung kemudian menjadi “sasaran tembak” dari pelaku korupsi yang kasusnya mampu dibongkar oleh Kejagung. 


Dari berbagai kasus yang mampu dibongkar Kejagung terutama JAM Pidsus, kasus korupsi komoditas timah adalah peristiwa penting yang menarik perhatian penulis. Kasus yang sudah lama penulis ikuti sejak 2012. 


Didalam pertemuan Nasional yang berkonsentrasi berkonsentrasi terhadap potensi korupsi di sektor Sumber daya alam (11 Maret 2013) ,Nota Kesepakatan Bersama telah ditandatangani 12 Kementerian/Lembaga, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan akar masalah sektor sumber daya alam atau sektor kehutanan. Ke-12 instansi itu antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Komnas HAM, dan Bappenas (NKB). NKB ini berlaku sejak ditandatangani hingga 11 Maret 2016 dan dilaksanakan secara keseluruhan di 18 provinsi.


Untuk Babel, dari total 1.085 izin pertambangan, KPK merekomendasikan mencabut 121 izin yang tumpang tindih di kawasan hutan. Namun dalam perkembangannya, yang dicabut hanya sebanyak 8 izin (Presentasi Dirjen Minerba Kementerian ESDM pada Semiloka NKB, 11 November 2014, Jakarta). Data ini menunjukkan bahwa kepala-kepala daerah di Babel tidak serius dalam melakukan penataan izin sektor pertambangan.


Hasil perhitungan yang dilakukan oleh Masyarakat Sipil Sumsel-Jambi-Babel untuk Perbaikan Tata Kelola Minerba di tiga provinsi di Sumsel, Jambi dan Babel menunjukkan bahwa sejak tahun 2010 hingga 2013 perkiraan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp. 248,693 Miliar lebih di Sumsel; Rp 50,467 Miliar lebih di Jambi; dan Rp.6,596 Miliar lebih di Bangka Belitung. Dengan demikian total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi tersebut adalah sebesar Rp. 305,757 Miliar lebih.


Penghitungan dilakukan dengan mengacu PP No. 9 Tahun 2012 dan dilakukan oleh tim ahli yang menghitung potensi kerugian Negara. Namun yang menjadi catatan penting didalam pembahasan penghitungan, terhadap akibat tambang belum dimasukkan menjadi catatan penting didalam penghitungan potensi kerugian Negara.


Penghitungan cepat yang dilakukan dengan menggunakan data-data adminstrasi dari berbagai pemangku kepentingan. Tentu saja belum memasukkan data-data kerusakan lingkungan yang menjadi sorotan dari Kejagung. 


Sejak itu, penulis menempatkan kasus komoditas timah sebagai “starting point” untuk membuka berbagai mega korupsi di Indonesia. Penulis kemudian menggunakan istilah mega Korupsi SDA. 


Waktu kemudian berjalan. Kasus-kasus Korupsi yang berkaitan SDA praktis tenggelam dengan berbagai Korupsi yang bersilewaran di media massa. 


Namun asa yang pernah terpatri sejak 2013-2014 kemudian menemukan momentum. Tahun 2024, Kejagung kemudian setelah berproses membongkar korupsi dari hanya trilyun, puluhan trilyun kemudian semakin matang. Starting point yang menjadi asa sejak 2013-2014 kemudian menemukan momentum. Tembakan tidak tanggung-tanggung diarahkan ke ulu “mega Korupsi” SDA timah di Babel. 


Ditengah apatis sebagian publik terhadap kinerja lembaga negara, Kejagung mampu memberikan warna, arah maupun pembongkaran kasus-kasus mega Korupsi. Terutama di sektor SDA. Dan starting point harus mendapatkan dukungan dari publik. Terutama pegiat SDA yang paling teriak kencang terhadap pembongkaran mega Korupsi SDA. 


Penulis kemudian memilih barisan. Yang mendukung lembaga negara yang mampu membongkar mega Korupsi SDA. 


Asa yang telah lama berlalu kemudian hidup kembali. 


Viva Kejagung. Keren untuk JAM Pidsus.