15 Juni 2024

opini musri nauli : Membaca langkah Sang Kancil


Tidak dapat dipungkiri, paska Pilpres 2024, gaung politik Pilkada juga menjadi perhatian nasional. Berbagai langkah politik Partai untuk mempersiapkan kader-kadernya bertarung untuk memantapkan posisi paska Pilpres. 


Berbagai rekomendasi dari Partai politik untuk calon Kepala daerah Sudah menjadi pembicaraan di media massa. PKB, Partai Nasdem, PAN, PPP dan PDIP Sudah mengumumkan bakal calon Kepala daerah. Tidak lupa berphoto surat rekomendasi dari Partai untuk modal mendaftar di KPU. 


Namun dari berbagai rangkaian acara, salah satu yang paling menarik tentu saja Pilkada Jakarta. Sebuah tempat dan sekaligus simbol dari keunggulan partai-partai di kancah nasional. 

Kembalinya diusung Anies Baswedan tentu saja membuat berbagai Partai kemudian harus meletakkan kartu trufnya diatas meja. Dan menghitung ulang kalkulasi politik. 


Terlepas dari dinamika atau suara-suara terpinggirkan dari masyarakat Jakarta, popularitas sekaligus daya dukung Anies Baswedan masih tinggi. Berbagai lembaga survey menempatkan Anies Baswedan sebagai posisi unggul. 


Basuki Cahaya Purnama (AHOK) atau Ridwan Kamil adalah penantang Serius untuk mengimbangi Anies Baswedan. Dan tentu saja pertarungan di Jakarta adalah pertarungan untuk melihat kemampuan partai-partai politik memainkan dinamika lokal. 


Namun tidak dapat dipungkiri, sikap DPW PKB Jakarta yang langsung “curi start” yang kemudian mengumumkan sekaligus memperjuangkan Anies Baswedan membuat suasana politik Jakarta kembali memanas. Dan lagi-lagi Partai kembali berhitung untuk membuat kalkulasi untuk memenangkan Jakarta. 


Sikap DPW PKB Jakarta yang langsung “running” adalah bentuk “kedigdayaan” PKB yang selalu menciptakan momentum. Momentum ketika berbagai partai-partai lain sedang berhitung. 


Berbagai skenario dan simulasi kemudian menarik untuk ditelusuri. Skenario seperti “memasang” dengan Kaesang (PSI) ataupun kembali menyandingkan dengan Ahok membuat skenario menjadi simulasi untuk diikuti perkembangannya. 


Dengan memasang Anies dan Kaesang, PKB semakin mantap mendapatkan dukungan sekaligus posisi di Pemerintahan Prabowo - Gibran. Modal sekaligus posisi untuk mengunci di Pemerintahan selanjutnya. 


Tentu saja dengan cara ciamik yang dimainkan, PKB mendapatkan kartu AS. Menguasai Jakarta sekaligus memantapkan posisi di Pemerintahan selanjutnya. 


Namun skenario memasangkan dengan kader dari PDIP, justru PKB sudah memainkan kaki untuk “menekan” posisi di Pemerintahan Prabowo - Gibran. 


Dua skenario ini sangat Cantik dimainkan oleh PKB. 


Sebagai Partai yang sudah 20 tahun menjadi bagian dari Pemerintah (2 periode di Zaman SBY dan 2 periode Zaman Jokowi), PKB selalu memainkan strategi yang ciamik. 


Ketika Pilpres, bahkan ketika masih samar-samarnya dukungan Anies Baswedan yang hanya  baru mendapatkan rekomendasi dari Partai Nasdem, PKB kemudian langsung menyeruak. Sekaligus menghentak publik. Yang kemudian mengucapkan “Good By’ kepada  Partai Gerindra yang sebelumnya sempat “mesra”. 


Tidak tanggung-tanggung, sikap PKB justru menunjukkan kemandirian Partai besar yang sama sekali tidak ikut “cawe-cawe” didalam koalisi besar. PKB justru menunjukkan kedaulatan yang kemudian diapresiasi publik sebagai Partai modern yang kemudian terbukti Handal dan lincah memainkan politik. 


Terlepas dari kekalahan Aneis Baswdan - Muhaimin Iskandar di Pilpres, namun suara PKB kemudian naik tajam. Bandingkan tahun 2024, PKB: 16.115.655 (10,62 persen) rangking 4 besar setelah PDIP, Partai Golkar dan Partai Gerindra.  Melompat jauh dari tahun 2019,  yang hanya 13.570.970 suara (9,69 persen). 


Kemenangan PKB juga diikuti dengan Partai Nasdem. Tahun 2024 mampu menjulang 14.660.516 suara (9,6%), Jauh dari tahun 2019, mendapat suara sebanyak 12.661.792 suara (9,05 persen). Sementara pada Pemilu 2014 partai ini hanya memperoleh dukungan 8.402.812 suara (6,72 persen).


Bandingkan dengan Partai Gerindra yang telah memenangkan Pilpres, namun hanya mampu naik 0,7 %. 


Belum lagi kemenangan di berbagai daerah ataupun daerah-daerah yang selama ini tidak terwakili dengan PKB namun kemudian menorehkan prestasi. 


Sebagai Dirijen, Sang Kancil begitu ciamik memainkan orkestras yang mengalun merdu. Perpaduan dukungan dari kaum Nadhiyin tradisional dan Partai modern yang mampu bertahan cukup lama di panggung nasional. 


Sehingga tidak salah kemudian PKB dan Partai Nasdem benar-benar menikmati kemenangan “ekor jas” dari Pilpres 2024. 


Dengan demikian maka “pertarungan Pilpres”, kecanggihan sekaligus “ciamik” PKB (dan juga Partai Nasdem) menggunakan “pilpres” sebagai “mesin jumbo” yang mampu menggerakkan sekaligus kemenangan Partai. 


Tidak salah kemudian PKB yang dkomandai Muhaimin Iskandar begitu piawai memainkan politik kontemporer. Berbagai julukan kemudian disempatkan kepada Muhaimin Iskandar sebagai julukan “sang Kancil”. Kecil, cerdik, lincah sekaligus mampu membuat momentum. 


Momentum Jakarta benar-benar membuat skenario baru yang tengah dimainkan oleh Sang Kancil. Siapapun yang akan disandingkan dengan Anies Baswedan, sang Kancil telah memainkan skenario yang ciamik. 


Tinggal menunggu langkah-langkah terbaik yang akan dimainkan oleh sang kancil. Dan kembali kita disuguhkan permainan orkestras yang cantik dimainkan sang Kancil. 




Advokat. Tinggal di Jambi.