Kontribusi ASN dan Gambaran Keuangan Daerah
Pemerintah Provinsi Jambi memainkan peran besar dalam pendanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui iuran para Aparatur Sipil Negara (ASN), yang mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Berdasarkan data jumlah ASN Pemprov Jambi yang mencapai 13.045 orang, kontribusi iuran wajib 5% dari gaji pokok mereka diperkirakan mencapai sekitar Rp2.282.875.000,00 (Dua Miliar Dua Ratus Delapan Puluh Dua Juta Rupiah) setiap bulannya. Meskipun angka ini merupakan sumbangan yang signifikan dari sektor Pekerja Penerima Upah (PPU) Pemerintah, total penerimaan iuran BPJS Kesehatan dari seluruh segmen peserta di Provinsi Jambi jauh lebih besar. Secara total, BPJS Kesehatan Cabang Jambi diperkirakan menerima iuran sekitar Rp75 Miliar per bulan, atau sekitar Rp900 Miliar dalam setahun.
Ketika Beban Klaim Melebihi Iuran
Namun, tingginya partisipasi dan pendapatan iuran tersebut tidak serta merta menjamin kesehatan finansial program di tingkat regional. Data menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara dana yang masuk dengan dana yang harus dikeluarkan. Jika pendapatan iuran BPJS Kesehatan di Jambi mencapai estimasi Rp75 Miliar per bulan, beban klaim (pengeluaran untuk pelayanan kesehatan) yang harus dibayarkan kepada fasilitas kesehatan rata-rata mencapai sekitar Rp91,67 Miliar di periode yang sama. Selisih pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan ini menciptakan defisit bulanan sekitar Rp16,67 Miliar. Dalam skala tahunan, dengan total pendapatan iuran Rp900 Miliar, BPJS Kesehatan Jambi harus menanggung beban klaim sebesar Rp1,1 Triliun, sehingga menghasilkan defisit operasional tahunan yang mencapai sekitar Rp200 Miliar.
Defisit Regional dan Amanat Konstitusi Negara
Kondisi regional di Jambi, di mana beban klaim melebihi pendapatan iuran, mencerminkan tantangan yang kerap dihadapi Program JKN secara nasional. Defisit ini timbul karena biaya pelayanan kesehatan, terutama untuk penyakit katastropik dan layanan lanjutan, tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pendapatan iuran. Dalam konteks ini, negara (Pemerintah Pusat) memegang peranan krusial sebagai penjamin akhir.
Sesuai Amanat Konstitusi, negara wajib menjamin kesehatan seluruh rakyat. Oleh karena itu, kekurangan dana (defisit) yang terjadi di BPJS Kesehatan, termasuk di tingkat regional seperti Jambi, ditanggulangi oleh Pemerintah Pusat melalui suntikan dana dari APBN. Defisit ini bukanlah kerugian bisnis murni, melainkan cerminan dari kewajiban sosial negara untuk memastikan bahwa setiap warga negara—terlepas dari besaran iuran yang dibayarkan—tetap mendapatkan hak pelayanan kesehatan yang sama.
Prinsip Gotong Royong sebagai Pilar JKN
Mekanisme penanggulangan defisit ini dijalankan berdasarkan prinsip inti JKN, yaitu Gotong Royong. Dalam prinsip ini, peserta yang sehat membantu peserta yang sakit, dan iuran dari daerah yang surplus (pendapatan melebihi klaim) digunakan untuk menutup defisit yang terjadi di daerah lain (seperti Jambi) yang tingkat pemanfaatan layanan kesehatannya tinggi.
Dalam konteks JKN, gotong royong berarti bahwa peserta yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin. Iuran yang dibayarkan oleh seluruh peserta dikumpulkan dalam Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, yang kemudian digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan bagi mereka yang membutuhkan.
Aspek-aspek Utama Prinsip Gotong Royong
1. Kewajiban Kepesertaan: Kepesertaan JKN bersifat wajib bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk orang asing yang telah bekerja minimal 6 bulan di Indonesia. Hal ini memastikan bahwa semua orang berkontribusi sesuai dengan kemampuannya, menciptakan basis pendanaan yang kuat dan berkelanjutan.
2. Pembayaran Iuran Berdasarkan Kemampuan: Peserta JKN membayar iuran sesuai dengan kategori kepesertaan mereka. Bagi peserta mampu, mereka membayar iuran secara mandiri. Pekerja formal (PPU) iurannya dibayar bersama antara pekerja (1%) dan pemberi kerja (4%). Bagi masyarakat miskin, iuran mereka ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
3. Solidaritas dalam Pembiayaan: Dana yang terkumpul dari iuran seluruh peserta digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan bagi siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Ini berarti bahwa peserta yang sehat membantu membiayai pelayanan kesehatan bagi peserta yang sakit, dan peserta yang mampu membantu membiayai pelayanan kesehatan bagi peserta yang kurang mampu.
4. Redistribusi Dana Antar Daerah: Dalam sistem JKN, dana dari daerah yang surplus (pendapatan iuran melebihi klaim) dapat digunakan untuk menutup defisit di daerah lain yang tingkat pemanfaatan layanan kesehatannya tinggi. Hal ini memastikan bahwa semua peserta JKN di seluruh Indonesia memiliki akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Manfaat Prinsip Gotong Royong
- Keadilan dan Pemerataan: Prinsip gotong royong memastikan bahwa semua warga negara Indonesia memiliki akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka.
- Keberlanjutan Program: Dengan melibatkan seluruh masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, prinsip gotong royong menciptakan basis pendanaan yang kuat dan berkelanjutan untuk program JKN.
- Solidaritas Sosial: Prinsip gotong royong memperkuat ikatan sosial dan solidaritas antar warga negara, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa kesehatan adalah tanggung jawab bersama.
Melalui sistem keuangan nasional yang terintegrasi, iuran dari seluruh peserta JKN di seluruh Indonesia disatukan dalam Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan. Ketika Jambi menghadapi defisit Rp200 Miliar, dana tersebut ditarik dari DJS Kesehatan yang dikelola pusat. Jika DJS Kesehatan secara keseluruhan defisit, barulah peran Pemerintah melalui APBN masuk sebagai 'back-up' utama. Prinsip ini memastikan bahwa defisit operasional di tingkat regional tidak akan mengganggu atau menghentikan layanan kesehatan bagi 3,5 juta penduduk Jambi yang telah menjadi peserta JKN. Ini adalah perwujudan nyata dari peran negara sebagai penjamin utama kesehatan rakyatnya. Dengan demikian, prinsip gotong royong bukan hanya sekadar mekanisme pembiayaan, tetapi juga merupakan perwujudan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial di bidang kesehatan.

