Jakarta, Juli 1945 – Di tengah gejolak kemerdekaan yang kian membara, sebuah pertemuan rahasia digelar di salah satu sudut kota Jakarta. Udara panas dan lembap malam itu terasa semakin gerah oleh ketegangan yang pekat di dalam ruangan. Asap rokok mengepul tipis, berbaur dengan aroma kopi pekat, menambah sesak suasana. Mata-mata tajam saling beradu pandang, tak satu pun menunjukkan tanda-tanda menyerah. Bukan sekadar diskusi biasa, melainkan adu gagasan nan sengit antara empat tokoh kunci pergerakan nasional: Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tan Malaka, dan Bung Sutan Sjahrir. Mereka berkumpul bukan untuk bersepakat dari awal, melainkan untuk memperdebatkan satu hal krusial: bagaimana sesungguhnya kedaulatan bangsa ini harus diraih dan dipertahankan, agar tak sejengkal pun tanah air kembali jatuh ke tangan penjajah.
Bung Karno: (Membuka dengan suara berapi-api, matanya menyorot tajam ke sekeliling ruangan) Saudara-saudaraku! Kita sepakat satu hal: kemerdekaan adalah harga mati! Tapi bagaimana kita akan meraihnya? Dengan menunduk pada tipu daya Jepang? Atau menanti belas kasihan Sekutu? Rakyat sudah muak dengan janji-janji kosong! Kita harus segera menyatakan kemerdekaan, secepatnya!
Bung Sjahrir: (Menyela dengan nada dingin, sarat perhitungan, tangannya sesekali membetulkan letak kacamata) Tergesa-gesa, Bung Karno, itu bukan kebijaksanaan! Pernyataan kemerdekaan tanpa persiapan matang hanya akan jadi bumerang. Jepang masih kuat, Sekutu belum tentu mengakui. Kedaulatan sejati bukan cuma proklamasi di atas kertas, tapi pengakuan dunia dan kekuatan di dalam negeri untuk mempertahankannya! Kita harus membangun kekuatan diplomatik, melihat peluang dari pergeseran politik global.
Bung Tan Malaka: (Memotong dengan suara berat, tatapan matanya menusuk, tubuhnya sedikit condong ke depan) Diplomasi? Omong kosong! Penjajah tak akan pernah memberikan kemerdekaan secara cuma-cuma, Bung Sjahrir! Revolusi sejati butuh kekuatan rakyat, bukan bisik-bisik di meja perundingan! Kita harus menggerakkan massa, bersenjata, siap mati demi tanah air! Kedaulatan itu direbut, bukan diminta! Jangan pernah percaya pada bujuk rayu imperialis!
Bung Hatta: (Mencoba menengahi dengan tenang namun tegas, gesturnya menunjukkan otoritas, sesekali menyeruput kopi hitamnya) Tenang, Saudara-saudara. Emosi tidak akan membawa kita ke mana-mana. Bung Tan Malaka benar, kekuatan rakyat adalah fondasi. Tapi Bung Sjahrir juga tidak salah, pengakuan internasional itu penting. Proklamasi tanpa dasar kekuatan dan pengakuan, itu hanya akan jadi fantasi. Kita butuh konsolidasi, membangun struktur pemerintahan yang kuat, dan meyakinkan dunia bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat, bukan boneka. Ekonomi harus stabil, birokrasi harus berjalan. Itu fondasi kedaulatan.
Bung Karno: (Menggebrak meja pelan, sorot matanya kini penuh gejolak, seolah ingin meledak) Tapi sampai kapan kita menunggu, Bung Hatta?! Rakyat sudah berdarah-darah! Momentum ini, di saat Jepang goyah, adalah waktu yang paling tepat! Kalau kita menunda, para imperialis akan kembali menancapkan kukunya! Kedaulatan itu diumumkan, dan dipertahankan dengan jiwa raga! Bukankah sejarah membuktikan bahwa kemerdekaan sejati lahir dari keberanian, bukan dari kalkulasi belaka?!
Bung Sjahrir: (Menyunggingkan senyum tipis, meremehkan, tatapannya dingin) Keberanian tanpa perhitungan adalah bunuh diri, Bung Karno. Rakyat memang berdarah, tapi pengorbanan itu harus terarah. Jika kita proklamirkan sekarang tanpa persiapan, lalu Inggris atau Belanda kembali dengan kekuatan penuh, apa yang akan kita lakukan? Berperang tanpa senjata, tanpa dukungan? Itu bukan kedaulatan, itu petualangan gila! Kedaulatan itu membutuhkan strategi yang matang, bukan sekadar pekikan di lapangan!
Bung Tan Malaka: (Berdiri, menunjuk ke arah Bung Sjahrir, suaranya menggelegar mengisi ruangan) Strategi kalian itu strategi budak! Kalian masih berpikir dengan otak penjajah! Kedaulatan itu bukan soal menunggu izin, Bung Sjahrir! Kedaulatan adalah hak mutlak! Kita harus bangkit, merebut pabrik-pabrik, merebut senjata, membangun milisi rakyat! Jika Belanda datang lagi, kita lawan! Sampai titik darah penghabisan! Jangan sampai sedikit pun tanah ini diinjak penjajah lagi! Jangan ada kompromi!
Bung Hatta: (Menghela napas panjang, mencoba meredakan suasana yang semakin panas, mengusap pelipisnya) Bung Tan Malaka, gagasan revolusi sosialmu memang menggelegar, dan kita butuh semangat itu. Tapi kita juga harus realistis. Perjuangan tidak hanya di medan perang. Perjuangan juga ada di meja perundingan, di lembaga-lembaga internasional, di benak setiap rakyat yang harus kita didik untuk menjadi warga negara yang merdeka dan bertanggung jawab. Kedaulatan yang kita inginkan adalah kedaulatan yang kokoh, diakui, dan mampu menyejahterakan rakyat. Itu butuh perencanaan, bukan sekadar bara api.
Bung Karno: (Mengepalkan tangan, menatap tajam ke arah masing-masing rekannya, suaranya bergetar menahan emosi) Jadi, kalian semua meragukan kekuatan rakyat? Meragukan takdir bangsa ini? Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?! Kalau bukan sekarang, kapan lagi?! Proklamasi itu adalah gerbang! Setelah itu, baru kita berbenah, baru kita hadapi dunia! Tapi gerbang itu harus dibuka sekarang! Dengan tegas! Tanpa ragu! Ini bukan cuma soal strategi, ini soal martabat!
Kesepakatan di Ujung Debat
Malam semakin larut, keheningan sempat menyelimuti ruangan yang tadinya riuh dengan perdebatan sengit. Kelelahan jelas terpancar dari wajah keempat tokoh, namun tekad mereka tetap menyala. Setelah berjam-jam saling lempar gagasan, mempertanyakan setiap kemungkinan, dan menimbang setiap risiko, sebuah kesadaran mulai tumbuh: meskipun jalan yang mereka tempuh berbeda, tujuan mereka sama: kemerdekaan penuh dan kedaulatan abadi bagi bangsa Indonesia.
Bung Hatta: (Memecah keheningan dengan suara lebih lembut, namun penuh keyakinan) Saudara-saudaraku, kita tidak bisa terus terpecah. Kita semua ingin Indonesia berdaulat. Gagasan Bung Karno tentang proklamasi secepatnya, semangat revolusi Bung Tan Malaka, dan perhitungan strategis Bung Sjahrir, semuanya adalah elemen penting. Kedaulatan bukan hanya satu aspek, ia adalah kesatuan dari keberanian proklamasi, kekuatan rakyat, dan pengakuan dunia.
Bung Sjahrir: (Mengangguk pelan, tatapannya melembut) Saya setuju dengan Bung Hatta. Kedaulatan yang kita impikan adalah kedaulatan yang utuh. Mungkin momentum memang penting, Bung Karno. Tapi persiapan juga tak bisa diabaikan.
Bung Tan Malaka: (Duduk kembali, meski ekspresinya masih keras, ada sedikit kelegaan di matanya) Rakyat harus siap. Jika proklamasi digulirkan, rakyat tidak boleh lengah. Kita harus tetap mengorganisir kekuatan di akar rumput, siap menghadapi segala kemungkinan. Kedaulatan itu harus dijaga dengan darah dan keringat.
Bung Karno: (Menghela napas panjang, memandang satu per satu wajah sahabat seperjuangannya, senyum tipis mulai merekah di bibirnya) Jadi, kita sepakat. Kedaulatan bangsa ini akan kita raih melalui proklamasi kemerdekaan, yang akan menjadi titik tolak. Setelah itu, kita akan bahu-membahu membangun kekuatan, baik secara militer, ekonomi, maupun diplomatik. Semangat revolusi rakyat harus tetap menyala, dan pada saat yang sama, strategi matang harus kita jalankan untuk mendapatkan pengakuan dunia. Kita akan berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan dihormati.
Akhirnya, secercah kesepakatan muncul dari badai perdebatan. Mereka menyadari, kedaulatan sejati adalah simfoni dari keberanian, kekuatan, dan kebijaksanaan. Dari pertemuan rahasia inilah, benang merah strategi kemerdekaan mulai terjalin, menandai babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mereka mungkin memiliki metode yang berbeda, namun satu hal yang pasti: tak sejengkal pun tanah air ini boleh kembali jatuh ke tangan penjajah. Kedaulatan bangsa adalah harga mati.