Moderator: Selamat pagi, Bung-bung pejuang kemerdekaan yang saya hormati. Sebuah kehormatan bisa berkumpul bersama Anda hari ini. Tema diskusi kita adalah nasionalisme dan strategi perlawanan terhadap dominasi Barat. Kita mulai dengan Bung Tan Malaka.
Tan Malaka: (Menyesap kopi, pandangan tajam, sedikit menyeringai) Nasionalisme bagi saya bukan sekadar sentimen manis atau bendera berkibar. Ia adalah kesadaran kelas yang membakar! Kita melawan Barat bukan hanya karena mereka penjajah, tapi karena mereka representasi kapitalisme dan imperialisme yang menghisap darah rakyat! Perlawanan harus total, menyeluruh, dan membumi. Ia harus melibatkan massa, jutaan jiwa yang bangkit, bukan hanya segelintir elite berjas di meja perundingan. Slogan "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika" itu bukan basa-basi, Bung! Itu adalah metafora perlawanan yang radikal, yang mencabut akar-akar dominasi mereka hingga ke fondasinya! Kita harus menghantam fondasi ekonomi dan politik mereka di tanah kita ini sampai mereka tak punya pijakan lagi!
Moderator: Menarik sekali, Bung Tan. Bagaimana dengan pandangan Bung Hatta mengenai perlawanan ini, terutama dari sisi ekonomi dan diplomasi?
Mohammad Hatta: (Merapikan peci, tenang namun berwibawa, nadanya tegas) Perlawanan haruslah rasional dan terencana, Bung Tan. Nasionalisme saya adalah nasionalisme yang berakar pada kemerdekaan seutuhnya, termasuk kemerdekaan ekonomi yang nyata. Melawan Barat berarti membangun kekuatan ekonomi kita sendiri, dengan koperasi sebagai tulang punggungnya. Kita harus mandiri, tidak bergantung pada belas kasihan atau investasi mereka. Dalam diplomasi, kita harus cerdik, Bung. Dunia internasional itu panggung intrik, kita harus memahami kekuatan dan kelemahan lawan, menggunakan akal, bukan sekadar otot. "Inggris kita linggis" bisa diartikan kita harus meruntuhkan sistem ekonomi kolonial mereka melalui jalur yang sah dan terstruktur. "Amerika kita setrika" berarti kita harus meluruskan ketidakadilan yang mereka ciptakan melalui hegemoni ekonomi dan politiknya, tanpa perlu terlibat konflik militer yang sia-sia dan hanya merugikan rakyat. Kita harus berunding, berdiplomasi, namun tetap dengan prinsip teguh untuk kedaulatan penuh. Kekuatan sesungguhnya ada pada strategi, bukan amuk massa semata.
Perdebatan Keras I: Revolusi atau Diplomasi?
Tan Malaka: (Melotot, menunjuk ke arah Hatta) Strategi? Perundingan? Bung Hatta, berapa ratus tahun lagi kita harus menunggu penjajah ini mau berunding dengan sukarela?! Mereka hanya mengerti bahasa kekuatan! Koperasi itu bagus, tapi itu untuk membangun setelah kemerdekaan, bukan untuk merebutnya! Revolusi adalah satu-satunya jalan! Rakyat sudah lelah menunggu, mereka lapar, mereka tertindas, mereka butuh aksi nyata, bukan janji-janji diplomasi yang bertele-tele di meja bundar! Kau terlalu percaya pada itikad baik penjajah!
Mohammad Hatta: (Menghela napas, tetap tenang namun suaranya meninggi) Bung Tan, kebrutalan tanpa perhitungan hanya akan membawa kita pada lubang kehancuran yang lebih dalam! Kita punya sumber daya terbatas. Rakyat yang kau sebut-sebut itu adalah manusia, bukan pion yang bisa dikorbankan seenaknya. Kita harus membangun kekuatan dari dalam, melalui pendidikan yang membebaskan pikiran, melalui organisasi ekonomi yang kuat, barulah kita punya posisi tawar yang kokoh. Revolusi membutuhkan persiapan matang, bukan sekadar kobaran api sesaat yang mudah dipadamkan penjajah dengan senapan dan meriam mereka. Kau terlalu romantis dengan penderitaan rakyat, tanpa melihat kalkulasi realistis!
Soekarno: (Menggebrak meja, lebih keras dari Tan Malaka, menarik perhatian semua) Cukup! Cukup Bung-bung! Keduanya penting! Api revolusi harus membakar semangat rakyat, ya! Tapi akal sehat harus menuntun langkah kita. Kita butuh massa yang bergerak, yang berani mati demi kemerdekaan! Dan kita juga butuh strategi yang cerdas, yang lihai di meja diplomasi! Go ahead Tan, kobarkan semangat! Tapi Hatta, jangan lupakan realpolitik dan kalkulasi kekuatan! Revolusi tanpa diplomasi akan buta dan hanya jadi bunuh diri! Diplomasi tanpa revolusi akan lumpuh dan hanya jadi budak penjajah! Kita butuh kedua-duanya, Bung-bung! Ini bukan pilihan, ini adalah dua sisi mata uang perjuangan!
Moderator: Sebuah pendekatan yang berbeda namun saling melengkapi, seperti yang Bung Karno katakan. Sekarang, mari kita dengar pandangan Bung Soekarno, sang proklamator.
Soekarno: (Tersenyum karismatik, mengepalkan tangan, kembali ke semangat awal) Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air! Nasionalisme bagi saya adalah geest, jiwa yang membakar semangat rakyat hingga ke tulang sumsum! Ia adalah keberanian untuk mengatakan "tidak" kepada penindasan! Kita harus berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, tanpa jongkok-jongkok di hadapan bangsa lain! "Inggris kita linggis" bukan berarti kita harus membawa linggis ke London, tetapi kita harus menghancurkan sisa-sisa imperialisme mereka di bumi kita, dalam segala bentuknya, sampai tak tersisa! "Amerika kita setrika" berarti kita harus meluruskan pandangan mereka tentang kita, bahwa kita bukan bangsa yang bisa didikte, bukan bangsa kuli yang bisa diinjak-injak! Kita harus membangun kekuatan kita sendiri, entah itu ekonomi, militer, atau kebudayaan! Perlawanan itu harus total, melibatkan seluruh rakyat, dari Sabang sampai Merauke! Kita tidak akan pernah menyerah pada Barat, tapi kita juga harus cerdas, bukan dengan emosi semata. Kita harus menggunakan diplomasi dan kekuatan kita secara proporsional, seperti dua sayap burung yang terbang menuju kemerdekaan!
Moderator: Sangat berapi-api, Bung Soekarno. Lalu, bagaimana dengan pandangan Bung Syahrir yang dikenal dengan pendekatan yang lebih intelektual?
Sutan Syahrir: (Menyilangkan kaki, kalem namun tegas, pandangan lurus) Nasionalisme saya adalah nasionalisme modern, yang berlandaskan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan universal. Kita melawan Barat bukan semata karena warna kulit atau asal-usul, melainkan karena sistem kolonialisme yang mereka anut itu tidak beradab, merendahkan martabat manusia! Perlawanan kita harus cerdas, Bung, bukan hanya mengandalkan otot atau teriakan massa. Kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang berbudaya, yang mampu berpikir rasional, yang memahami hak asasi manusia. "Inggris kita linggis" bagi saya adalah metafora untuk menghancurkan mentalitas kolonialisme yang ditanamkan Inggris, mentalitas inferioritas yang meracuni bangsa kita. "Amerika kita setrika" adalah metafora untuk merapikan tatanan dunia yang timpang karena dominasi kekuatan besar, melalui jalur diplomasi dan hukum internasional. Kita harus membangun solidaritas internasional dengan bangsa-bangsa tertindas lainnya, mencari dukungan moral dan politik, menunjukkan kepada mereka bahwa kita adalah mitra yang setara, bukan objek yang bisa dieksploitasi.
Perdebatan Keras II: Kekuatan Fisik vs. Kekuatan Pikiran
Tan Malaka: (Tertawa sinis) Bung Syahrir, Anda bicara seolah-olah dunia itu forum debat kampus! Barat tidak akan mendengarkan argumen moral Anda tanpa melihat kekuatan nyata di belakangnya! Mereka hanya menghormati kekuatan fisik dan ekonomi, bukan etika atau keadilan! Bicara soal "mentalitas kolonialisme" itu benar, tapi bagaimana cara menghancurkannya tanpa aksi revolusioner yang nyata? Mentalitas itu akan runtuh jika penjajahnya sudah terusir!
Sutan Syahrir: (Tidak terpancing, tetap tenang) Bung Tan, revolusi fisik tanpa revolusi pikiran hanya akan melahirkan tirani baru! Kekuatan bukan hanya senjata. Kekuatan terbesar adalah pemikiran yang jernih dan kesadaran rakyat yang tercerahkan. Jika rakyat kita cerdas, jika mereka memahami hak-hak mereka dan kebobrokan kolonialisme, maka mereka sendiri akan menolak dengan sendirinya, tanpa perlu komando dari atas. Revolusi mental itu lebih fundamental daripada revolusi fisik. Kita harus membebaskan pikiran rakyat dari belenggu ketakutan dan kebodohan yang ditanamkan penjajah!
Mohammad Hatta: Saya sependapat dengan Syahrir dalam hal ini. Pendidikan dan penguatan mentalitas itu esensial. Bagaimana kita bisa mandiri jika mental kita masih inlander, merasa rendah diri di hadapan Barat? Perlawanan ekonomi, membangun koperasi dari bawah, itu juga bagian dari mengikis mentalitas ketergantungan dan membangun harga diri bangsa. Tanpa mental yang kuat, kemerdekaan hanya akan jadi formalitas.
Haji Agus Salim: (Menyela dengan bijaksana, namun tegas) Saudara-saudara sekalian, perlawanan kita bukan hanya soal fisik atau ekonomi semata. Ia adalah perlawanan jiwa. Kezaliman Barat itu berakar dari kesombongan, keangkuhan, dan jauhnya mereka dari nilai-nilai kemanusiaan sejati. Kita harus menunjukkan kemuliaan akhlak kita, persatuan kita yang dilandasi iman, itu yang akan menggoyahkan mereka lebih dari sekadar peluru atau argumen. Penjajah punya senjata, tapi kita punya kebenaran!
Moderator: Sebuah perspektif yang menekankan sisi intelektual dan moral. Terakhir, Bung Haji Agus Salim, bagaimana pandangan Anda tentang nasionalisme dan perlawanan, terutama dari kacamata Islam?
Haji Agus Salim: (Menyeka janggut putihnya, bijaksana, namun nadanya menguat) Nasionalisme itu fitrah, kecintaan pada tanah air. Tapi cinta itu harus dilandasi tauhid, keesaan Tuhan. Perlawanan kita terhadap Barat adalah perlawanan terhadap kezaliman, keserakahan, dan kemusyrikan yang mereka bawa. "Inggris kita linggis" berarti kita harus membongkar habis-habisan sistem hukum dan ekonomi yang mereka bangun atas dasar ketidakadilan. "Amerika kita setrika" berarti kita harus meluruskan keangkuhan dan arogansi yang mereka miliki sebagai bangsa adidaya. Kita harus mengedepankan akhlak, diplomasi yang santun namun tegas, dan kebenaran yang bersumber dari Ilahi. Kekuatan kita bukan hanya pada senjata atau argumen semata, tapi pada keimanan dan persatuan umat yang kokoh. Kita harus membuktikan bahwa Islam tidak bertentangan dengan kemajuan, melainkan justru mendorongnya, Bung!
Perdebatan Keras III: Agama dan Ideologi Nasionalisme
Soekarno: (Mencondongkan tubuh ke depan, sedikit kurang sabar) Bung Haji, saya menghargai keyakinan Anda yang tulus. Tapi nasionalisme harus melampaui sekat-sekat agama! Kita ini beragama, ada Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan keyakinan lain! Persatuan kita adalah di bawah panji Pancasila, bukan satu agama tertentu! Bagaimana kita bisa melawan Barat jika kita masih terpecah belah oleh perbedaan keyakinan kita sendiri? Bukankah itu yang diinginkan penjajah?! Jangan sampai nasionalisme kita tersandera oleh dogma!
Haji Agus Salim: (Menatap Soekarno dengan tenang namun tajam) Bung Karno, saya setuju persatuan itu mutlak. Namun, nilai-nilai universal Islam itu justru menguatkan nasionalisme! Islam mengajarkan keadilan, persaudaraan, dan perlawanan terhadap kezaliman. Ini bukan soal memaksakan satu agama, tetapi mengambil hikmah dari ajaran agama untuk memperkuat karakter bangsa! Iman itu benteng moral kita melawan godaan Barat yang materialistis dan merusak akhlak! Tanpa moralitas yang kokoh, nasionalisme hanya akan jadi slogan kosong!
Tan Malaka: (Menyambar, menunjuk ke Soekarno dan Haji Agus Salim) Pak Haji, Bung Karno, dengan segala hormat, fokus pada agama atau ideologi Pancasila yang muluk-muluk itu bisa mengaburkan esensi perjuangan kelas! Penindasan itu tidak pandang agama atau suku! Yang kaya menindas yang miskin, apapun agamanya! Kita harus bersatu sebagai kelas tertindas, bukan berdasarkan iman atau ideologi yang justru bisa memecah belah! Perut yang lapar tidak peduli agamanya apa, ia hanya butuh makan!
Sutan Syahrir: (Menambahkan dengan suara lembut tapi menusuk) Bung Tan, Anda mereduksi manusia hanya pada perutnya. Manusia bukan hanya materi. Pembebasan sejati adalah pembebasan jiwa dan pikiran. Dan Bung Haji, agama tanpa kemajuan dan rasionalitas bisa menjadi belenggu. Nasionalisme harus maju, progresif, dan melihat ke depan, bukan hanya ke belakang atau ke dalam dogma.
Haji Agus Salim: (Menggeleng pelan) Bung Tan, Bung Syahrir, janganlah kita mereduksi perjuangan ini hanya pada materi atau akal semata. Manusia bukan hanya perut dan akal, ia punya jiwa. Dan jiwa itu butuh pegangan. Tanpa pegangan moral yang kuat, semangat perlawanan akan mudah goyah di tengah badai godaan Barat! Agama itu sumber kekuatan moral!
Moderator: Luar biasa. Dari diskusi ini, kita bisa melihat beragam spektrum pemikiran tentang nasionalisme dan perlawanan, yang kadang bergesekan tajam, namun memiliki tujuan akhir yang sama: kemerdekaan. Ada yang menekankan radikalisme, ada yang diplomasi, ada yang ekonomi, ada yang intelektual, dan ada pula yang moral-religius. Namun, benang merahnya adalah keinginan kuat untuk kedaulatan dan kemandirian bangsa. Bung-bung, ada komentar penutup?
Soekarno: (Tersenyum lebar, menyapu pandangan ke semua) Ingatlah, Saudara-saudari! Perjuangan kita belum selesai. Semangat "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika" harus terus menyala, dalam bentuk yang relevan dengan zaman. Artinya, kita tidak boleh membiarkan diri kita didikte oleh kekuatan manapun, baik dari Barat maupun dari ideologi yang memecah belah kita! MERDEKA!
Mohammad Hatta: Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam perut dan pikiran rakyat. Mandiri adalah harga mati, dan itu dicapai dengan perencanaan yang matang, bukan gegabah.
Tan Malaka: Jangan pernah lengah, kawan-kawan! Musuh kita selalu berevolusi, licik dan ganas! Tetaplah radikal dalam semangat, cerdas dalam strategi, dan jangan pernah berhenti bergerak!
Sutan Syahrir: Pikiran yang merdeka adalah senjata paling ampuh. Teruslah belajar, teruslah berbenah diri, dan tunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang berpikir maju.
Haji Agus Salim: Taqwa dan ukhuwah adalah kunci kemenangan abadi. Dirikanlah keadilan di atas bumi ini, dengan moral dan iman sebagai pondasinya.
Moderator: Sebuah penutup yang sangat menginspirasi dari para pahlawan bangsa. Terima kasih banyak atas waktu dan pemikiran Bung-bung sekalian. Diskusi ini telah membuka banyak mata tentang kompleksitas perjuangan kemerdekaan kita.