11 September 2010

opini musri nauli : ETIKA PRAJURIT BERDEMOKRASI


Akhir-akhir ini kita mengikuti diskusi tentang opini Kol. Adji Suaji. Seorang perwira menengah di angkatan laut. Yang ditulisnya tidak Ada yang istimewa selain dari "lambannya" SBY dalam memimpin Republik ini. 

Penulis sengaja mengatakan tidak ada yang istimewa, karena yang disampaikan sudah sering disampaikan berbagai pihak. Bail pengamat politik, aktivis, mahasiswa, apalagi sebagian masyarakat. 

 Sekedar catatan, publik mudah mengingatnya, disaat upaya "penggembosan KPK", SBY berlindung dengan membentuk Tim 8 yang bertugas Menyelesaikan kisruh KPK. Publik menduga-duga adanya skenario "kriminalisasi" KPK. 

Sehingga bisa dimengerti apabila kemudian, SBY cenderung lambat,, peragu, tidak tegas. Kampanye ini sudah disampaikan, namun popularitasnya terlalu tinggi untuk diikuti kandidate lainnya. 

Maka kita tidak bisa berharap banyak disaat berkonflik dengan Malaysia, Indonesia seperti ayam kehilangan induk. Bingunh, celengak-celinguk, tidak tahu mesti berbuat apa. 

Sejarah Indonesia sebagai bangsa besar baik dalam sejarah Majapahit, Sriwijaya, Dan peristiwa revolusi fisik, hilang ditelan sejarah. Hilang pamor. 

Semuanya disebabkan karena kita dipimpin seorang peragu. Dari titik ini, tidak Ada yang istimewa Dari opini yang disampaikan. 

Sama sekali tidak. 

 Mempersoalkan Bungkus daripada isi. 

 Sebagian kalangan sepakat dengan opini yang disampaikan. 

Opini yang disampaikan sebagai bentuk kontrol Dari berbagai lapisan masyarakat yang menginginkan agar Indonesia tidak terjatuh kedalam kediktatoran. 

Publik masih terekam jelad, bagaimana Soeharto yang begitu perkasa menguadsi Indonesia. Semuanya bermula karena tidak adanya kontrol 

Dari lapisan masyarakat. Dari titik inilah, suara kontrol Dari publik diperlukan. Sehingga pendapat yang mendukung opini ini harus dilihat bagaimana kritik itu diletakkan pada konteksnya. Bukan dilihat siapa yang menyampaikannya. 

Istilah ketrnnya, jangan mempersoalkan bungkus daripada isinya. Etika Prajurit. Menjadi pertanyaan serius, apakah yang dilakukan Perwira Angkatan Laut bertentangan dengan berbagai peraturan, lode etik Dan berbagai ketentuan prajurit. 

Atau dengan kata Lain, apakah Ada upaya serius terhadap kesalahannya. Dalam berbagai diskusi di milist dan di dunia Maya, sebagian kalangan menganggap telah melakukan kesalahan serius. Sebagian kalangan menganggap tidak Ada kesalahan yang serius. 

 Namun yang mengganggu prmikiran penulis, ukuran yang digunakan adalah etika. Dalam definisi yang lain menggunakan pendekatan "pantas atau tidak". 

Dari titik inilah penulis akan menyoroti persoalan ini. Diskusi mengenai etika selain dilihat dari ukuran "pantasatau tidak" juga dipengaruhi nurani. 

Dari titik inilah mengapa ukuran Etika berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Terlalu banyak contoh perbedaan budaya yang membuat etika menjadi berbeda. Namun yang pasti, nilai yang dikandung dari sebuah nilai yang disepakati mempunyai ukuran yang sama. 

Pantas atau tidak. Menggunakan pendekatan inilah, pertanyaan selanjutnya, apakah "pantas atau tidak" dari penulisan opini. 

Pertanyaan pertama, apakah pantas ?. Menurut penulis, menggunakan pendekatan "pantas" terlalu sederhana melihatnya. 

Dengan gampang kita menemukan jawabannya, bahwa tidak “pantas” seorang Prajurit menulis di kolom opini harian nasional dan mengkritik komandan tertingginya (baca Panglima Tertinggi). 

Ukuran tidak “pantas” tentu saja dengan mudah kita alamatkan kepada penulis yang tidak berkepentingan untuk menulis di kolom opini. 

Dari ranah ini, maka ada pelanggaran etika oleh prajurit. Namun mengukur “etika” dengan pendekatan “pantas” dan tidak, harus dilihat juga, ukuran mana yang dilanggar oleh etika itu. 

Apakah adanya pelanggaran secara serius terhadap Sapta Marga, UU atau hanya berkaitan dengan disiplin ? 

 Didalam Sapta Marga dengan mudah kita akan mendudukkan “etika” yang dilanggar karena dianggap tidak “menjunjung Tinggi” kehormatan Pimpinan dan Prajurit. 

Lalu, apakah dengan ukuran itu, maka telah dilakukan pelanggaran etika ? Dari ranah, ini justru menimbulkan persoalan apakah memang telah dilakukan pelanggaran “etika”. 

Perdebatan panjang akan mudah kita temukan, bahwa disatu sisi ada kalangan yang mengganggap adanya “pelanggaran”, namun disatu sisi, ada sebagian kalangan yang menanggap bahwa tidak adanya pelanggaran etika baik karena “adanya jaminan konstitusi” hak mengeluarkan pendapat (freedom expresition). 

Dari ranah ini, perdebatan yang timbul justru akan menimbulkan persoalan dalam persoalan “etika”. 

Dari titik ini, maka ukuran “etika” menjadi persoalan subyektif yang tidak akan sama antara satu dengan yang lain. 

Padahal sudah kita sepakati, bahwa ukuran “etika” bukan dilihat dari subyektif seseorang (yang tentu saja banyak dipengaruhi pengetahuan, hidup, ukuran moral dan sebagainya) tapi karena “etika” itu disepakati. 

Dari titik ini, maka secara tegas penulis menyatakan, bahwa terhadap penulisan opini di harian nasional “belum” menjadi persoalan “etika”. Seharusnya selain nurani yang mengatakan "tidak pantas", ukuran yang juga digunakan adalah disiplin. Disiplin yang dimaksudkan, apakah dapat dibenarkan " seorang prajurit" mengkritik "panglima tertinggi" ? 

Maka menurut penulis, ukuran terhadap opini prajurit bukanlah dengan ukuran etika "pantas atau tidak" tapi adalah disiplin yang dilanggar oleh prajurit itu.