16 September 2010

opini musri nauli : WATAK KEKERASAN - WAJAH KITA


WATAK KEKERASAN - WAJAH KITA 

Belum hilang “suasana Idul Fitri”, kita dikejutkan bentrokan warga antar desa. 
Bukan sekali dan di satu daerah, tapi dua peristiwa dan berbeda di daerah. Pertama Bentrokan antara warga Desa Pagar Puding dan Desa Sungai Rambai, Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo Selasa dan bentrokan Desa Buluh Kasab dengan Desa Kembang Sri Kecamatan, Kecamatan Maro Sebo Ulu (MSU) Kabupaten Batanghari. 

Tiga rumah rusak dan dua warga luka-luka dalam kejadian itu. Untungnya tak ada korban jiwa. dipicu oleh tawuran antarpemuda kedua desa yang terjadi pada Senin (13/9) malam. 

 Idul Fitri yang diharapkan dapat menjadi “self defensif” untuk mengontrol emosi dan kemarahan ternyata meledak dengan terjadinya dua peristiwa. Menjadi pertanyaan mengganggu, Apa yang salah ? 

Mengapa Idul Fitri tidak bisa menjadi dasar “self defensif” ? 

SEJARAH KEKERASAN 

 Kekerasan (bahasa Inggris: Violence ejaan Inggris: [/vaɪ(ə)lənt/] berasal dari (bahasa Latin: violentus yang berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa) adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi yang merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini. 

 Kekerasan antara lain dapat pula berupa pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan - hingga batas tertentu - kepada binatang dan harta-benda. Istilah "kekerasan" juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk —kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak —seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme. 

Sejak Revolusi Industri, kedahsyatan peperangan modern telah kian meningkat hingga mencapai tingkat yang membahayakan secara universal. 

Dari segi praktis, peperangan dalam skala besar-besaran dianggap sebagai ancaman langsung terhadap harta benda dan manusia, budaya, masyarakat, dan makhluk hidup lainnya di muka bumi. 

 Secara khusus dalam hubungannya dengan peperangan, jurnalisme, karena kemampuannya yang kian meningkat, telah berperan dalam membuat kekerasan yang dulunya dianggap merupakan urusan militer menjadi masalah moral dan menjadi urusan masyarakat pada umumnya. 

 WATAK KEKERASAN Rezim 

orde baru adalah rezim yang paling banyak meninggalkan kekerasan dalam setiap sendi kehidupan. 

Berbagai kebijakan penguasa Orba pada gilirannya berlandaskan pada prinsip keamanan politik. Inisiatif kritis lokal dipandang sebagai tindakan subversif dan ancaman terhadap integrasi nasional. 

Orba mengontrol proses kritis melalui lembaga negara. Lembaga militer mengawasi aktivitas masyarakat dari tingkat propinsi sampai ke tingkat desa. Lembaga militer dan aparatnya mengawasi berbagai aktivitas dari mengedit naskah pengajian sampai dengan mengawasi acara pertemuan warga. 

Sebagian kalangan menyebutkan dengan istilah pendekatan keamanan tradisional/tradisional security (Sosiologi Konflik, Novri Susan, 2010) 

 Dalam berbagai analisis, Orde baru “berhasil” menurunkan dan mewariskan watak kekerasan ke berbagai lapisan masyarakat. 

Hampir praktis, setiap perbedaan pandangan, kemajemukan, sikap kritis selalu diselesaikan dengan “kekerasan”. Kekerasan merupakan wajah Indonesia pasca lengsernya orde baru. 

Rasanya masih ingat dalam ingatan kita, ketika kekerasan fisik di salah satu sekolah tinggi di Jakarta. Sekolah tinggi yang mengaku akan mendidik Pamong ternyata menggunakan cara-cara kekerasan yang diluar batas kemanusiaan. 

Cara-cara ini sebenarnya mengulangi cara-cara sebelumnya yang mengakibatkan kematian terhadap mahasiswa. 

Catatan kelam ini kemudian berulang dan diliput media massa. Kekerasan yang dilakukan orde baru, tidak bisa dipisahkan dari kejadian seperti kerusuhan Dilli, 1991, Lampung 1989, Petrus 1978-79, Malari 1994, termasuk kerusuhan Mei berdarah 13-14 Mei 1998. 

Masih banyak catatan sejarah kelam di Indonesia yang tidak bisa dipisahkan dari kekerasan orde baru. Kekerasan orde baru di alam reformasi pun masih terjadi. 

Peristiwa Simpang V Aceh 2001, konflik Poso, berlarut-larutnya masalah di Papua membuktikan bahwa orde baru meninggalkan kekerasan. 

Peristiwa Tanjung Priok 12 April 2010 adalah bukti termuktahir kekerasan oleh negara warisan orde baru. Bahkan lahirnya berbagai milisi yang cenderung menggunakan kekerasan terhadap kelompok-kelompok prodem mengingatkan penulis sejarah teologi islam yang penuh benturan dan konflik. 

 Belum juga lepas dari ingatan kita, Indonesia kemudian diliput sebagai negara yang paling brutal dalam pertandingan sepakbola. Kerusuhan penonton disebabkan karena tim kesayangan gagal memenangkan pertandingan kemudian berdampak terhadap kekerasan massal. 

Pelemparan botol air mineral terhadap sesama penonton, perkelahian antara pendukung satu dengan yang lain, pemukulan pemain tamu, perusakan stadion, merusak kota, pelemparan kereta api dan berbagai macam bentuk kekerasan lain. 

Kita juga melihat bagaimana pedagang kaki lima diuber-uber “persis” anjing mengejar mangsanya. 

Televisi dengan gamblang menayangkan seorang ibu pedagang bakso yang panik diuber Satpol PP yang kemudian menyebabkan air panas tumpah dan menyebabkan anak balita kemudian tewas. 

Kita juga menyaksikan hampir setiap daerah peran Satpol PP yang bertindak “over” dan bertindak kekerasan. 

Dan kekerasan itu menjadi terekam dalam ingatan publik. Dalam sektor keagamaan, kekerasan berdimensi yang tidak terpisahkan. Penyerangan dan penusukan terhadap jemaat HKBP di Ciketing, Bekasi hari minggu yang lalu adalah peristiwa yang “paling” memalukan yang terjadi di Indonesia. 

Belum lagi Kasus Monas yang dilakukan oleh kelompok agama melakukan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap “murtad”. 

Kekerasan atas nama agama kemudian mengingatkan kita terhadap kekerasan dalam sejarah islam dalam “kudeta Kafilah” pasca Nabi Muhammad. Bahkan pada masa pasca Umar bin Khatab, dilanda kemelut kecemburuan sosial atas Kebijakan-kebijakan Usman sendiri yang dipandang lebih menguntungkan kerabat-kerabatnya. 

Akibat berlarut-larutnya konflik di tengah umat, Usman bernasib malang. Ia terbunuh oleh seorang yang tidak diketahui identatisnya dalam sejarah islam. (Didin Saefuddin Buchari, Sejarah Politik Islam). 

Inilah pembunuhan bermotif politik pertama dalam sejarah islam. Penggantinya, Ali bin Abi Thalib, ternyata tidak mampu memadamkan kemelut politik yang makin menyeruak hingga berakhir pada tragedi berdarah, yakni pembunuhan atas dirinya sendiri. 

 Sejarah teologi Islam memang penuh dengna perbedaan dan perpecahan. Bahkan tak segan-segan para teolog itu saling menuduh kafir, murtad dan zindiq (ateis) terhadap lawannya. Persoalan kafir mengafirkan atau caci maki itu berlanjut dengan pertumpahan darah (Aliran-aliran dalam Islam, Ahmad Sahidin, 2009). Kekerasan juga masuk kedalam sektor privat (baca rumah tangga). 

Matinya istri dari petinggi PSSI akibat dipukul menambah panjang kekerasan di Indonesia. (walaupun secara normatif, Indonesia mempunyai UU perlindungan KDRT, namun tidak banyak membantu menurunkan tingkat kekerasan dalam rumah tangga). 

 Sebelum Kerusuhan Tanjung Priok, “over akting” dari Satpol PP yang akan menggusur pemukiman China di Tangerang membikin kita berdegup. 

Pemukiman yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan China dan mempunyai sejarah panjang dengan akar China menemukan hipotesa yang tepat. Bahwa persoalan penting yang berkaitan dengan identitas Indonesia haruslah dikalahkan kepada hal-hal yang berkaitan semata-mata motif ekonomi. 

 Di lain peristiwa pertandingan antara Sriwijaya FC dan Arema Malang di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, diwarnai kericuhan para pendukung Arema. Ribuan suporter Aremania mengamuk setelah tim kesayangan kalah 1-2. 

Mereka mengadakan aksi bakar di stadion dan melempari wasit Jimmy Napitupulu dengan botol air mineral. Hampir setiap sektor kehidupan di Indonesia tidak terlepas dari kekerasan. 

Kita mencatat kekerasan oleh negara dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dengan Pemerintahan. 

 Dua peristiwa yang telah penulis uraikan menampakkan wajah generasi kita. 

Generasi yang frustasi dilihat dari jenis tuntutan moral merupakan salah satu indikator menurunnya moral didalam melihat dan mengkaji nilai-nilai religius dalam masyarakat. 

 Dengan menggunakan berbagai indikator, maka sudah tepat apabila dinyatakan bahwa “negara” (baca rezim orde baru) melakukan kekerasan dan mewariskan ke generasi. 

 Tipologi Kekerasan di Indonesia Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003) Kekerasan yang dilakukan perorangan perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya. Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh 

Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll.). Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.). 

Kekerasan dalam politik umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia. 

Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power), merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence) dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi. 

 Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical conflict) dan konflik antarnegara (interstate conflict). 

 SELF DEFENSIF 

 Ada persoalan yang mendasar. Ramadhan dan Idul Fitri sebagai bentuk “self defensif” seharusnya mampu meneladani dan “memaafkan” berubah arah. Ramadhan bukan rutinitas yang berulang terus menerus setiap tahun. 

“Cermin” yang dibersihkan dengan “zikir” harus dapat menahan godaan untuk melakukan dosa. 

“Cermin” ini harus dapat menilai dan memilah perbuatan dosa yang akan terjadi. 

“Cermin” itu harus mampu sebagai alat kontrol yang effektif untuk melakukan dosa. 

“Cermin” itu harus sebagai “self defensif” untuk melindungi diri dari dosa-dosa yang akan dilakukan. 

 Ramadhan yang seharusnya untuk membersihkan diri dan menjadikan “cermin” sebagai alat kontrol yang effektif dan “self defensit” ternyata Ramadhan kemudian berubah menjadi “ritual semu”. 

Ramadhan kemudian hanya berfungsi menjadikan “ritual” sebagai simbol semata. 
Ramadhan tidak mampu membersihkan “cermin” dan menjadi “self defensif”. 

Ramadhan hanya menjadikan bagian “ritual” perayaan yang jauh dari tercapainya Ramadhan itu sendiri. 

Ramadhan kemudian semata-mata melambangkan sikap pongah dan pamer kemewahan untuk melihat kesuksesan yang diraih. Ramadhan kemudian menjadi sebuah “ritual” yang menakutkan. 

 Begitu “perginya” Ramadhan, kita kemudian “berkubang” akan dosa. 

Ramadhan “tidak mampu” membersihkan “cermin” dan menjadi “self defenstif”. 

Ramadhan tidak mampu membuat umat Islam sebagai “rahmatanlil alamin” dan sebagai agama yang plural yang mampu menghormati kebebasan beribadah dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan. 

Ramadhan tidak mampu membuat umat Islam kembali sebagai sikap yang “tawaddu” dan “sederhana”. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 20-21 September 2010 
 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/15799-watak-kekerasan-wajah-kita-2.html