Nasib Ahmadiyah “ditentukan” habis lebaran ini. Dalam “polemik” akhir-akhir ini, diskusi
mengenai nasib Ahmadiyah ditentukan. Apakah “dibiarkan” atau “dibubarkan”.
Desakan berbagai pihak agar Ahmadiyah “dibubarkan”
mewarnai perdebatan politik nasional menjelang Idul Fitri berhimpitan “perusakan”
berbagai fasilitas Ahmadiyah termasuk Mesjid dan tempat-tempat publik lainnya.
Belum sempat “dieksekusi” nasib Ahmadiyah, Minggu
tanggal 12 September 2010, terjadi penusukan terhadap jemaat HKBP yang hendak beribadah di Ciketing, Bekasi. Peristiwa
yang merupakan konflik laten kemudian bergeser menjadi kekerasan antar agama.
Peristiwa di Bekasi memantik
argumentasi klasik, apakah tidak ada penghormatan terhadap perbedaan “keyakinan” di Indonesia. Peristiwa ini sekali
lagi memicu perdebatan klasik. “Kebebasan beribadah” (freedom of
religion)
Belum lagi adanya wacana terhadap
“pembubaran ormas” yang nyata-nyata
melakukan berbagai aksinya dengan anarkis. Wacana pembubaran ormas yang
nyata-nyata telah “meresahkan” dan
bertindak arogan yang bisa menentukan “benar
salah”.
Tiga peristiwa yang telah
dipaparkan menimbulkan perdebatan klasik. Apakah negara “berwenang” untuk menentukan “kebenaran”
suatu keyakinan ?
NEGARA DAN KEYAKINAN
Ahmadiyah “mengakui” dan mengikrarkan sebagai aliran dalam Islam. Ada prinsip yang penting
yang membuat sebagian umat Islam resah. Ahmadiyah mengakui Nabi Muhammad
sebagai “Khatamannabiyyin” sebagai
nabi termulia bukan penutup para Nabi dan Rasul.
Dalam bukunya “The Ahmadiyya Movement ini Islam Inc,
Karangan Louis J Hamman dinyatakan “bagaimanapun sampai umur 41 tahun, Harzat
Ahmad mulai menerima banyak wahyu yang membawanya pada keyakinan bahwa didalam
pribadinya telah genap datangnya Al-Mahdi”. Sedangkan didalam buku yang
dikeluarkan Jamaah Ahmadiyah berjudul “Perjalanan
Mirza Ghulam Ahmad”, dinyatakan “Tahun
1876 Ahmad berusia kurang lebih 40 tahun ketika ayahnya sakit, dan penyakitnya
tidaklah begitu berbahaya, Tetapi Allah menurunkan ilham ini kepada Beliau.
Pada tahun 1891, Harzat Ahmad
diberi ilham oleh Allah bahwasanya Nabi Isa yang ditunggu-tunggu kedatangannya
kedua kali itu telah wafat dan tidak akan datang lagi kedunia ini. Kedatangan
Nabi Isa kedua adalah orang lain yang akan datang dengan sifat dan cara seperti
Nabi Isa, Yaitu Hazrat Ahmad sendiri orangnya (www.assajjad,wordpress,com).
Begitu banyak pernyataan
Ahmadiyah yang mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasul penyebar ajaran Islam namun
hanya dinyatakan sebagai Nabi termulia. Sedangkan pertentangan antara sebagian
umat Islam dengan Ahmadiyah terletak pernyataan Ahmadiyah yang tidak
menempatkan Nabi Muhammad sebagai Penutup Para Nabi dan Rasul.
Lantas, apakah karena perbedaan
keyakinan antara umat Islam di Indonesia dengan Ahmadiyah, kemudian negara “berwenang” untuk intervensi menggunakan
SKB dan menyatakan Ahmadiyah “sesat”.
Dengan menggunakan ukuran “sesat”
kemudian negara menggunakan “kewenangannya”
menyatakan “membubarkan” Ahmadiyah ?
Dari ukuran yang “kewenangan” untuk menyatakan “sesaat” dan menggunakan “kewenangan” untuk “membubarkan” menimbulkan implikasi hukum yang serius. Pertanyaan
normatif adalah, apakah Negara mempunyai “kewenangan”
untuk menyatakan “sesat” dan “membubarkan” aliran suatu agama.
Penulis kesulitan untuk mencari apakah
ada atau tidak “kewenangan” negara
menyatakan “sesat” dan “membubarkan” suatu aliran agama. Dalam
diskursus hukum, Indonesia
sudah menempatkan diri sebagai negara yang bukan menganut paham agama (aristokratis) namun tidak juga anti
agama (atheis). Didalam pasal 29 ayat
(1) dinyatakan “Negara berdasar atas
Ketuhanan yang Maha Esa”. Dalam rumusan UUD 1945, rumusan penghormatan
agama dapat dilihat didalam pasal 29 ayat (2)
“Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu” Secara rinci dijelaskan didalam
pasal 28 E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali. Ayat
(2) Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
Dengan menggunakan diskursus
hukum, maka Indonesia
sudah menempatkan “posisi” yang
menghormati agama namun negara haruslah berjarak terhadap setiap agama sebagai
bentuk penghormatan dan perlindungan agama.
Menjadi persoalan bagi kita
semua, mengapa posisi “negara” yang
sudah menempatkan agama dan berjarak dengan setiap agama kemudian negara
dipaksa untuk berbuat kewenangan menyatakan “sesat” dan menyatakan “membubarkan”
setiap aliran didalam suatu agama. Menurut penulis, tidak ada “kewenangan” dari negara untuk menyatakan
“sesat” dan “membubarkan” suatu aliran agama.
KEBEBASAN BERAGAMA
Peristiwa terhadap jemaat HKBP di
Bekasi dan wacana pembubaran ormas yang nyata-nyata melakukan aksi-aksi
anarkisme menimbulkan persoalan konstitusi.
Apapun alasan dan atas nama
apapun, kekerasan “berkedok” agama
tidak dibenarkan di Indonesia.
Rumusan Konstitusi yang secara panjang lebar diuraikan didalam pasal 28 E dan
pasal 29 UUD 1945. Kekerasan “berkedok”
agama selain masih menggunakan cara-cara barbar (sebelum zaman modern), cara-cara ini bertentangan dengan keyakinan
seseorang terhadap suatu ajaran agama. Dengan menjunjung tinggi agama, Indonesia
harus membongkar dan mengusut terhadap pelaku kekerasan berkedok agama.
KONSTITUSI DAN FREEDOM OF
RELIGION
Namun, menyatakan ormas sebagai
organisasi yang sering melakukan kekerasan dan aksi-aksi anarkis dan kemudian
menyatakan “membubarkan” bertentangan
dengan konstitusi. Didalam rumusan pasal
28E dan pasal 29 UUD 1945, negara tidak mempunyai kewenangan untuk “membubarkan” organisasi yang terbukti
nyata-nyata melakukan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan haruslah dilihat
konteksnya. Bukan membubarkan organisasi sebagaimana didalam rumusan UU No. 5
Tahun 1985.
Kekerasan yang dilakukan oleh
masyarakat didalam aksi-aksi anarkisnya
haruslah dirujuk kepada ketentuan normatif didalam KUHP. Pelaku diseret dimuka
persidangan dan dipertanggungjawabkan.
Didalam rumusan ‘kekerasan” terhadap orang atau “orang”, yang dipertanggungjawabkan
adalah orang (naturalijk person).
Pertanggungjawaban badan hukum tidak dikenal dalam tindak pidana ini (recht person). Dengan demikian, maka
terhadap pelaku kekerasan haruslah diproses.
Namun yang terjadi justru adanya
upaya “pembiaran” dari aparat penegak
hukum terhadap aksi-aksi anarkis. Upaya pembiaran bisa dengan mudah kita lihat
di televisi, bagaimana aksi-aksi yang dilakukan dengan cara melempar,
memecahkan kaca, memporak-poranda di ruangan. Upaya “pembiaran” inilah kemudian yang ditangkap oleh media sebagai
aksi-aksi anarkis dan membuat para pelaku tidak dijerat dengan hukum normatif.
Aksi “pembiaran” kemudian digeser adanya upaya “pembubaran” organisasi. wacana pembubaran kemudian marak dan
menjadi titik perhatian nasional ketika Mendagri mewacanakan pembubaran
organisasi yang didalam kegiatannya nyata-nyata melakukan aksi-aksi anarkis.
Dari titik inilah, kemudian menimbulkan persoalan konstitusi secara serius.
Pertanyaan yang sama kita
tujukan, apakah negara mempunyai kewenangan untuk “membubarkan”. Bukankah yang harus dilakukan adalah mengusut para
pelaku “pengrusakan” dan
dihentikannya cara-cara “pembiaran”
oleh negara terhadap pelaku “kekerasan”.
Dengan melakukan pembubaran inilah, negara tidak mempunyai “kewenangan” untuk membubarkan organisasi
apapun yang nyata-nyata melakukan “aksi-aksi
anarkis”. Dengan demikian, sesungguhnya “kegagalan” negara untuk
“memproses” para pelaku “kekerasan” dan “pembiaran” oleh negara terhadap
“kekerasan” tidak mesti memberikan “wewenang” kepada negara untuk melakukan
“pembubaran” terhadap ormas itu. Sebuah Paradok yang aneh di zaman sekarang
ini.