01 Oktober 2010

MENUNGGU LANGKAH LAKSAMANA CHENG HO


Pertarungan Yusril dan Kejaksaan mengenai “legalitas” Jaksa Agung usai setelah MK memutuskan Hendarman Soepanji tidak sah (meminjam istilah Mahfud, MD, sejak tanggal 22 September 2010 pukul 14.35, Indonesia tidak mempunyai Jaksa Agung). MK berdasarkan kewenangan hukum kemudian memberikan pertimbangan dan “menyelesaikan” perdebatan panjang mengenai “keabsahan” Jaksa Agung. 

Perbedaan tajam antara menyatakan Hendarman Soepanji sah berhadapan dengan pendapat yang menyatakan Hendarman Soepanji tidak berwenang lagi sebagai Jaksa Agung. 

Terlepas dari perdebatan panjang tentang “legalitas” Hendarman Soepanji sebagai Jaksa Agung dan memaknai putusan MK, Hendarman Soepanji berdasarkan Keppres No. 104/2010 telah diberhentikan sebagai Jaksa Agung. 

Analisis mengenai “legalitas” Jaksa Agung sebelum putusan MK dan setelah putusan MK sudah banyak mewarnai perdebatan hukum. 

Namun publik menunggu langkah selanjutnya terhadap perkara yang berkaitan dengan Yusril Ihza Mahendra (YIM). 

Dalam wacana terkini, YIM mengeluarkan wacana “menghadirkan” saksi adecharge (saksi meringankan). Saksi yang dihadirkan Megawati Soekarnoputri (Waktu itu Wakil Presiden RI), Yusuf Kalla (Menko Kesra), Soesilo Bambang Yudhoyono (Mentamben) dan Kwik Kian Gie (Menko Ekuin). Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie menyatakan kesediannya. 

Sedangkan Soesilo Bambang Yudhoyono belum mendapat tanggapan (istilah YIM, saya sudah menghubungi istana, namun belum ada konfirmasi kesediaan). 

Wacana yang digagas oleh YIM kemudian menimbulkan polemik. Sikap resmi kejaksaan Agung berdiplomasi dengan menyatakan akan mempelajari dan melihat keterkaitan dengan perkara pidana. 

Sementara sebagian petinggi Kejaksaan Agung (talkshow TV One) mengatakan, mengenai pemanggilan terhadap Soesilo Bambang Yudhoyono dianggap tidak perlu karena tidak ada hubungan dengan perkara ini. 

Dari wacana berkembang, polemik yang timbul didasarkan kepada “wewenang” dan “pembuktian”. Wewenang yang dimaksudkan, apakah hukum mempunyai wewenang untuk memanggil saksi yang dihadirkan oleh tersangka ? 

Sedangkan “pembuktian” didasarkan kepada kepentingan hukum dan kepentingan tersangka didasarkan kepada “pembelaan” terhadap tuduhan kesalahan. 

 ASAS PERSAMAAN DIMUKA HUKUM 

 Dalam suatu negara hukum semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). 

Negara melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakang, agama, jenis kelami, pekerjaan, ras, golongan, politik, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. 

Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment). 

Persamaan dihadapan hukum (equality before the law) adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. 

Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. 

 Pasal 28 D ayat 1, yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 

 Dengan mendasarkan kepada ketentuan konstitusi dan hak yang diberikan kepada tersangka/terdakwa untuk mendapatkan persamaan dimuka hukum ((equality before the law), didasarkan, selain tersangka/ terdakwa tidak dibebani pembuktian (pasal 66) tersangka mempunyai hak untuk membantah tuduhannya (hak ingkar). 

Tersangka/terdakwa mempunyai hak untuk mengajukan saksi/saksi ahli memberikan keterangna yang menguntungkan bagi dirinya (saksi ade charge/pasal 65). 

 Tersangka kemudian didalam pemeriksaannya menyebutkan saksi/saksi ahli yang dihadirkan (pasal 116 ayat 3) dan kemudian penyidik berkewajiban untuk memanggil saksi/saksi ahli yang dimintakan oleh tersangka (pasal 116 ayat 4) Dengan mendasarkan kepada konstitusi adanya persamaan dimuka hukum (equality before the law) dan hak tersangka menghadirkan saksi ade charge, maka tidak ada alasan apapun, penyidik berkewajiban memanggil saksi Soesilo Bambang Yudhoyono. 

Dengan pengaturan sebagaimana dijelaskan didalam pasal 65, pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), alasan Kejaksaan Agung akan melihat relevansi dengan perkara terhadap YIM tidak dibenarkan menurut hukum. 

 Pengabaian yang dilakukan penyidik yang tidak melakukan pemanggilan terhadap saksi/saksi ahli yang dimintakan oleh tersangka selain bertentangan dengan asas persamaan dimuka hukum (equality before the law), justru penyidik telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewenangannya. 

Perbuatan ini dapat mengancam terhadap proses hukum yang tidak fair dapat dikategorikan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. 

 PEMBUKTIAN KEPENTINGAN TERSANGKA 

 Namun yang paling serius pelanggaran konstitusi terhadap persamaan dimuka hukum (equality before the law), pengabaian hak-hak tersangka, justru tersangka tidak dapat membuktikan bantahan terhadap tuduhannya. 

Pembuktian terhadap bantahan oleh tersangka akan berakibat tidak dihormatinya asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence/ Ei incumbit probatio dicit, non qui qui nega). 

Padahal Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence/ Ei incumbit probatio dicit, non qui qui negat) sudah sejak lama dianut dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” 

Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence/ Ei incumbit probatio dicit, non qui qui negat) dianut pula Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP), dimana dalam Penjelasan Umum, butir 3.c menyatakan, ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” 

 Asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence/ Ei incumbit probatio dicit, non qui qui negat) merupakan turunan dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 

Dengan tidak memberikan melaksanakan hak-hak tersangka untuk menghadirkan saksi/saksi ahli yang meringankan (ade charge) justru pelanggaran serius, malah dapat dikategorikan asas “pra duga bersalah” atau “presumption of guilt”. 

Implikasi ini selain akan terjadinya peradilan sesat akan mengaburkan tentang tuduhan yang menimpa YIM. Dengan melihat konstitusi dan pengaturan hak-hak tersangka sebagaimana diatur didalam KUHAP, maka langkah “cerdas” YIM menyodorkan nama-nama saksi termasuk Soesilo Bambang Yudhoyono. Kita akan menunggu gebrakan dari Laksamana Cheng Ho. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 4 Oktober 2010