"Pemerintah masih setengah hati mengakui tanah adat, sehingga petani yang hidup di dalamnya sejak lama kehilangan lahan garapan dan mata pencaharian," kata aktivis senior Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi Musri Nauli SH ketika diminta tanggapannya di Jambi.
Pernyataan itu dilontarkankannya terkait keluhan ratusan petani dari Persatuan Petani Jambi (PPJ) yang menggelar aksi demo ke kantor Gubernur Jambi beberapa hari lalu.
Persoalan konflik lahan yang menyelimuti kehidupan petani Jambi hingga kini belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Musri pun mencontohkan, kasus lahan adat seluas 41 hektar yang dikeluhkan Syamsudin dari kelompok tani Panglima Berambai Kecamatan Mersam Kabupaten Batanghari, sementara di Kabupaten Muarojambi terjadi konflik lahan antara warga dengan sebuah perusahaan yang mencakup lahan seluas 5.200 hektare dan 3.060 petani nyaris kehilangan mata pencahariannya.
"Masih banyak lagi kasus lainnya.
Ini disebabkan keluarkannya izin hutan tanaman industri (HTI) tanpa mempertimbangkan hak ulayat masyarakat hukum adat," katanya.
Dalam penerbitan izin pengelolaan hutan, pemerintah mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang secara tegas mengakui hak adat. Bahkan lahan yang tadinya Areal Peruntukan Lahan (APL) dijadikan HTI, sehingga petani Jambi dirugikan.
Walhi Jambi mencatat ada 317 kasus konflik lahan terjadi sejak 2003, Sedangkan "Sawit Watch" mencatat ada 630 kasus. Data BPN di 2008 ada 8.000-an konflik. Sementara catatan KPA pada 2008 terjadi 1.753 konflik yang menyebabkan satu juta lebih kepala keluarga menjadi korban.
Akibat dari konflik-konflik tersebut yang hingga tidak tuntas dan belum ada upaya penyelesaian, telah menyebabkan timbulnya kemiskinan di kalangan petani, ujarnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Musri Nauli menyebutkan, luas lahan pertanian padi di Indonesia pada 2010 tinggal 12,8 juta hektare dengan jumlah Rumah Tangga Petani 28,3 juta dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare.
Berbagai riset menunjukkan, 48,8 juta orang tidak mendapatkan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam di dalam taman nasional yang mengakibatnya sekitar 10,2 juta termasuk miskin.
Luas tanah yang telantar mencapai 1.578.915,0620 Ha (BPN, 2007). Belum lagi konversi lahan pertanian.
Tahun 1993 menyebutkan di Jawa konversi lahan pertanian setiap tahun hampir mencapai satu juta hektare.
Ia menjelaskan, antara UUPA dengan undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan tidak sinkron sehingga menimbulkan benturan norma.
UU Kehutanan menyatakan hutan milik negara lantaran petani tidak dapat membuktikan secara tertulis lahan mereka.
UU Kehutanan disebutnya aturan khusus, sementara UUPA aturan umum, sehingga berlaku teori aturan khusus mengalahkan hukum umum, tambahnya. (ant)
http://www.radartanjab-news.com/berita-10975-petani-miskin-akibat-konflik-lahan-.html
http://pesonamediajambi.blogspot.com/2010/09/musri-nauli-sh.html