Penetapan Cirus Sinaga sebagai tersangka merupakan berita yang sudah lama ditunggu-tunggu publik ketika kasus Gayus merebak.
Gayus yang mengaku telah memberikan sejumlah uang kepada para penegak hukum, tidak berhasil menyeret CS dalam issu.
Sehingga sebagian kalangan menganggap CS begitu Jumawa sehingga tidak tersentuh hukum.
Sehingga berita menetapkan tersangka CS seakan-akan merupakan berita lama yang ditunggu publik.
Namun harapan publik harus diimbangi dengan konsekwensi hukum terhadap penetapan tersangka. Menurut penulis, penetapan tersangka CS harus dibaca sebagai upaya pemberantasan korupsi dan mafia hukum yang marak terjadi.
Penetapan tersangka harus juga dibaca sebagai upaya serius didalam memberantas oknum-oknum yang mencoba bermain-main dunia hukum. Upaya ini juga harus dibaca sebagai keseriusan aparat penegak hukum memproses siapapun yang terlibat dalam hukum.
Dalam bacaan penulis, menjadi persoalan yang serius ketika penetapan CS sebagai tersangka.
Dalam tuduhan perkara tindak pidana “pemalsuan surat”, menjadi persoalan, perbuatan “pemalsuan surat” dilakukan.
Apakah CS “memalsukan surat” untuk diperlihatkan kepada Gayus atau CS “memalsukan surat” Tuntutan yang kemudian dibacakan dimuka persidangan.
Melihat kronologis yang disampaikan di media massa, penulis berpendapat, bahwa “seakan-akan” CS memperlihatkan surat tuntutan “palsu kepada Gayus.
Perbuatan CS ini dilakukan selain sebagai bentuk CS “seakan-akan” menolong Gayus juga sebagai bentuk CS memang terlibat dari rangkaian jaringan membantu Gayus.
Namun, apakah dengan memperlihatkan “surat tututan” yang dituduh “palsu” sebagai perbuatan pidana ?
Didalam rumusan tindak pidana “pemalsuan surat” yang harus dibuktikan, “pemalsuan surat” menimbulkan implikasi yang serius.
Pasal 263 ayat (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Ayat (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Melihat rumusan pasal “pemalsuan surat” maka terhadap CS harus dibuktikan, rangkaian perbuatan yang dilakukan CS.
Mempertajam analisis yang sudah disampaikan, maka ada 2 rangkaian yang bisa dipersoalkan untuk memenuhi rumusan pasal yang dituduhkan.
Pertama, apakah CS “memperlihatkan” surat tuntutan kepada Gayus.
Kedua, apakah CS membacakan surat tuntutan yang berbeda dengan yang seharusnya ?
MEMPERLIHATKAN SURAT TUNTUTAN
Dari rangkaian yang bisa dipelajari, pertanyaan mengganggu, apakah CS dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dengan memperlihatkan surat Tuntutan kepada Gayus. T
Tentu saja tidak mudah mengkualifikasikan sebagai perbuatan pidana terhadap CS dengan “memperlihatkan” surat tuntutan kepada Gayus.
Dari ranah, sebenarnya lebih tepat CS dikategorikan melakukan perbuatan menyalahgunaan wewenang dengan membuka rahasia negara dengan memperlihatkan rencana surat tuntutan.
Surat tuntutan yang seharusnya merupakan dokumen resmi dijadikan dokumen negara untuk disampaikan dimuka persidangan.
Selain karena CS memperlihatkan surat tuntutan yang diduga “palsu”, perbuatan CS yang hanya memperlihatkan kepada Gayus tidak dapat memenuhi unsur didalam pasal 263 KUHP.
PEMALSUAN SURAT TUNTUTAN DIMUKA PERSIDANGAN
Pertanyaan kedua muncul. Apakah yang dibacakan CS surat tuntutan dimuka persidangan merupakan “surat palsu” untuk memenuhi ketentuan pasal 263 KUHP ?
Kejaksaan harus membuktikan, bahwa CS tidak membacakan surat tuntutan yang seharusnya dibacakan.
Namun secara hukum, apa yang telah dibacakan oleh CS tidak dapat dikategorikan sebagai “surat palsu”.
Selain karena dibacakan oleh pejabat resmi (Jaksa penuntut Umum) dan sah dibacakan dimuka persidangan. Surat dakwaan dan surat tuntutan merupakan pertimbangan hakim didalam melihat persidangan dan tentu saja merupakan bahan resmi persidangan yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengna yang lain.
Dengan demikian, pembacaan surat tuntutan dimuka persidangna tidak dapat dikategorikan sebagai “surat palsu”.
CS hanya dapat dikategorikan sebagai perbuatan “indispliner” tidak melaksanakan perintah pimpinan (tidak membacakan surat tuntutan yang seharusnya).
Dan perbuatan indispliner tidak dapat ditarik menjadi perbuatan pidana sebagaimana rumusan pasal 263 KUHP.
Dari rumusan yang telah dipaparkan, maka penetapan CS sebagai tersangka pasal 263 menimbulkan implikasi serius dalam pembuktian tindak pidana. Hukum memang harus memproses siapa saja yang terlibat dalam kejahatan.
Namun hukum tidak bisa diterapkan terhadap yang tidak melakukan perbuatan pidana.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 15 November 2010
http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/16886-pembuktian-surat-palsu.html