24 Januari 2011

opini musri nauli : Rencana Surat Tuntutan (Requisitioir)



Beberapa waktu yang lalu, dunia hukum dihebohkan “lambatnya” tuntutan (requisitoir) terhadap Bahasyim Assifie, mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta, seorang terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Peristiwa ini lebih dikenal dengan kasus “perpajakan”. 

Media hukumonline mengabarkan Terdakwa dijerat dengan dakwaan kumulatif. Pertama primer, Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

Subsider, Pasal 12 huruf e, lebih subsider Pasal 12 huruf b ayat (1), dan lebih-lebih subsider Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Kedua primer, Pasal 1 ayat (1) huruf b UU Tindak Pidana Pencucian uang (TPPU). Subsider, Pasal 3 ayat (1) huruf c UU TPPU. 

Penuntut yakin dakwaan pertama lebih-lebih subsider Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor dan dakwaan kedua primer dan subsider terbukti. 

Sementara dakwaan pertama primer, subsider dan lebih subsider tak memenuhi unsur. Konsentrasi penulis tidak terletak terhadap materi perkara yang berkaitan dengan dakwaan terhadap terdakwa. 

Tapi terletak kepada berbagai peristiwa “lambatnya” surat tuntutan terhadap terdakwa. 

Didalam media yang sama dikabarkan, adanya “kelambatan” dari Jaksa Penuntut Umum didalam membuat surat tuntutan (requisitooir). 

Dijelaskan Marwan, jaksa Fachrizal dinilai tidak profesional. Ada beberapa indikasinya. 

Pertama, seharusnya sedari awal Fachrizal sudah menyiapkan perangkat dan strategi untuk membuktikan dakwaan. Mulai dari penyiapan bukti dan saksi-saksi. “Harusnya perangkat itu sudah dia bikin saat akan mulai sidang. Sudah memasukan dakwaan, sudah memasukan transaksi, diakhir itu hanya tinggal analisisnya saja”. 

Kedua, masih kata Marwan, jaksa yang bersangkutan jarang sekali mendiskusikan kasus Bahasyim kepada rekan satu tim jaksa. Padahal, perkembangan dalam persidangan perlu disampaikan kepada tim yang nantinya akan ikut pula menangani persidangan. 

Ketiga, jaksa bersangkutan tak pernah membuat laporan harian persidangan. 

Persoalan pokoknya bukan berkaitan apakah jaksa tidak profesional atau tidak ? 

Namun, seringnya surat tuntutan yang “lambat” dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum. 

Alasan yang paling sering dikemukakan, rencana surat tuntutan belum turun. Dari sisi inilah yang membuat sidang menjadi molor dan berlaurt-larut. 

Rencana Tuntutan (rentut) bukanlah sebuah istilah yang baru dalam proses peradilan pidana. 

Rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh Kejaksaan sejak tahun 1985, yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985. istilah resmi dari Rentut, berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana. 

Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang jenis tindak pidanya sama. 

Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman(6) Memahami Rencana Tuntutan Kasus Pidana”, Tabloid Berita Mingguan, Modus Aceh Edisi 12 Tahun VII, Kamis 9 Juli 2009. 

Untuk tindak pidana umum, kriteria perkara penting yang harus melalui Rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor INS-004/J.A/3/1994 antara lain adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya, menggunakan modus atau arena yang canggih, menimbulkan banyak korban, berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah terjadi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat perhatian khusus pimpinan. 

Sementara untuk tindak pidana khusus diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. 

Dalam SEJA keluaran tahun 1995 ini ditetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu perkara tindak pidana khusus itu harus melalui Rentut atau tidak yakni didasarkan pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan tersebut. 

Dalam kaitannya dengan apa yang diuraikan di atas, Andi Hamzah mengkritik, rentut berjenjang semacam itu hanya dikenal di Indonesia. 

Pola semacam itu membuka peluang adanya intervensi atasan. Jaksa itu mestinya independen Pasal 182 KUHAP memang tidak menyinggung adanya “kewajiban” penyampaian rentut kepada atasan JPU, hanya disebutkan, “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. 

Dari redaksi Pasal 182 KUHAP ini, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur Rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan. 

Namun prosedur rentut kebijakan internal Kejaksaan yang kemudian sering mengakibatkan persidangan berlarut-larut. 

Berlarut-larut persidangan selain merugikan terhadap kepentingan pihak yang berperkara di persidangan selain tidak adanya kepastian hukum juga mengakibatkan dilanggarnya asas KUHAP. KUHAP yang mengagungkan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. 

Padahal asas Asas peradilan cepat ditandai dengan (a) Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik. (b). Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik. (c). Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. (d). Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. 

Sedangkan Asas sederhana dan biaya ringan (a). Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi secara perdata oleh korban atas kerugiannya kepada terdakwa. (b). Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi. (c). Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat. (d). Meletakkan asas deferensiaasi fungsional agar perkara yang ditangani oleh aparat penegak hukum tidak terjadi tumpang tindih (overlapping). 

Sedangkan definisi lain menerangkan Asas peradilan cepat, Asas sederhana dan biaya ringan yaitu putusan dibawah ini tidak dapat dimintakan banding, dan ketentuan ini sangat menguntungkan terdakwa sekaligus merupakan acara yang sederhana, cepat dan biaya ringan. (Pasal 67). yakni : (a). Putusan bebas (vrijspraak), (b). Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging). (c). Kurang tepatnya penerapan hukum, dan d. Putusan pengadilan dalam acara cepat 

Dengan memperhatikan asas Asas peradilan cepat, Asas sederhana dan biaya ringan, maka prosedur Rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan haruslah dihapus. 

Selain tidak memberikan kemerdekan Jaksa Penuntut Umum didalam memberikan pertimbangan dalam surat tuntutannya (requisitoir) juga tidak membangkitkan profesionalisme Jaksa Penuntut Umum. 

Kemerdekaan dan profesionalisme Jaksa Penuntut Umum diharapkan dapat memulihkan pandangan publik terhadap aparatur penegak hukum. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 26 Januari 2011

http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/18122-rencana-surat-tuntutan-jaksa-penuntut-umum-requisitoir.html