20 Januari 2011

opini musri nauli : Konflik sengketa perkebunan kelapa sawit


Berita yang dimuat media massa Jambi begitu bombastis. Karang Mendapo mencekam. Tertembaknya masyarakat Karang Mendapo (Sarolangun) begitu menyentak dan menambah catatan hitam dalam persoalan pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. 
Jumlah korban di tengah masyarakat semakin menambah angka-angka statistik korban yang terjadi. 

Pembangunan kelapa sawit telah menimbulkan berbagai konflik. Baik konflik yang mengakibatkan vertikal seperti konflik antara pemilik tanah dengan perusahaan dan pemerintah daerah, juga menimbulkan konflik horizontal. Pemilik tanah satu dengan dengan pemilik tanah yang lain. 

Baik penduduk asli dengna penduduk pendatang. Ataupun sesama penduduk asli dan sesami penduduk pendatang. 

Bahkan menurut penulis, hampir praktis tidak ada daerah di jambi yang tidak lepas dari konflik. 

Dalam berbagai kesempatan, penulis selalu mengingatkan akan bahaya potensi yang akan meledak apabila konflik ini tidak dikelola dan diselesaikan. 

Dari data-data yang berhasil penulis kumpulkan, issu sejuta hektar pembangunan kelapa sawit yang merupakan program ambisius dari Gubernur Jambi awal tahun 2000 telah memantik protes berbagai kalangan. 

Walhi Jambi yang paling keras menentang program ini kemudian diprotes dan dianggap menghambat pembangunan dan pekerjaan dari Gubernur Jambi yang baru terpilih. 

Issu ini kemudian ditentang dan mendapat dukungan internasional. Internasional kemudian menentang dan kemudian menjadi agenda internasional. 

Program ini kemudian berhasil digagalkan dan merupakan prestasi tersendiri bagi Walhi Jambi. 

Namun, penghentian issu program sejuta hektar pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak serta merta pembangunan perkebunan kelapa sawit menjadi terhenti. 

Pemberian izin terhadap pembangunan kelapa sawit masih terus berlangsung dan menimbulkan konflik yang laten yang terus terjadi. 

Bahkan pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak menyelesaikan berbagai sengketa yang belum terselesaikan peninggalan pemerintahan orde baru. 

Dalam kesempatan ini, penulis akan mencoba menguraikan arsitektur konflik pembangunan kelapa sawit. 

Penulis menggunakan istilah arsitektur sebagai ilusi atraktif untuk menggambarkan bangunan konflik pembangunan kelapa sawit. 

Ilusi atraktif itu juga digunakan untuk memudahkan kita melihat persoalan itu secara lebih luas walaupun dari sudut pandang sederhana. 

Dalam deskriptif yang juga hendak dipaparkan, arsitektur yang dimaksudkan juga dilihat dari aktor yang berperan. 

Aktor yang terlibat konflik pembangunan kelapa sawit yaitu masyarakat pemilik tanah, perusahaan dan Pemerintah. 

Penulis hanya memberikan data-data sejak tahun 1998. 

Uraikan yang disampaikan tentu saja masih jauh dari pertanggungjawaban ilmiah untuk menggugat kebenarannya. 

Dan data-data yang penulis himpun merupakan data-data yang terserak di berbagai kliping dan terbitan internal yang memberikan konsentrasi terhadap konflik pembangunan kelapa sawit. 

Alasan penulisan data-data ini didasarkan kepada asumsi-asumsi. Asumsi pertama adalah masa reformasi. 

Masa reformasi dilihat komitmen pemerintah hasil reformasi untuk menyelesaikan persoalan masyarakat didalam menyelesaikan konflik terhadap pembangunan kelapa sawit. 

Asumsi kedua adalah media yang mulai tumbuh di Jambi. 

Setelah kelahiran pers jambi Independent, maka disusul penerbitan Jambi Ekspres, Posmetro dan Jambi Star. 

Dan tentu saja berbagai terbitan media mingguan seperti media jambi dan sebagainya. 

Asumsi ketiga, mulai maraknya konflik pembangunan kelapa sawit dan dan seringnya diberitakan aksi-aksi ataupun berita yang berkaitan dengna pembangunan kelapa sawit. 

Dari asumsi-asumsi itu, maka didapatkan data-data sebagai berikut. Arsitektur pertama adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. 

Pembakaran PT. DAS bulan November 1998 di Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung jabung (kemudian setelah daerah pemekaran bernama Tanjung jabung barat). 

Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora januari 1999 di Muara Bungo. September 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan Januari 2000 pembakaran PT. Jamika Raya di Muara Bungo. 

Bahkan pada April 2002 juga terjadi pembakaran PTPN VI di Bungo dan pembakaran PT. DIPP Desember 2006 di Sarolangun. 

Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. 

Yang pertama, bahwa hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. 

Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. 

Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. 

Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. 

Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. 

Artinya. Pemerintah setelah reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung membiarkan sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah lain. 

Dengan demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan tidak diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut. Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. 

Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal. 

Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah dengan perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum untuk dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat. 

Masyarakatpun tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang berkaitan dengan hukum. 

Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan semula. 

Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror dan ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. 

Cara-cara ini kemudian effektif dan berhasil untuk menggeser itu. Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. 

Cara-cara menggunakan hukum kepada para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum. 

Dalam putusan terhadap terdakwa pembakaran PT. KDA, PT. Jamika Raya dan PT. DIPP, semua pelaku diterapkan pasal 170 KUHP. 

Namun dalam menjatuhkan putusannya, sudut pandang hakim berbeda. Apabila dalam didalam pembakaran PT. Jamika dan PT. KDA, pelaku haruslah dibuktikan kesalahannya. 

Apabila pelaku tidak melakukan perbuatan, maka pelaku haruslah dibebaskan. Sedangkan apabila pelaku melakukan perbuatan maka pelaku haruslah dijatuhi hukuman. 

Namun berbeda dengan terdakwa dalam pembakaran PT. DIPP. Pengadilan Negeri Bangko ternyata melihat dari sudut pandang yang berbeda. 

Walaupun pelaku tidak melakukan perbuatan sebagaimana diatur didalam pasal 170 KUHP, namun pelaku mempunyai niat untuk melakukan dan tidak selesai karena bukan kehendak pelaku. 

Dengan demikian maka pelaku dapat dikenakan perbuatan percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 53 KUHP. 

Selain itu juga, terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya bisa saja dikenakan berbagai ketentuan lain seperti tuduhan membawa senjata tajam, penggelapan dan berbagai skenario untuk menjerat masyarakat dan mengkriminalisasi pelaku. 

Arsitektur selanjutnya menggunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan persoalan masyarakat. 

Cara-cara kekerasan cenderung digunakan sebagai langkah pragmatis terhadap pergumulan persoalan yang begitu akut. 

Penembakan, pemukulan, penangkapan, pembakaran merupakan cara yang digunakan selain untuk mempercepat penguasaan areal perkebunan milik perusahaan, cara ini juga digunkan bertujuan untuk menakut-nakuti penduduk. 

Cara ini cenderung effektif dalam jangka pendek namun menimbulkan problematika dan bom waktu dalam jangka panjang. 

Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. 

Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai. Faktor yang mempengaruhi digunakan cara ini antara lain. 

Pertama, perundingan antara masyarakat pemilik tanah dengan pihak perusahaan berlangsung alot dan tidak tercapai kesepakatan. 

Masyarakatpun jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Kedua. Pihak perusahaan menelantarkan perkebunan sawit. 

Baik karena memang ditelantarkan (pergantian manajement atau pergantian saham) juga karena perusahaan tidak terlibat lagi dalam pembangunan kelapa sawit. 

Baik karena sudah dicairkannya kredit perbankan ataupaun hanya mengejar komoditas kayu semata dalam tahap land clearing. 

Cara-cara ini yang masih trend dan digunakan pemilik tanah yang tanahnya dijadikan perkebunan kelapa sawit. 

Dari deskripsi sederhana yang telah penulis paparkan, penulis berkeyakinan, bahwa sengketa pembangunan perkebunan kelapa sawit masih terus terjadi dan terus berulang. 

Siapapun yang diberi amanat untuk menjalankan negara ini, baik sebagai kandidate anggota parlemen maupun sebagai kepala daerah sudah harus memprioritaskan untuk menyelesaikan sengketa ini. 

Maka menurut penulis, sudah saatnya agenda penyelesaikan sengketa pembangunan perkebunan kelapas sawit merupakan agenda yang diprioritaskan dalam Pilkada-pilkada lainnya. 

Dimuat Harian Posmetro, Jumat, 21 Januari 2011 http://www.metrojambi.com/opini/3555-konflik-sengketa-perkebunan-kelapa-sawit.html