Peristiwa Sidang Paripurna pembahasan
perubahan APBN 2012 (kemudian dikenal
sebagai politisasi issu) memberikan pelajaran penting. Partai politik (baik yang mendukung dan menolak kenaikan
BBM) menunjukkan diplomasi dan ”kepiawaian”
berpolitik. Terlepas dari ”nasib rakyat
ditentukan voting”, pilihan sikap politik (baik yang mendukung dan menolak kenaikan BBM) semata-mata sebagai
investasi politik menjelang Pemilu 2014.
Dari berbagai ”interupsi”, pernyataan dan sikap politik yang digambarkan partai
politik, terlalu banyak pelajaran yang dapat dipetik berdemokrasi sebagai
bagian dari proses demokrasi negara modern.
Sebagai partai oposisi, PDIP, Partai
Hanura dan Partai Gerindra mengambil sikap ”menolak
kenaikan BBM”. Investasi politik yang diharapkan ditunjukkan dengan tegas
tanpa berkompromi dan melunak apalagi mengalah terhadap usulan Pemerintah untuk
mengubah sikapnya.
Namun dalam implementasi dan cara
memperjuangkannya menggunakan perbedaan strategi. PDIP dan Partai Hanura
mengambil sikap walk out sebelum
dilakukan pemilihan opsi ”menolak atau
menerima kenaikan BBM”. Alasan mereka mengambil sikap walk out didasarkan sikap konsistensi mereka terhadap ”menolak kenaikan BBM”. Dari sudut
pandang ini, kita menghormati dan memberikan apresiasi terhadap sikap ”keukeh” PDIP dan Partai Hanura.
Cara berbeda dilakukan oleh Partai
Gerindra. Dengan alasan yang sama, tetap ”keukeuh”
sikap menolak kenaikan BBM, mereka bertarung didalam mengikuti mekanisme ”Voting” (walaupun memang disadari kalah).
Alasan mereka bertahan justru menegaskan sikap konsistensi Partai Gerindra ”menolak kenaikan BBM” dengan menyalurkan
aspirasi rakyat yang menolak ”kenaikan
BBM”. Sikap ini juga dilakukan PKS (sebelumnya
menawarkan ”solusi konstruktif”) namun kemudian menolak kenaikan BBM dan
mengikuti bertarung dalam voting.
Sementara Partai Demokrat sebagai rulling
party, ”idem ito” dengan tawaran
Pemerintah untuk perubahan APBN 2012. Sebagai Partai Rulling party, sikap ini harus dihormati. Namun sangat disayangkan,
argumentasi yang disampaikan oleh Partai
rulling party, alasan logis yang disampaikan oleh Partai Demokrat kurang
memberikan keyakinan dan sikap yang jelas yang ditangkap oleh rakyat. Berbeda
dengan penjelasan Jusuf Kalla ketika isu ”kenaikan
BBM” tahun 2008 dan konversi minyak tanah ke gas. Penjelasan Jusuf Kalla berhasil
diterima dan program tersebut kemudian sukses (terlepas dari ledakan tabung LPG 3 kg dan Bantuan Tunai Langsung).
Partai Golkar sebagai mitra strategis partai
koalisi cukup memainkan issu yang sangat strategis. Disatu sisi ”menolak kenaikan BBM” namun disisi lain
”mendukung kenaikan BBM” dengan
memberikan wewenang Pemerintah dengan prasyarat tertentu. Syarat itu kemudian ditentukan dalam pasal 7
ayat 6 ditambah ayat 6a, yang berbunyi, dalam
hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP)
dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15
persen, dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012,
Pemerintah berwenang melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan
pendukungnya.
Strategi ini cukup berhasil dan sedikit
meredam aksi-aksi penolakan disatu sisi namun disisi lain menyelamatkan ”Pemerintah”.
Namun
terlepas dari berbagai strategi yang dilakukan oleh Partai –partai politik di
sidang Paripurna pembahasan perubahan APBN 2012, catatan penting yang
terlupakan justru tidak dilakukan. PDIP, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS
yang menolak kenaikan BBM tidak melakukan ”minderheidsnota” terhadap ”voting” BBM. ”minderheidsnota merupakan hak anggota yang
menyatakan keberatan terhadap persidangan. Secara hukum, Kendati disertai ”minderheidsnota”, tidak menghalangi atau
membatalkan sebuah persetujuan yang telah disahkan oleh Qurom.
Dalam perjalanannya, banyak UU yang kemudian disertai ”minderheidsnota” yang kemudian diuji di
MK (judicial rewiew) menjadi
pertimbangan serius dari MK. UU PMA, UU Perkebunan, UU Air, UU Listrik, UU
Migas, adalah sebagian kecil dari jumlah UU yang disertai ”miderheidsnota”, kemudian dijadikan pertimbangan bagi MK untuk
dapat dibatalkan. Kitapun dengan mudah menyampaikan, ”miderheidsnota” merupakan pandangan kritis dari anggota parlemen. Namun pandangan kritis dari anggota
parlemen ”terkalahkan” dengan suara
mayoritas anggota parlemen lainnya.
Dalam kewenangan MK sebagai ”guardian of constution, MK
menjadikan ”minderheidsnota” sebagai bahan dalam melihat rumusan dengan UUD
1945.
”Minderheidsnota” dijadikan bahan bagi MK untuk
membatalkan pasal-pasal dari UU PMA, UU Perkebunan, UU Listrik dan UU Migas. ”Minderheidsnota” merupakan dokumen
penting dalam ”pertarungan” dan suasana perdebatan di parlemen dan history
dalam merumuskan hal krusial dari UU.
Namun sangat disayangkan, dalam sidang Paripurna APBN
2012, ”minderheidsnota” tidak dicantumkan. Padahal dengan adanya
”minderheidsnota” permohonan mengajukan judicial rewiew ke MK akan menjadikan
bahan pertimbangan bagi MK untuk dapat mengabulkan permohonan.
Dimuat di harian Jambi Ekspress, 4 April 2012
Dimuat di harian Jambi Ekspress, 4 April 2012
.