05 Mei 2012

opini musri nauli : KORUPSI DAN PEMBUBARAN PARTAI



Akhir-akhir ini kita menyaksikan ”drama” mendayu-dayu terhadap pembongkaran kasus korupsi yang melibatkan ”petinggi” Partai Demokrat. Drama ”mendayu-dayu”, ”seakan-akan energi bangsa Indonesia dikerahkan dan berkonsentrasi terhadap kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat (rulling Party).

Disebut ”petinggi” selain melibatkan Bendahara M. Nazaruddin (Terdakwa perkara korupsi Wisma Atlet), juga Angelina Sondakh (Petinggi Partai Demokrat, sekarang ditahan). Bahkan dalam berbagai kesempatan, baik penyidikan maupun proses persidangan, Nazaruddin kerap memberikan keterangan tentang keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Salah satunya, Anas dituding ikut menerima aliran dana korupsi itu untuk biaya pemenangannya sebagai ketua umum dalam kongres Partai Demokrat di Bandung 2010. (Republikaonline, 20 April 2012)

Terlepas dari hasil putusan Pengadilan, disebut-sebutnya ”dana” korupsi Wisma atlet yang ”mengalir” (berdasarkan kesaksian Mindo Rosa Manullang dan M. Nazaruddin ) ke Kongres menimbulkan persoalan yang sangat serius.

UU No 2 Tahun 2011 sebagai amandemen UU No. 2 Tahun 2008 telah tegas mengatur “dana” yang berkaitan keuangan partai. Pasal 34 ayat (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: (a). iuran anggota; (b). sumbangan yang sah menurut hukum; dan (c). bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.  Sedangkan Pasal 35 huruf (b) perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan (c). perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.

Sedangkan didalam pasal 40 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2008 secara tegas  “Partai Politik dilarang (b)  menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. (c). menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan

Dengan melihat rekonstruksi UU No. 2 Tahun 2011 dan UU No. 2 Tahun 2008, maka pembubaran partai didasarkan kepada sumbangan dana yang didapat “melebihi” senilai Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) untuk perseorangan bukan anggota partai politik dan Rp 7.500.000.000,- (tujuh milyar lima ratus juta rupiah) untuk perusahaan/badan usaha. Atau menerima sumbangan yang tidak sah menurut hukum.

Dalam ranah konstitusi, persoalan mengenai pembubaran partai politik mendapatkan porsi yang cukup serius. Didalam kewenangan MK, berdasarkan pasal 68 UU No. 8 Tahun 2011 sebagaimana amandemen UU No. 24 Tahun 2003 tentang kewenangan MK dijelaskan mengenai pembubaran partai politik.

Dengan melihat rumusan dan rekonstruksi yang telah dipaparkan, maka terhadap “dana” yang mengalir ke Kongres (bukan ke rekening Partai, atau partai menerima dari pihak lain) akan menimbulkan pembuktian terhadap partai yang menerima dana tidak sesuai dengan ketentuan.

Sebagaimana didalam keterangan sering disampaikan oleh Nazaruddin, namun Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak sepakat dengan keterangan Nazaruddin dalam persidangan bahwa uang hasil korupsi wisma atlet disalurkan untuk kongres Partai Demokrat.  Berdasarkan fakta persidangan, Nazaruddin terbukti menerima imbalan berupa lima lembar cek senilai Rp 4,6 miliar dari pemenang proyek wisma atlet, PT Duta Graha Indah (DGI). Padahal, cek tersebut diketahui Nazaruddin berkaitan dengan jabatannya selaku anggota DPR RI.

Putusan terhadap Mindo Rosa Manullang, M. Nazaruddin ”memang” belum dapat menjangkau Partai Demokrat yang dituduh menerima ”dana” tidak sebagaimana mestinya. Putusan terhadap Mindo Rosa Manullang, M. Nazaruddin hanya membicarakan ”korupsi” yang dilakukan oleh Mindo Rosa Manullang ataupun M. Nazaruddin. ”Nyanyian” M. Nazaruddin tentang Anas dituding ikut menerima aliran dana korupsi itu untuk biaya pemenangannya sebagai ketua umum dalam kongres Partai Demokrat di Bandung 2010 ”sama sekali ” tidak berkaitan dengan Partai. Putusan terhadap M. Nazaruddin menegaskan ”Nazaruddin terbukti menerima imbalan berupa lima lembar cek senilai Rp 4,6 miliar dari pemenang proyek wisma atlet, PT Duta Graha Indah (DGI). Padahal, cek tersebut diketahui Nazaruddin berkaitan dengan jabatannya selaku anggota DPR RI”.

Tentu saja lakon ini belum selesai. Tinggal kita menunggu persidangan ”Anggie” dan disebut-sebutnya Anas dalam perkara ini. 

Dimuat di Harian Posmetro, 5 Mei 2012

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/2667-korupsi-dan-pembubaran-partai.html?device=xhtml