Akhir-akhir ini kita menyaksikan ”drama”
mendayu-dayu terhadap pembongkaran kasus korupsi yang melibatkan ”petinggi”
Partai Demokrat. Drama ”mendayu-dayu”,
”seakan-akan energi bangsa Indonesia
dikerahkan dan berkonsentrasi terhadap kasus korupsi yang melibatkan Partai
Demokrat (rulling Party).
Disebut ”petinggi” selain melibatkan
Bendahara M. Nazaruddin (Terdakwa perkara
korupsi Wisma Atlet), juga Angelina Sondakh (Petinggi Partai Demokrat, sekarang ditahan). Bahkan dalam berbagai
kesempatan, baik penyidikan maupun proses persidangan, Nazaruddin kerap
memberikan keterangan tentang keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum. Salah satunya, Anas dituding ikut menerima aliran dana korupsi itu
untuk biaya pemenangannya sebagai ketua umum dalam kongres Partai Demokrat di
Bandung 2010. (Republikaonline, 20 April
2012)
Terlepas dari hasil putusan Pengadilan, disebut-sebutnya ”dana” korupsi Wisma atlet yang ”mengalir” (berdasarkan kesaksian Mindo Rosa Manullang dan M. Nazaruddin ) ke
Kongres menimbulkan persoalan yang sangat serius.
UU No 2 Tahun 2011 sebagai amandemen UU No. 2 Tahun 2008 telah tegas
mengatur “dana” yang berkaitan keuangan partai. Pasal 34 ayat (1) Keuangan Partai Politik bersumber dari: (a).
iuran anggota; (b). sumbangan yang sah menurut hukum; dan (c). bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Sedangkan Pasal 35 huruf (b) perseorangan bukan anggota Partai
Politik, paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per
orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan (c). perusahaan dan/atau badan
usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta
rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
Sedangkan didalam pasal 40 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2008 secara tegas “Partai Politik dilarang
(b) menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari
pihak mana pun tanpa mencantumkan
identitas yang jelas. (c).
menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan”
Dengan melihat rekonstruksi UU No. 2 Tahun 2011 dan UU No. 2 Tahun 2008,
maka pembubaran partai didasarkan kepada sumbangan dana yang didapat “melebihi” senilai Rp 1.000.000.000 (satu
milyar rupiah) untuk perseorangan bukan anggota partai politik dan Rp
7.500.000.000,- (tujuh milyar lima ratus juta rupiah) untuk perusahaan/badan
usaha. Atau menerima sumbangan yang tidak sah menurut hukum.
Dalam ranah konstitusi, persoalan mengenai pembubaran partai politik
mendapatkan porsi yang cukup serius. Didalam kewenangan MK, berdasarkan pasal
68 UU No. 8 Tahun 2011 sebagaimana amandemen UU No. 24 Tahun 2003 tentang
kewenangan MK dijelaskan mengenai pembubaran partai politik.
Dengan melihat rumusan dan rekonstruksi yang telah dipaparkan, maka
terhadap “dana” yang mengalir ke
Kongres (bukan ke rekening Partai, atau
partai menerima dari pihak lain) akan menimbulkan pembuktian terhadap
partai yang menerima dana tidak sesuai dengan ketentuan.
Sebagaimana didalam keterangan sering disampaikan oleh Nazaruddin, namun
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak sepakat
dengan keterangan Nazaruddin dalam persidangan bahwa uang hasil korupsi wisma
atlet disalurkan untuk kongres Partai Demokrat. Berdasarkan fakta persidangan, Nazaruddin
terbukti menerima imbalan berupa lima lembar cek senilai Rp 4,6 miliar dari
pemenang proyek wisma atlet, PT Duta Graha Indah (DGI). Padahal, cek tersebut
diketahui Nazaruddin berkaitan dengan jabatannya selaku anggota DPR RI.
Putusan terhadap Mindo Rosa Manullang, M. Nazaruddin ”memang” belum dapat menjangkau Partai Demokrat yang dituduh
menerima ”dana” tidak sebagaimana
mestinya. Putusan terhadap Mindo Rosa Manullang, M. Nazaruddin hanya
membicarakan ”korupsi” yang dilakukan
oleh Mindo Rosa Manullang ataupun M. Nazaruddin. ”Nyanyian” M. Nazaruddin tentang Anas dituding ikut menerima aliran
dana korupsi itu untuk biaya pemenangannya sebagai ketua umum dalam kongres
Partai Demokrat di Bandung 2010 ”sama
sekali ” tidak berkaitan dengan Partai. Putusan terhadap M. Nazaruddin menegaskan
”Nazaruddin terbukti menerima imbalan
berupa lima lembar cek senilai Rp 4,6 miliar dari pemenang proyek wisma atlet,
PT Duta Graha Indah (DGI). Padahal, cek tersebut diketahui Nazaruddin berkaitan
dengan jabatannya selaku anggota DPR RI”.
Tentu saja lakon ini belum selesai. Tinggal kita menunggu persidangan ”Anggie”
dan disebut-sebutnya Anas dalam perkara ini.
Dimuat di Harian Posmetro, 5 Mei 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/2667-korupsi-dan-pembubaran-partai.html?device=xhtml
Dimuat di Harian Posmetro, 5 Mei 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/2667-korupsi-dan-pembubaran-partai.html?device=xhtml