15 Agustus 2012

opini musri nali : BEBERAPA ALASAN MENOLAK PEMIKIRAN RATNA DEWI (Otokritik pemikiran dalam konsep “hak dipilih”).


BEBERAPA ALASAN MENOLAK PEMIKIRAN RATNA DEWI
(Otokritik pemikiran dalam konsep “hak dipilih”).
Musri Nauli*

Merupakan kehormatan bagi penulis, wacana diskusi yang penulis lontarkan dalam suatu kegiatan mendapatkan respon dari pejabat negara, Ratna Dewi, Ketua KPU kota. Kehormatan itu didasarkan ternyata berbagai wacana “kegelisahan” penulis menjadi kritik terhadap berbagai persoalan aktual.
Penulis tersentak, ketika koran Jambi Independent disodorkan oleh Dr. Bahder Johan Nasution pada saat di bandara Sultan Thaha Jambi yang memuat tulisan dari Ratna Dewi yang berjudul “Mantan Napi dan hak-hak yang dipulihkan (surat terbuka untuk Musri Nauli, SH). Kekagetan penulis disadarkan, selain wacana yang disampaikan penulis cukup lama (sekitar bulan April), penulis tidak menyangka, perdebatan waktu itu menjadi pemikiran dari Ratna Dewi untuk menulisnya. Tanpa mengurangi substansi yang disampaikan, perlu waktu yang cukup lama bagi penulis untuk menggali memori perdebatan waktu itu.

Selain itu juga, karena pada saat yang bersamaan, penulis harus menempuh mobilitas yang tidak cukup waktu untuk mengetik, penulis juga harus menggali berbagai informasi yang menurut penulis, Ratna Dewi “salah tangkap” terhadap paparan yang penulis sampaikan.

Sebelumnya, Dalam catatan penulis, polemik terhadap berbagai issu yang penulis lontarkan mengingatkan akan berbagai perdebatan dengna beberapa penulis.

Tahun 2000, penulis pernah berbeda pendapat dengan Thabrani M Sholeh SH, MH. Penulis ingat, pada waktu merebak kasus Soeharto, penulis berbeda pendapat secara tajam. Secara singkat suasana psikologis waktu itu, Soeharto diseret dimuka persidangan dengan berbagai tuduhan pidana. Namun pada waktu yang ditentukan, Soeharto tidak dapat hadir dengan alasan sakit. Proses pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. Disinilah perdebatan muncul. Thabrani M. Saleh menulis opini, kasus Soeharto sebaiknya dihentikan dengna ”pertimbangan sakit”. Namun penulis berpendapat berbeda. Soeharto tidak dapat dihentikan kasusnya dengan alasan sakit. Namun apabila terdakwa sakit, maka pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. Dan itu sudah ditentukan didalam KUHAP.  Secara hakiki itu perbedaan yang mendasar. Disatu sisi, beliau menganjurkan ”menghentikan perkara, namun disisi lain, penulis tidak sependapat. Alasan sakit hanya digunakan sebagai alasan untuk ”menghentikan” pemeriksaan terhadap Soeharto. Bukan menghentikan” perkara. (IN MEMORIAM Thabrani M Sholeh SH, MH, Jambi Ekspress, Maret 2012)

Begitu juga perdebatan penulis dengan Erdianto mengenai hukuman mati. Sebelumnya penulis menolak hukuman mati yang dimuat di Jambi Ekspress, 12 Oktober 2006 yang berjudul “Hukuman Mati dari Perspektif HAM”, yang kemudian ditanggapi oleh Erdianto Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli” yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2006. Penulis kemudian menanggapi “KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI (Otokritik Terhadap Hukuman Mati), Jambi Ekspres, 9 November 2006

Sampai sekarang perbedaan pandangan antara penulis dengan Erdianto mengenai hukuman mati masih menjadi perbedaan pandangan sekedar mewakili bagaimana dikalangan ahli hukum juga terbelah baik yang mendukung hukuman mati maupun ahli yang menolak hukuman mati.

Bahkan dalam kasus hukuman mati dalam kasus narkotika yang kemudian “digugat” di MK, hakim konstitusi juga terbelah. 4 orang yang menolak hukuman mati, dan 5 orang yang mendukung hukuman mati. Terlepas dari hukuman mati yang “dinyatakan” tidak bertentangan dengan konstitusi, perbedaan pandangan dalam hukuman mati merupakan warna tersendiri dalam khazanah ilmu hukum kontemporer yang secara prinsip tidak bisa dipersatukan.

Perdebatan dengan Dr. Helmi juga pernah terjadi mengenai ‘PENANGANAN PELAKU KAYU ILLEGAL” yang disampaikan oleh Helmi, SH. Secara ringkas perbedaan didasarkan kepada “barang bukti” yang menurut Dr. Helmi berdasarkan kepada UU Kehutanan, haruslah dirampas. Penulis berbeda pandangan dengan Dr. Helmi, selain terhadap barang bukti yang terdapat kepada pihak ketiga, maka dimungkinkan terhadap penerapan pasal 39 KUHP dan penghormatan konstitusi MK untuk melindungi barang milik.

Selain itu juga, penulis pernah berpolemik dengan Budi Setiawan dalam persoalan Unja yang dimuat tahun 2005-2006.

Jadi harus disadari, berbagai tulisan yang penulis sampaikan merupakan polemik yang harus disikapi secara obyektif dalam persoalan yang ditawarkan dalam issu hukum dan politik terkini.

HAK DIPILIH

Kembali kepada tulisan yang disampaikan oleh Ratna Dewi yang diberi judul “Mantan Napi dan hak-hak yang dipulihkan (surat Terbuka untuk Musri Nauli, SH)”.

Secara letterlejk, pemikiran ini pernah terjadi di KPU kota disaat, KPU kota menolak terhadap persyaratan Anas Bafadhal, calon anggota Partai Demokrat. KPU mendalilkan, Anas Bafadhal telah terbukti melakukan tindakan pidana (walaupun dihukum percobaan) yang ancamannya diatas 5 tahun atau lebih. Rumusan ini dikenal didalam pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008. (CATATAN HUKUM KASUS ANAS BAFADHAL Dimuat di Info Jambi online, tanggal 15 November 2008, http://infojambi.com/content/view/2592/101/lang,/

Penulis tersentak, ketika Anas Bafadhal kemudian ditolak.  Penulis berargumentasi, bahwa terhadap Anas Bafadhal tidak dapat diterapkan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008.

Apabila kita memaknai norma pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008, maka tafsiran gramatikal, Pasal 50 (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: (g). tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; sebagian kalangan menganggap Anas Bafadhal dapat saja digugurkan oleh KPU Kota. Perhatian pasal itu dengan lebih lengkap. Tafsiran terhadap “ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih” harus juga dilihat dari “tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara”.

Dengan demikian jangan semata-mata melihat dari “ancaman pidana” tapi juga apakah “menjalani dan dijatuhi hukuman pidana penjara”. Padahal sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terhadap Anas Bafadhal karena dijatuhi pidana bersyarat, maka Anas Bafadhal tidak pernah menjalani pidana penjara. Sehingga norma pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 tidak dapat diterapkan kepada Anas Bafadhal.

Selain itu juga, untuk mendukung argumentasi yang penulis sampaikan, maka menurut pasal 10 huruf b ayat (1), “Tidak ada perintah hakim didalam putusannya yang menyatakan terdakwa dicabut haknya baik baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih”.

Dengan semangat itulah, MK berdasarkan Putusan MK Nomor 04/PUU-VII/2009 kemudian “Mengelimir” 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008’

Dengan demikian, Putusan Pengadilan yang tidak pernah mencabut hak untuk dipilih tidak akan “diambil alih” oleh siapapun termasuk oleh kewenangan konstitusional oleh KPU berdasarkan Peraturan KPU No. 13 Tahun 2010.

KPU terlalu jauh melebihi wewenangnya “memutuskan” hak dipilih yang menurut hukum tidak dicabut oleh Pengadilan.

Oleh karena itu menurut penulis, norma itu haruslah diletakkan dalam konteks menciptakan keadilan bagi calon Legislatif. Menggugurkan “hak dipilih” sama juga tidak menghormati Pengadilan bertentangan dengan pasal 14 KUHP dan memberikan hukuman yang semestinya tidak boleh dilakukan KPU Kota Jambi yaitu mematikan hak politik yang mempunyai hak untuk dipilih sebagaimana didalam rumusan pasal 10 huruf b KUHP. Pemikiran Ratna Dewi telah memberikan hukuman yang bukan wewenang KPU mematikan hak politik. Oleh karena itu terhadap ketidakadilan yang terjadi, maka sudah semestinya haruslah dilakukan perlawanan menurut hukum.

Tanpa mengurangi paparan yang telah disampaikan oleh Ratna Dewi, hal menggembirakan bagi penulis berbagai wacana yang telah penulis sampaikan, baik forum-forum diskusi, opini di berbagai media massa semakin meyakini penulis, berbagai tema hukum menarik untuk didiskusikan dalam konteks kontemporer. Tema hukum yang bersentuhan dan berdampak kepada kehidupan rakyat banyak harus diberi ruang untuk dilihat dari berbagai aspek.

Berangkat dari pemikiran itulah, tulisan ini disampaikan untuk menggali lebih banyak lagi sudut pandang yang “mungkin” terlupakan (meminjam istilah Ratna Dewi, luput) dari penulis.


Advokat, Tinggal di Jambi