BEBERAPA ALASAN MENOLAK PEMIKIRAN RATNA DEWI
(Otokritik pemikiran dalam konsep
“hak dipilih”).
Musri Nauli*
Merupakan
kehormatan bagi penulis, wacana diskusi yang penulis lontarkan dalam suatu
kegiatan mendapatkan respon dari pejabat
negara, Ratna Dewi, Ketua KPU kota .
Kehormatan itu didasarkan ternyata berbagai wacana “kegelisahan” penulis menjadi kritik terhadap berbagai persoalan
aktual.
Penulis
tersentak, ketika koran Jambi Independent disodorkan oleh Dr. Bahder Johan
Nasution pada saat di bandara Sultan Thaha Jambi yang memuat tulisan dari Ratna
Dewi yang berjudul “Mantan Napi dan
hak-hak yang dipulihkan (surat terbuka untuk Musri Nauli, SH). Kekagetan
penulis disadarkan, selain wacana yang disampaikan penulis cukup lama (sekitar bulan April), penulis tidak
menyangka, perdebatan waktu itu menjadi pemikiran dari Ratna Dewi untuk
menulisnya. Tanpa mengurangi substansi yang disampaikan, perlu waktu yang cukup
lama bagi penulis untuk menggali memori perdebatan waktu itu.
Selain
itu juga, karena pada saat yang bersamaan, penulis harus menempuh mobilitas
yang tidak cukup waktu untuk mengetik, penulis juga harus menggali berbagai
informasi yang menurut penulis, Ratna Dewi “salah
tangkap” terhadap paparan yang penulis sampaikan.
Sebelumnya,
Dalam catatan penulis, polemik terhadap berbagai issu yang penulis lontarkan
mengingatkan akan berbagai perdebatan dengna beberapa penulis.
Tahun 2000, penulis pernah
berbeda pendapat dengan Thabrani M Sholeh SH, MH. Penulis ingat, pada waktu
merebak kasus Soeharto, penulis berbeda pendapat secara tajam. Secara singkat
suasana psikologis waktu itu, Soeharto diseret dimuka persidangan dengan
berbagai tuduhan pidana. Namun pada waktu yang ditentukan, Soeharto tidak dapat
hadir dengan alasan sakit. Proses pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan.
Disinilah perdebatan muncul. Thabrani M. Saleh menulis opini, kasus Soeharto
sebaiknya dihentikan dengna ”pertimbangan
sakit”. Namun penulis berpendapat berbeda. Soeharto tidak dapat dihentikan
kasusnya dengan alasan sakit. Namun apabila terdakwa sakit,
maka pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan.
Dan itu sudah ditentukan didalam KUHAP. Secara hakiki itu perbedaan yang
mendasar. Disatu sisi, beliau menganjurkan ”menghentikan
perkara, namun disisi lain, penulis tidak sependapat. Alasan sakit hanya digunakan sebagai alasan
untuk ”menghentikan” pemeriksaan
terhadap Soeharto. Bukan menghentikan”
perkara. (IN MEMORIAM Thabrani M Sholeh SH, MH, Jambi
Ekspress, Maret 2012)
Begitu
juga perdebatan penulis dengan Erdianto mengenai hukuman mati. Sebelumnya
penulis menolak hukuman mati yang dimuat di Jambi Ekspress, 12 Oktober 2006
yang berjudul “Hukuman Mati dari Perspektif HAM”, yang kemudian ditanggapi oleh
Erdianto Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang berjudul “Sekali
Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli” yang diterbitkan
pada tanggal 2 November 2006. Penulis kemudian menanggapi “KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI (Otokritik Terhadap Hukuman Mati),
Jambi Ekspres, 9 November 2006
Sampai
sekarang perbedaan pandangan antara penulis dengan Erdianto mengenai hukuman
mati masih menjadi perbedaan pandangan sekedar mewakili bagaimana dikalangan
ahli hukum juga terbelah baik yang mendukung hukuman mati maupun ahli yang
menolak hukuman mati.
Bahkan
dalam kasus hukuman mati dalam kasus narkotika yang kemudian “digugat” di MK,
hakim konstitusi juga terbelah. 4 orang yang menolak hukuman mati, dan 5 orang
yang mendukung hukuman mati. Terlepas dari hukuman mati yang “dinyatakan” tidak
bertentangan dengan konstitusi, perbedaan pandangan dalam hukuman mati
merupakan warna tersendiri dalam khazanah ilmu hukum kontemporer yang secara
prinsip tidak bisa dipersatukan.
Perdebatan
dengan Dr. Helmi juga pernah terjadi mengenai ‘PENANGANAN PELAKU KAYU ILLEGAL”
yang disampaikan oleh Helmi, SH. Secara ringkas perbedaan didasarkan kepada
“barang bukti” yang menurut Dr. Helmi berdasarkan kepada UU Kehutanan, haruslah
dirampas. Penulis berbeda pandangan dengan Dr. Helmi, selain terhadap barang
bukti yang terdapat kepada pihak ketiga, maka dimungkinkan terhadap penerapan
pasal 39 KUHP dan penghormatan konstitusi MK untuk melindungi barang milik.
Selain
itu juga, penulis pernah berpolemik dengan Budi Setiawan dalam persoalan Unja
yang dimuat tahun 2005-2006.
Jadi
harus disadari, berbagai tulisan yang penulis sampaikan merupakan polemik yang
harus disikapi secara obyektif dalam persoalan yang ditawarkan dalam issu hukum
dan politik terkini.
HAK
DIPILIH
Kembali kepada tulisan yang disampaikan oleh Ratna Dewi yang diberi judul “Mantan Napi dan hak-hak yang dipulihkan (
Secara
letterlejk, pemikiran ini pernah terjadi di KPU kota
disaat, KPU kota
menolak terhadap persyaratan Anas Bafadhal, calon anggota Partai Demokrat. KPU
mendalilkan, Anas Bafadhal telah terbukti melakukan tindakan pidana (walaupun
dihukum percobaan) yang ancamannya diatas 5 tahun atau lebih. Rumusan ini
dikenal didalam pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008. (CATATAN HUKUM KASUS ANAS BAFADHAL Dimuat di
Info Jambi online, tanggal 15 November 2008, http://infojambi.com/content/view/2592/101/lang,/
Penulis
tersentak, ketika Anas Bafadhal kemudian ditolak. Penulis berargumentasi, bahwa terhadap Anas
Bafadhal tidak dapat diterapkan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008.
Apabila
kita memaknai norma pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008, maka
tafsiran gramatikal, Pasal 50 (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan: (g). tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; sebagian kalangan
menganggap Anas Bafadhal dapat saja digugurkan oleh KPU Kota. Perhatian pasal
itu dengan lebih lengkap. Tafsiran terhadap “ancaman pidana penjara 5 tahun atau lebih” harus juga dilihat dari
“tidak pernah dijatuhi hukuman pidana
penjara”.
Dengan
demikian jangan semata-mata melihat dari “ancaman
pidana” tapi juga apakah “menjalani
dan dijatuhi hukuman pidana penjara”. Padahal sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, terhadap Anas Bafadhal karena dijatuhi pidana bersyarat, maka Anas
Bafadhal tidak pernah menjalani pidana penjara. Sehingga norma pasal 50 ayat
(1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 tidak dapat diterapkan kepada Anas Bafadhal.
Selain
itu juga, untuk mendukung argumentasi yang penulis sampaikan, maka menurut
pasal 10 huruf b ayat (1), “Tidak ada
perintah hakim didalam putusannya yang menyatakan terdakwa dicabut haknya baik
baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih”.
Dengan
semangat itulah, MK berdasarkan Putusan MK Nomor 04/PUU-VII/2009 kemudian “Mengelimir” 50 ayat (1) huruf g UU No.
10 Tahun 2008’
Dengan demikian, Putusan Pengadilan yang tidak pernah mencabut hak untuk dipilih tidak akan “diambil alih” oleh siapapun termasuk oleh kewenangan konstitusional oleh KPU berdasarkan Peraturan KPU No. 13 Tahun 2010.
KPU
terlalu jauh melebihi wewenangnya “memutuskan”
hak dipilih yang menurut hukum tidak dicabut oleh Pengadilan.
Oleh
karena itu menurut penulis, norma itu haruslah diletakkan dalam konteks
menciptakan keadilan bagi calon Legislatif. Menggugurkan “hak dipilih” sama
juga tidak menghormati Pengadilan bertentangan dengan pasal 14 KUHP dan
memberikan hukuman yang semestinya tidak boleh dilakukan KPU Kota Jambi yaitu
mematikan hak politik yang mempunyai hak untuk dipilih sebagaimana didalam
rumusan pasal 10 huruf b KUHP. Pemikiran Ratna Dewi telah memberikan hukuman
yang bukan wewenang KPU mematikan hak politik. Oleh karena itu terhadap
ketidakadilan yang terjadi, maka sudah semestinya haruslah dilakukan perlawanan
menurut hukum.
Tanpa mengurangi paparan yang telah disampaikan oleh Ratna Dewi, hal menggembirakan bagi penulis berbagai wacana yang telah penulis sampaikan, baik forum-forum diskusi, opini di berbagai media massa semakin meyakini penulis, berbagai tema hukum menarik untuk didiskusikan dalam konteks kontemporer. Tema hukum yang bersentuhan dan berdampak kepada kehidupan rakyat banyak harus diberi ruang untuk dilihat dari berbagai aspek.
Berangkat
dari pemikiran itulah, tulisan ini disampaikan untuk menggali lebih banyak lagi
sudut pandang yang “mungkin” terlupakan (meminjam
istilah Ratna Dewi, luput) dari penulis.
Advokat, Tinggal di Jambi
Dimuat di Posmetro, 18 Agustus 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/8616-beberapa-alasan-menolak-pemikiran-ratna-dewi.html