15 Agustus 2012

opini musri nauli : Kendaraan dinas dan korupsi



Wacana “mudik” tidak bisa dilepaskan dari nuansa idul Fitri. Sebagai masyarakat “urban” masih menganut tradisi “agraris”, ritual “mudik” memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Sebagai ‘event” yang terus berlangsung setiap tahun, konsenstrasi nasional memang dicurahkan dan dikonsentrasikan mengurusi hal ini. Kepolisian mempersiapkan jalur-jalur mudik dengan membangun pos-pos setiap jalur rawan, operasi dan gelar pasukan sebagai bentuk kesiapan, membagi dan memberikan porsi yang cukup besar. Dinas Kesehatan membangun pos-pos kesehatan yang memberikan bantuan medis darurat yang memberikan jaminan terhadap kesehatan di jalan raya.

Nuansa ini terasa, dengan dipasangnya umbul-umbul dari sponsor, promosi iklan produk. Lengkap dengan ucapan dari anggota parlemen, calon yang akan maju pemilihan pemilu 2014, para kandidate pilkada. Pokoknya seru abis.

Wacana “mudik” tidak ketinggalan memberikan perhatian dari pemangku negara yang diberi kepercayaan untuk mengurusi rakyat. Pejabat yang ditugasi mengurusi rakyat kemudian “menikmat” tradisi mudik.

Dalam wacana mudik, sebagai pejabat negara yang “diberi” fasilitas negara berupa kendaraan dinas menimbulkan persoalan cukup serius.

Sikap beberapa kepala daerah terhadap penggunaan “fasilitas” mobil dinas untuk arus mudik berbeda-beda. Ada kepala Daerah yang memberikan aba-aba tidak boleh menggunakan fasilitas mobil dinas. Ada kepala daerah membolehkan menggunakan mobil dinas dengan syarat tertentu. Misalnya hanya boleh dalam wilayah propinsi Jambi. Namun ada kepala daerah yang membolehkan menggunakan fasilitas mobil untuk mudik. Dengan konsekwensi yang bersangkutan tidak boleh menggunakan minyak dari pemerintah dan apabila kecelakaan, maka yang bersangkutan harus bertanggung jawab.

Secara kasatmata, mungkin kita luput dari pengamatan gejala-gejala ini. Namun secara hukum menimbulkan persoalan yang cukup serius.

Sebagaimana dalam tata kelola pemerintahan (Good government), menggunakan mobil dinas diluar dari kepentingan dinas merupakan salah kaprah. Tradisi mudik dalam hubungan pribadi dari pejabat yang tidak berkaitan dengan tugas pokoknya tidak dibenarkan berbagai ketentuan.

Secara prinsip, pejabat tidak boleh menggunakan berbagai fasilitas yang diberikan oleh negara. Penggunaan fasilitas diluar kepentingan negara merupakan bentuk sederhana dari tindakan korupsi. Pasal 2 dan pasal 3 UU Korupsi telah mengaturnya.

Secara sederhana dirumuskan, pejabat yang bersangkutan telah menyalahgunaan wewenang (abuse of power) untuk kepentingan pribadi. Berbagai fasilitas yang diberikan oleh negara merupakan fasilitas untuk menunjang kinerja dari pejabat yang bersangkutan. Menggunakan fasilitas diluar dari ketentuan merupakan “nuansa” korupsi secara sederhana dan bentuk kecil. Namun apapun alasan dan argumentasi yang “membenarkan” menggunakan fasilitas negara merupakan bentuk korupsi yang permisif. Atasan pejabat yang bersangkutan telah memberikan “peluang” menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Atasan pejabat telah membenarkan dan bersifat toleran yang justru dimulai dari hal-hal yang kecil.

Toleran dari atasan pejabat yang membenarkan menggunakan fasilitas negara dapat dijerat sebagai perbuatan bersama-sama dengan para pelaku pejabat yang bersangkutan (Deelneming). Atasan pejabat dan pejabat yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang dilarang berdasarkan pasal 55-56 KUHP.

Belum lagi UU No. 28 tahun 1999 sebagai perwujudan bentuk pemerintahan yang bersih dari KKN.

Sikap dan kelakuan yang membenarkan menggunakan berbagai fasilitas negara tidak diimbangi dari teladan sang pemimpin. Selain itu juga, sikap ini juga didasarkan kepada sikap dari pejabat (pangreh) yang tidak mendidik, memberikan pendidikan hukum yang keliru ditengah masyarakat, toleran terhadap kejahatan korupsi dan tentu saja juga berangkat dari sifat masyarakat terhadap sikap angkuh dari sang “pangreh” penguasa yang ingin menikmati fasilitas sebagai “sang pangreh”.

Sudah saatnya, cara-cara ini dihentikan. Untuk mengurangi “borosnya dan bocornya” duit negara karena sikap sang pangreh. Teladan dari pemimpin merupakan syarat utama dalam mengelola negara. Apabila itu tidak dilaksanakan, maka “teladan” dari pemimpin akan selalu “ditertawakan” oleh rakyat yang notabene “rela” berdesak-desakan menggunakan berbagai transportasi umum (publik transportasi) menyaksikan sang pangreh melaju kencang menggunakan fasilitas negara sambil meninggalkan debu.

Baca : 

Kepala daerah dan korupsi