Wacana
“mudik” tidak bisa dilepaskan dari nuansa idul Fitri. Sebagai masyarakat
“urban” masih menganut tradisi “agraris”, ritual “mudik” memang tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia .
Sebagai
‘event” yang terus berlangsung setiap tahun, konsenstrasi nasional memang
dicurahkan dan dikonsentrasikan mengurusi hal ini. Kepolisian mempersiapkan
jalur-jalur mudik dengan membangun pos-pos setiap jalur rawan, operasi dan
gelar pasukan sebagai bentuk kesiapan, membagi dan memberikan porsi yang cukup
besar. Dinas Kesehatan membangun pos-pos kesehatan yang memberikan bantuan
medis darurat yang memberikan jaminan terhadap kesehatan di jalan raya.
Nuansa
ini terasa, dengan dipasangnya umbul-umbul dari sponsor, promosi iklan produk.
Lengkap dengan ucapan dari anggota parlemen, calon yang akan maju pemilihan
pemilu 2014, para kandidate pilkada. Pokoknya seru abis.
Wacana
“mudik” tidak ketinggalan memberikan perhatian dari pemangku negara yang diberi
kepercayaan untuk mengurusi rakyat. Pejabat yang ditugasi mengurusi rakyat
kemudian “menikmat” tradisi mudik.
Dalam
wacana mudik, sebagai pejabat negara yang “diberi” fasilitas negara berupa
kendaraan dinas menimbulkan persoalan cukup serius.
Sikap
beberapa kepala daerah terhadap penggunaan “fasilitas” mobil dinas untuk arus
mudik berbeda-beda. Ada
kepala Daerah yang memberikan aba-aba tidak boleh menggunakan fasilitas mobil
dinas. Ada
kepala daerah membolehkan menggunakan mobil dinas dengan syarat tertentu.
Misalnya hanya boleh dalam wilayah propinsi Jambi. Namun ada kepala daerah yang
membolehkan menggunakan fasilitas mobil untuk mudik. Dengan konsekwensi yang
bersangkutan tidak boleh menggunakan minyak dari pemerintah dan apabila
kecelakaan, maka yang bersangkutan harus bertanggung jawab.
Secara
kasatmata, mungkin kita luput dari pengamatan gejala-gejala ini. Namun secara
hukum menimbulkan persoalan yang cukup serius.
Sebagaimana
dalam tata kelola pemerintahan (Good government), menggunakan mobil dinas
diluar dari kepentingan dinas merupakan salah kaprah. Tradisi mudik dalam
hubungan pribadi dari pejabat yang tidak berkaitan dengan tugas pokoknya tidak
dibenarkan berbagai ketentuan.
Secara
prinsip, pejabat tidak boleh menggunakan berbagai fasilitas yang diberikan oleh
negara. Penggunaan fasilitas diluar kepentingan negara merupakan bentuk
sederhana dari tindakan korupsi. Pasal 2 dan pasal 3 UU Korupsi telah
mengaturnya.
Secara
sederhana dirumuskan, pejabat yang bersangkutan telah menyalahgunaan wewenang
(abuse of power) untuk kepentingan pribadi. Berbagai fasilitas yang diberikan
oleh negara merupakan fasilitas untuk menunjang kinerja dari pejabat yang
bersangkutan. Menggunakan fasilitas diluar dari ketentuan merupakan “nuansa”
korupsi secara sederhana dan bentuk kecil. Namun apapun alasan dan argumentasi
yang “membenarkan” menggunakan fasilitas negara merupakan bentuk korupsi yang
permisif. Atasan pejabat yang bersangkutan telah memberikan “peluang”
menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Atasan pejabat telah
membenarkan dan bersifat toleran yang justru dimulai dari hal-hal yang kecil.
Toleran
dari atasan pejabat yang membenarkan menggunakan fasilitas negara dapat dijerat
sebagai perbuatan bersama-sama dengan para pelaku pejabat yang bersangkutan
(Deelneming). Atasan pejabat dan pejabat yang bersangkutan telah melakukan
perbuatan yang dilarang berdasarkan pasal 55-56 KUHP.
Belum
lagi UU No. 28 tahun 1999 sebagai perwujudan bentuk pemerintahan yang bersih
dari KKN.
Sikap
dan kelakuan yang membenarkan menggunakan berbagai fasilitas negara tidak
diimbangi dari teladan sang pemimpin. Selain itu juga, sikap ini juga
didasarkan kepada sikap dari pejabat (pangreh) yang tidak mendidik, memberikan
pendidikan hukum yang keliru ditengah masyarakat, toleran terhadap kejahatan
korupsi dan tentu saja juga berangkat dari sifat masyarakat terhadap sikap
angkuh dari sang “pangreh” penguasa yang ingin menikmati fasilitas sebagai
“sang pangreh”.
Sudah
saatnya, cara-cara ini dihentikan. Untuk mengurangi “borosnya dan bocornya”
duit negara karena sikap sang pangreh. Teladan dari pemimpin merupakan syarat
utama dalam mengelola negara. Apabila itu tidak dilaksanakan, maka “teladan”
dari pemimpin akan selalu “ditertawakan” oleh rakyat yang notabene “rela”
berdesak-desakan menggunakan berbagai transportasi umum (publik transportasi)
menyaksikan sang pangreh melaju kencang menggunakan fasilitas negara sambil
meninggalkan debu.
Baca :